Memang pihak kepolisian sudah melakukan pembelaan. Mereka bilang kecolongan. Ponsel diduga diselipkan pada makanan yang diantar untuk tahanan.Â
Tapi tetap saja perisitiwa itu mengingatkan kita bahwa penjara itu longggar. Penjara tidak sepenuhnya bisa menjadi tempat penjahat jera. Wong mereka bisa kok hidup enak, asal sanggup 'mengatasi hambatan'.
Ada pelajaran lainnya yang penulis dapatkan. Atas aksinya prank sampahnya, Ferdinand memberi alasan. Dia bilang mau membantu polisi terkait Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB).Â
Meski dia sendiri bersama temannya menunjukkan tak tertib PSBB. Dia pun bilang mau memberi pelajaran pada waria yang beroperasi di bulan Ramadhan. Namun meski dia mengaku berniat baik, prilakunya tidak lantas dinilai publik sebagai kebaikan.
Anggaplah Ferdinan jujur. Dengan demikian pelajaran yang bisa diambil adalah untuk bisa berbuat baik, niat baik saja tidak cukup. Niat dan cara harus sama sejalan beriringan.Â
Niat baik dikuti dengan cara yang baik pula. Jadi teringat ajaran agamaku. Dimana amal salih mesti memenuhi dua syarat. Yaitu niat baik dan cara baik pula sesuai aturan agama. Makanya pembagian nasi anjing kemarin juga sempat viral.Â
Bagi muslim anjing bukan sekedar nama hewan. Tapi dianggap salah satu hewan yang terlarang untuk dimakan. Artinya berbagi makanan yang diberi nama nasi anjing bagi muslim itu merendahkan. Memberi tanpa adab namanya.
Ferdinand secara pribadi sudah minta maaf. Bahkan ibunya juga ikutan minta maaf atas prilaku anaknya. Meski begitu, atas laporan yang ada, sanksi hukum tetap dilanjutkan.Â
Inilah hikmah lainnya. Kata maaf tidak berarti menyudahi perkara. Meski pelaku kejahatan menyesali perbuatannya, tetapi sanksi tetap diperlukan. Agar timbul efek jera bagi diri pelaku dan orang lain.
So, marilah kita menjadi orang baik. Kalau kesal, ungkapkan secara logis.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H