Memiliki anak adalah masa – masa yang paling indah bagi seorang perempuan. Belumlah sempurna rasanya kehidupan perempuan jika belum dipercaya oleh Sang Pencipta alam semesta untuk mengasuh anak-anak dengan tangan mereka. Jadi para ibu layak berbangga hati, lebih tepatnya bersyukur bila Allah SWT menganugerahkan anak – anak untuk diasuh.
Mempunyai anak juga berarti sebuah tanggungjawab. Sebab titipan Allah itu harus dididik dan dibesarkan dengan baik, mendapat limpahan kasih sayang terutama dari ibu, ayah dan orang-orang sekitar untuk bekal menjalani kehidupan.
Ketika makhluk mungil itu keluar dari rahim, harapan besar muncul dalam benak sang ibu terhadap perjalanan hidup si buah hati kelak. Ibu ingin anaknya tumbuh dengan fisik yang sehat, lincah, cerdas, berakhlak baik, bermanfaat bagi masyarakat serta mengisi kehidupannya dengan semua hal terbaik yang ada di dunia. Rasa sakit ibu selama mengandung tak lagi berarti karena mendengar tangis bayi mungilnya yang sejak lama dinantikan. Lega hati ibu memandang wajah lugu si bayi, bahagia rasanya.
Namun harapan manusia terkadang tidak selalu sejalan dengan keputusan Allah SWT. Dengan maksud baiknya, Allah SWT memilih manusia – manusia yang layak diberi ujian kehidupan dalam rangka meningkatkan derajat manusia itu dihadapanNya.
Ini yang dirasakan ibu Endang Setyanti, warga Jalan Sumbangsih V/3 RT 006/01, Kelurahan Karet Jakarta. Awalnya sang anak, Habibie Afsyah, lahir dengan kondisi normal. Anggota keluarga baru itu pun disambut dengan penuh suka cita. Namun menjelang usia satu tahun Habibie terdeteksi mengidap kelainan bawaan pada saraf motoriknya. Secara perlahan kondisi Habibie akan mengalami perubahan. Fisiknya akan mengalami keterbatasan karena saraf – saraf motoriknya rusak. Bahkan dokter memprediksi umur Habibie tidak akan lebih dari 25 tahun. Bisa sampai usia 25 tahun saja sudah bagus, begitu kata dokter.
Hati ibu mana yang tidak pedih mengalami kenyataan tak terduga itu. Impian tentang masa depan anak berguguran satu persatu dalam benak ibu. Tetapi bu Endang tidak berlama – lama dalam kondisi kesedihan. Dengan dukungan sang suami, mereka bangkit. Habibie tetap diasuh dengan sebaik – baiknya. Mereka meyakini di atas langit masih ada langit. Perhitungan medis bukan segalanya. Ada Allah Yang Maha Kuasa.
Melewati usia balita, Habibie harus menggunakan kursi roda karena kerusakan saraf bagian kaki membuatnya tidak bisa berjalan. Sang ibu tetap setia mendampingi Habibie kecil dengan penuh kasih sayang. Memperhatikan segala kebutuhannya sembari terus memberi motivasi sebagai spirit bagi kehidupan Habibie. Habibie tidak boleh lemah dan selalu bergantung pada ibu bapaknya. Sebab bisa saja ibu dan bapak mendahului Habibie pulang ke rahmatullah. Maka demi masa depan Habibie, bu Endang dan suami berusaha membentuk mental mandiri pada Habibie. Mereka menggali potensi Habibie agar kelak bisa hidup dengan kemampuannya sendiri.
Lalu Habibie pun disekolahkan. Bukan di sekolah khusus penyandang cacat. Tetapi di sekolah umum agar kepercayaan dirinya tertempa sedari kecil. Bu Endang selalu menemani Habibie, termasuk saat Habibie bersekolah. Sembari bersekolah bu Endang memberi perawatan kesehatan pada Habibie. Habibie difisioterapi di Yayasan Penyandang Anak Cacat (YPAC).
Ciptaan Allah tidak ada yang sia-sia. Ada yang istimewa pada Habibie. Ketika dilakukan tes IQ, ternyata kecerdasannya di atas rata – rata. Hobinya adalah mengoperasikan komputer. Dengan susah payah akhirnya Habibie lulus Sekolah Menengah Atas (SMA). Kemudian bu Endang memutuskan bahwa Habibie tidak melanjutkan pendidikan ke bangku kuliah. Dengan pertimbangan akan banyak kesulitan nantinya dengan keadaan Habibie yang harus selalu ditemani oleh ibunya. Mengingat hobi komputer Habibie, suatu hari sang ibu mengajaknya ikut seminar internet marketing.
