Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Hamba Allah subhanahu wa ta'alaa.

Selanjutnya

Tutup

Worklife Artikel Utama

Filsafat Gaji

7 Oktober 2019   13:50 Diperbarui: 9 Oktober 2019   22:54 1099
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi mengejar gaji. (Sumber Foto: Pixabay.com)

Dalam kebimbangan, seorang teman menunjukkan saya sebuah kutipan dari media sosial: "Kenapa kau harus takut miskin, padahal kau adalah hamba dari Tuhan yang sangat kaya."

Akal sehat dan rasa takut bertarung dalam batin saya. Pada akhirnya, saya memilih untuk mengikuti hati nurani. Saya melepas segala fasilitas dari perusahaan yang bergerak di bidang riba tersebut.

Ada faktor pembeda antara Edward dengan saya, dan saya tidak bermaksud menyalahkan dia. Saya hanya pekerja kontrak, sementara Edward digaji oleh negaranya, serta akan mendapatkan uang pensiun secara rutin nanti pada saatnya tiba. Wajar kalau dia harus berpikir jutaan kali.

Coba kita tanyakan kepada diri sendiri, berapa banyak tugas-tugas yang bertentangan dengan akal sehat dan hati nurani yang kita kerjakan selama ini. Coba cari sebabnya. Saya yakin semua akan berujung pada apa yang mengisi dompet kita masing-masing.

Seandainya saya berada dalam posisi yang sama dengan Edward, maka saya pun pasti belum tentu kembali pada aturan agama yang saya yakini. Rasa takut itu memang seringkali menyebalkan. 

Padahal kalau dipikir ulang, orang tetap bisa hidup dengan bercocok tanam atau beternak, tanpa uang. Tapi kehidupan zaman modern tidak mengizinkan gaya hidup seperti itu lagi.

Rasa nyaman, takut, dan "ingin selalu lebih", menjadikan manusia zaman ini memilih untuk tidak mengindahkan hati nurani dan akal sehatnya. "Yang penting kenyang" menjadi akal sehat yang manusiawi, hanya berkata "kasihan" sudah cukup menjadi tanda hati nurani. Sampai di situ kadang kita tersesat.

Beruntunglah orang-orang yang mendapatkan gaji atau upah, dan tetap memiliki kesadaran dan jiwa yang murni dalam kesehariannya. Meski nominal di kantong Anda tidak besar, tapi percayalah, banyak orang yang iri dengan kehidupan tenang yang Anda nikmati setiap harinya.

Saya, Anda, dan siapa pun di dunia ini pasti butuh materi untuk menunjang kehidupan. Itu wajar, yang tidak normal adalah ketika kesenangan dunia mengisi kekosongan jiwa, dan kita membiarkannya secara sadar.***

Dicky Armando, S.E.-Pontianak

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun