Mohon tunggu...
Dicky Armando
Dicky Armando Mohon Tunggu... Administrasi - Orang Biasa

Hamba Allah subhanahu wa ta'alaa.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Dugem, Kesenangan atau Kebodohan?

30 September 2019   20:51 Diperbarui: 30 September 2019   20:58 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Foto: Pixabay.com

Pagi tadi, seorang rekan yang bernama Henhen (nama samaran) mengatakan hal yang mengejutkan. Mengapa? Karena dia biasanya hanya bicara hal-hal "receh" dan tidak penting, tapi ini hari berbeda, tema pembicaraannya cukup berat.

"Orang yang senang dugem itu sebenarnya adalah orang-orang yang tidak punya kegiatan," ujarnya. Mata Henhen masih terlihat belum rela membuka sepenuhnya.

Sebelum membahas lebih jauh, saya akan mempersempit definisi. Dugem adalah singkatan dari "dunia gemerlap", istilah lain untuk diskotek atau klub malam.

Henhen menceritakan pengalamannya memasuki suatu diskotek semalam. "Aku seperti melihat orang-orang bodoh yang pura-pura tolol, padahal memang bego."

"Mereka mungkin bilang itu kesenangan, tapi coba kau tanyakan kepada mereka, karena apa kesenangan tersebut," katanya lagi.

Perpektifnya benar-benar membuat saya terpana. Saya tidak menyangka, seseorang yang hobinya merampot, bisa berpikir seperti itu. Merampot adalah istilah orang Melayu Pontianak untuk "mengada-ada".

Saya berpikir sejenak tentang kata-katanya yang terakhir, apakah dugem mampu menghadirkan kesenangan, atau hanya kegiatan merugikan dari proses melarikan diri dari sesuatu.

Pelaku dugem pasti tidak setuju dengan pernyataan Henhen. Mereka pasti akan menggunakan pedoman Hak Asasi Manusia sebagai tameng terkuat, dan senjata tertajam.

"Kalau tidak punya uang, jangan iri!"

Paling tidak begitu perkataan praktisi dugem kalau ingin membela keyakinannya. Tidak salah juga. Masalahnya kemudian justru dari penggunaan uang itu sendiri. Di lingkungan sosial, saya menemukan beberapa orang yang hobi dugem, bukan dari kalangan borjuis, melainkan dari kaum yang memiliki yang pas-pasan, namun kehilangan kewarasan dalam bergaul. Barangkali ini juga ditemui Henhen dalam lingkaran sosial yang berbeda.

Kegiatan dugem, erat kaitannya dengan hedonisme yang nantinya akan menjurus pada gaya hidup konsumtif. Ini sangat berbahaya bagi kaum yang sering pura-pura borjuis. Bagi para borjuis asli juga akan berbahaya jika mereka tidak punya sumber pendapatan pasif yang mampu membiayai gaya hidup tersebut.

Jika tidak berhati-hati, orang yang terjebak dalam hedonisme juga akan terseret dalam arus utang uang yang tiada akhir.

Saya mencoba mengumpulkan kehebatan dari pelaku dugem: banyak uang (mungkin, dan sangat mungkin hasil dari pinjaman), rajin bangun siang, tahan begadang, paham jenis-jenis minuman beralkohol, bisa melihat dalam kegelapan, dan lain-lain.

Sejatinya, saya pribadi tidak berusaha menyudutkan, hanya menyampaikan apa yang saya dapatkan dari lingkungan saja. Mohon yang membaca tulisan ini mengerti bahwa saya tidak berusaha sedang membenci siapa pun. Kita semua sepakat soal Hak Asasi Manusia, bukan? 

Lagipula, kesenangan memang bisa didapatkan dengan berbagai cara, misalnya pergi memancing ikan di sungai, bermain sepak bola, ngopi, dan lain-lain. Dugem adalah satu di antaranya.

Maka, sebaiknya kita pisahkan antara "kesenangan" dengan "kebahagiaan".

Jika Anda mendaftar sebagai sukarelawan di sebuah acara amal, kemudian membantu orang lain, anak yatim piatu misalnya. Atau membantu orang tua di panti jompo, atau mungkin membelikan banyak popok untuk bayi yang ditelantarkan orang tuanya, dan merasa diri Anda menjadi lebih baik, maka itulah yang disebut kebahagiaan.

Coba bandingkan dengan Anda masuk ke sebuah tempat pada malam hari, lalu mendengarkan musik yang keras, menari, teriak, tertawa tanpa sebab, meminum alkohol, dan pulang dengan muntah-muntah setelahnya. Maka deretan peristiwa itu, saya ragu menyebutnya "kebahagiaan". Entahlah disebut apa.

"Jadi, dugem itu kesenangan atau kebodohan?"

Jujur, prinsip Hak Asasi Manusia membuat saya ragu menjawabnya. Tapi saya meyakini satu hal: kebahagiaan tidak menimbulkan kerugian fisik dan materi.

***

Dicky Armando, S.E.-Pontianak 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun