Sejak kecil saya mengenal idul fitri sebagai momen bermaafan. Itu intinya, di samping adanya ibadah salat idul fitri, makan -- makan dan bagi -- bagi THR.Â
Belakangan setelah lebih banyak mendapat informasi mengenai amalan idul fitri sesuai syariat, saya paham ternyata sunnahnya saat bertegur sapa di bulan syawal ucapannya adalah taqabballahu minkum minna waminkum taqqabbal ya karim.
Meski akhirnya saya mengetahui kalau bermaafan bukan tergolong ibadah sunnah yang khusus dilakukan saat idul fitri, tetap saja ucapan maaf terlontar. Sudah tradisinya demikian. Lagipula hal tersebut suatu hal yang baik.
Terkadang masih ada dari kita yang gengsi untuk saling memaafkan dengan sesama di luar idul fitri. Namun ketika idul fitri datang rasanya sayang melewatkan ritual bermaafan yang sudah mentradisi. Alhasil yang gengsi terpaksa ikutan.
Ada sebuah kisah masa lalu yang disampaikan oleh kenalan mengenai pandangan negatifnya terhadap tradisi bermaafan saat lebaran. Waktu itu dia masih kecil.Â
Usai salat ied, secara berurutan sesuai usia dia dan saudara -- saudaranya bersimpuh sambil menjabat tangan ibu. Dia yang anak bungsu mendapat giliran terakhir setelah tiga abang dan dua kakaknya lebih dulu melakukan.
Dia melihat abang dan kakaknya sambil bersimpuh komat kamit mengakui kesalahan -- kesalahan yang pernah dilakukan hingga diakhiri kata maaf. Ibu membalas pula dengan kata maaf dan memaafkan.
Sebagaimana umumnya setelah ritual bermaafan mereka semua makan sajian lebaran. Hanya berselang beberapa jam setelah itu, salah satu abangnya berbicara kasar pada ibu. Dalam hati dia berpikir, "Baru saja minta maaf sudah berbuat kesalahan. Apa artinya maaf yang tadi diucapkan."
Dia pun memiliki pandangan negatif tentang ritual bermaafan. Dia anggap itu cuma basa basi, sekedar menjalankan tradisi semata. Dia tidak suka tradisi tersebut.Â
Dia berkesimpulan kalau tradisi tersebut tak perlu dilestarikan jika pelaksananya tak mengerti tentang makna tradisi tersebut. Dia pun memilih tak mengikuti tradisi tersebut.