Mohon tunggu...
Komang Armada
Komang Armada Mohon Tunggu... -

Petani

Selanjutnya

Tutup

Inovasi

Bertani Tanpa Merusak Bumi

7 Januari 2016   17:42 Diperbarui: 8 Januari 2016   11:24 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dibuai konsep yang melambung

Isu ‘kembali ke alam’, green, organik, eco dan seterusnya, menurut saya, isu yang hanya mengkilat sebagai slogan namun detailnya luput. Isu-isu tadi, oleh sebab keluasan spektrumnya, dalam tulisan ini saya kerucutkan ke satu aspek saja : pertanian.

Meski terlambat, tulisan ini bolehlah disebut kesaksian, mungkin testimoni. Kesaksian seorang petani yang pada fase tertentu merasa harus mengoreksi cara-cara bertani sebelumnya. Beralih term, dari kimiawi menuju non kimiawi.  Alasan utamanya, sebagai petani, tentu pertimbangan pendapatan atau hasil.

Kalkulasi selisih aneka biaya produksi dengan pendapatan sektor ini dari tahun ke tahun menunjukkan angka yang stagnan. Terlebih, pertanian eksploitatif yang padat modal, berorientasi instan atau berskala industri. Yang notabene memiliki ketergantungan tinggi terhadap produk-produk ready to use pabrikan. Mulai benih, bibit, pupuk, obat-obatan sampai teknologi penanggulangan hama dan penyakit. Semuanya berbiaya tinggi, sementara harga-harga komoditas yang dihasilkan, kita tahu,  cendrung di kisaran itu-itu saja.

Pertanian adalah kebudayaan. Sebagai budaya, ia dinamis. Fitrah ‘Indonesia negara agraris’, apa boleh buat, kita lupakan (baca : maafkan) dulu. Sebagai ilustrasi, saya ambil contoh subak di Bali. Sistem tata kelola air ini, sebagai institusi tradisional makin kerdil. Mengecil dalam hal luasan, melemah soal posisi tawar.

Kasus demikian terjadi hampir di seluruh wilayah pertanian di tanah air, dengan karakteristik, tingkat kegawatan plus cara-cara penanganan berbeda. Untuk menyebut contoh : kasus semen Rembang, petani-petani Kutai Kertanegara yang harus ‘tahu diri’ mengalah demi tambang.

Tawaran metode lain

Selain peralihan fungsi lahan, juga perubahan mata pencarian (dari pertanian ke non pertanian), kendala besar sektor ini sebagaimana saya sebut dalam paragraf di atas adalah tingginya biaya produksi yang tidak sepadan dengan pendapatan yang diperoleh.

Nah, selagi tersedia pilihan-pilihan cara lain buat mensiasatinya, kenapa tidak? Memang, mengubah orientasi, merekonstruksi cara pandang hingga laku penerapannya di lapangan, dari pola-pola konvensional lama ke cara-cara baru, tidak mudah. Semacam sindrom shock culture. Untuk ukuran saya, peralihan kultur ini butuh ‘stamina’ yang spartan.

Bagaimana saya harus memutus segala ketergantungan kepada produk-produk yang selama ini saya akrabi. Bagaimana saya memasang ancang-ancang, supaya tidak goyah, untuk tindak-tanduk atau berbagai perilaku dalam memasuki kultur baru tersebut.

Setahun dua tahun saya mulai terbiasa. Sekitar tahun ketiga, hasilnya mulai tampak terutama pada item biaya produksi yang dengan ekstrim bisa saya tekan dibarengi peningkatan volume hasil yang saya dapatkan. Sampai tahun ketujuh (tahun ini) praktis tidak ada kendala apapun yang saya temui.

Orang menyebut kultur baru itu kultur organik, ada pula yang menyebutnya metode alamiah. Sebetulnya bukan cara baru, hanya siklus yang berulang. Itu saya tahu dari cerita tetua-tetua saya bagaimana cara-cara alamiah ini pernah mereka jadikan rujukan turun-temurun dalam kurun waktu yang sangat lama.

Dalam bahasa mereka, bertani adalah proses keseimbangan menerima dan memberi. Poinnya, kemampuan manusia menjaga keseimbangan tadi berbanding lurus dengan apa yang kita dapat. Atau dalam bahasa ilmiah disebut sustainable ecosystem, keajegan ekosistem.

Malangnya, manusia yang hanya elemen kecil dalam untai rumit benang ekosistem itu suka berlaku sebagai penentu. Dengan begitu, manusia yang konon makhluk paling sempurna itu, tidak selalu lebih mulia dari ordo hama.

Memanfaatkan apa yang tampak tidak bermanfaat

Sekali lagi, saya hanya mengikuti pengulang-ulangan siklus. Jadi, bukan sesuatu yang genuine dari saya. Lagipula, saya beruntung dikelilingi teman-teman hebat tempat saya banyak mendulang ilmu. Demi pemulihan kondisi ekosistem tanah pertanian yang sempat saya cederai, dan terutama oleh alasan efisiensi, dalam bertani saya benar-benar memanfaatkan apa yang sekiranya bisa saya manfaatkan.

Limbah buangan rumah tangga, seresah, kotoran ternak, sisa-sisa hijauan pakan ternak, gulma, spesies epifit pengganggu tanaman pokok yang sebelumnya berkategori sampah adalah bahan baku dengan kandungan hara melimpah yang siap kita manfaatkan.

Dengan teknologi sederhana, lagi-lagi atas panduan seorang teman, berbagai bahan tadi saya olah melalui dua metode, fermentasi dan biopori. Hasilnya bermacam-macam : pestisida alami, penetral asam basa tanah, pemacu tumbuh, pupuk cair, kompos, dengan kandungan unsur-unsur makro serta mikro yang memadai bagi kelangsungan hidup berjenis-jenis tanaman di kebun saya.

Kecukupan kandungan itu saya ketahui dari dokumen hasil uji laboratorium yang saya peroleh berkat jasa seorang teman mahasiswa di Fak. Pertanian Universitas Udayana.

Cara pengolahan berbagai item berkategori sampah tadi hingga menjadi output yang kita butuh dalam konteks bertani alamiah (berikut aplikasinya di lapangan), saya tulis lain kali dalam format yang lebih rinci.

Dengan pilihan cara-cara mudah, murah, dan aman yang tersedia, mudah-mudahan keluhan petani soal tingginya biaya produksi sebagai salah satu kendala, tidak ada lagi. Lepas dari ketergantungan kepada produk-produk pendukung berbasis instan yang tidak perlu. Lebih jauh lagi, petani-petani Indonesia dilayakkan mengecap kesejahteraan.

Salam hangat bagi petani-petani Indonesia.

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun