"Aku sudah nyampe rumah say," aku menyapa kekasih ku. Ya sudah baguslah kata sang pujaan hati istirahat biar besok fit lanjutnya.
"Oh ya bagaimana persiapan besok," kesasih ku balik bertanya seakan-seakan dia sudah tak tahan menanti hari esok.
Aku pun menjawab, ya aku sudah persiapkan sebaik mungkin.
"Ya sudah istirahat ya sayang semoga kita diberikan kelancaran," kekasihku seraya berucap sambil berharap Tuhan memberikan kebaikan.
Obrolan dimalam itu tak banyak kata yang terucap dari ku, begitupan dari calon istriku. Aku pun mencoba memejamkan mata sambil memikirkan esok yang akan terjadi. Karena sadar tidak sadar aku hanya bermodal nekat, hanya atas dorongan kewajiban sebagai Pria dewasa yang wajib memiliki istri.
Menurutku ini semua tak didukung dengan mental yang kuat. (Yang dimaksud 'Mental' aku tak mempersiapkan bagaimana mengahapal ijab qobul yang benar ataupun cara berhadapan dengan penghulu) aku hanya mempercayakan pada takdir.
Walaupun pikiran melayang entah kemana melayang nya, aku pun tetap tertidur pulas mungkin karena cape. perjalanan Jakarta - Sumedang atau lebih tepatnya ke kampung Cimungkal begitu amat sangat melelahkan.
Tak terasa suara adzan subuh terdengar nyaring ditelingaku, aku pun bangkit dari tempat tidurku sambil merasakan badan yang begitu 'ngereutek' pegel dan aku pun menuju kamar mandi.
Setelah mandi. Lalu, aku mengambil air wudhu dan aku langsung melaksanakan sholat subuh (suatu kewajiban bagi pemeluk Islam).
Setelah selesai berdoa aku langsung memakai pakaian rapih. Lalu tiba-tiba terdengar Ibuku tercinta memanggil, "Renom!," Iya Ma sahut ku menjawab.
"Coba atuh tanyaken ka Nurlela urang tidieu indit jam sabaraha?," dia berkata memakai bahasa Sunda, yang kalau diterjemahkan ke bahasa Indonesia seperti ini "Coba deh tanyain ke Nurlela kapan kita berangkat dari sini" seperti itulah kira-kira.