Jika tidak berhati-hati, orang yang terjebak dalam hedonisme juga akan terseret dalam arus utang uang yang tiada akhir.
Saya mencoba mengumpulkan kehebatan dari pelaku dugem: banyak uang (mungkin, dan sangat mungkin hasil dari pinjaman), rajin bangun siang, tahan begadang, paham jenis-jenis minuman beralkohol, bisa melihat dalam kegelapan, dan lain-lain.
Sejatinya, saya pribadi tidak berusaha menyudutkan, hanya menyampaikan apa yang saya dapatkan dari lingkungan saja. Mohon yang membaca tulisan ini mengerti bahwa saya tidak berusaha sedang membenci siapa pun. Kita semua sepakat soal Hak Asasi Manusia, bukan?Â
Lagipula, kesenangan memang bisa didapatkan dengan berbagai cara, misalnya pergi memancing ikan di sungai, bermain sepak bola, ngopi, dan lain-lain. Dugem adalah satu di antaranya.
Maka, sebaiknya kita pisahkan antara "kesenangan" dengan "kebahagiaan".
Jika Anda mendaftar sebagai sukarelawan di sebuah acara amal, kemudian membantu orang lain, anak yatim piatu misalnya. Atau membantu orang tua di panti jompo, atau mungkin membelikan banyak popok untuk bayi yang ditelantarkan orang tuanya, dan merasa diri Anda menjadi lebih baik, maka itulah yang disebut kebahagiaan.
Coba bandingkan dengan Anda masuk ke sebuah tempat pada malam hari, lalu mendengarkan musik yang keras, menari, teriak, tertawa tanpa sebab, meminum alkohol, dan pulang dengan muntah-muntah setelahnya. Maka deretan peristiwa itu, saya ragu menyebutnya "kebahagiaan". Entahlah disebut apa.
"Jadi, dugem itu kesenangan atau kebodohan?"
Jujur, prinsip Hak Asasi Manusia membuat saya ragu menjawabnya. Tapi saya meyakini satu hal: kebahagiaan tidak menimbulkan kerugian fisik dan materi.
***
Dicky Armando, S.E.-PontianakÂ