Ternyata dari situlah jalan rezeki yang diberi Allah untuk Habibie. Dia mulai mengembangkan bisnis online. Habibie menjelma menjadi sosok mandiri dan sukses secara finansial. Dari blog pribadi “Habibie Pebisnis Amazon” miliknya, diperoleh penghasilan sekurang – kurangnya 10 juta setiap bulan. Selain itu di rumahnya Habibie mengembangkan usaha “Waserba Sumbangsih” yang menjual barang – barang kebutuhan rumah – tangga, seperti gas elpiji, minyak goreng, air minum galon dan lain – lain. Habibie pun sering tampil sebagai pembicara di berbagai seminar. Kapasitasnya sebagai “Sang Motivator” dan “Internet Marketer”.
Inilah perjuangan seorang ibu. Dengan kesabaran dan kasih sayang serta keyakinan yang tinggi kepada Allah SWT, bu Endang mengasuh anaknya tanpa memperdulikan berbagai kekurangan yang ada. Hasilnya, sang anak tumbuh menjadi pribadi yang selalu optimis menatap masa depan, percaya diri dan berhati mulia. Kisah manis ibu dan anak ini pernah ditampilkan di acara Kick Andy di Metro TV.
Bila bu Endang membesarkan Habibie yang hebat dengan dukungan suami dan orang – orang sekitar. Lain halnya dengan kisah ibu yang satu ini. Ibu yang berasal dari wilayah kawasan Melayu di selatan Thailand ini di uji bukan hanya dengan keadaan anaknya, tetapi juga oleh perlakuan buruk suaminya.
Anaknya diberi nama Hasan. KaIa melahirkan, ia mendapati Hasan dalam keadaan cacat tanpa kaki. Sontak sang ibu terkejut menghadapi situasi yang tidak biasa ini. Masih dalam keadaan setengah tidak percaya, suaminya datang dan langsung melontarkan kata-kata kasar kepadanya. Semua yang terjadi dianggap adalah kesalahan dirinya. Ia dikatakan pembawa sial karena melahirkan anak cacat. Suaminya malu pada keluarga. Akhirnya dia pergi meninggalkan ibu dan anak itu. Tak ada rasa tanggungjawab sedikit pun dalam hatinya. Tak ada kasih sayang yang tersimpan di hatinya. Ego telah mengalahkan rasa kemanusiaan pada dirinya.
Menyaksikan apa yang terjadi ibu Hasan hanya menangis. Ia tak menyangka suaminya tercinta tega berbuat demikian. Namun tak kalah tegar dengan ibunya Habibie, ibu Hasan segera berhenti dari keluh kesah. Bayi merah itu membutuhkan dirinya. Hanya dia satu – satunya. Karena tidak tahu apakah ayah Hasan akan kembali kepada keluarganya atau tidak. Allah SWT Sang pemilik kehidupan selalu menjadi sandaran ibu Hasan. Dia selalu berdoa agar diberi kesabaran.
Sejak kecil hingga dewasa beragam respon masyarakat didapati Hasan dan ibunya.
Ada yang simpati dengan memberi sedekah dan mendoakan keselamatan mereka. Ada pula yang mencaci maki, pertanda intelektualitas mereka yang rendah. Pernah di usia dua tahun, Hasan di ajak ibunya membeli keperluan dapur ke pasar. Ia ditempatkan di sebuah periuk. Periuk itu di gendong oleh salah satu tangan ibu. Tangan yang satunya lagi memegang belanjaan. Orang – orang memperhatikan Hasan. Ada yang memberi uang, tetapi tak sedikit yang memberi komentar negatif.
Ketika Hasan berumur lima belas tahun keadaan masih saja demikian. Masyarakat terutama kaum perempuan menunjukkan sikap buruk terhadap Hasan. Ibu dan Hasan tidak ingin lagi tetap berdiam diri. Mereka bersepakat untuk hijrah ke suatu tempat yang lebih damai. Mendengar kabar bahwa banyak penduduk wilayah selatan Thailand yang merantau ke tanah suci Mekkah, mereka ingin mencoba peruntungan yang sama ke negeri yang diberkahi Allah SWT itu. Berbekal warisan kakek Hasan, mereka pun berangkat ke Mekkah.
Alhamdulillah di tempat itu ibu dan Hasan di terima dengan baik oleh penduduk. Mereka bahkan ditawari untuk tinggal bersama oleh saudara sekampung mereka. Mereka merasa lega telah diperlakukan dengan baik. Selama tinggal disana, ibu merawat Hasan sambil membantu pekerjaan rumah. Kemana pun ibu pergi, Hasan selalu dibawa. Ibu selalu berusaha mencukupi kebutuhan Hasan.
Dalam asuhannya, Hasan tumbuh sehat dan ceria. Bacaan Al Qur’an Hasan bagus. Dia taat kepada Allah SWT. Yang kurang hanya kakinya. Tetapi jiwanya segar dalam menjalani liku kehidupan. Sesekali memang kesedihan itu datang. Saya pikir itu wajar. Naluri mempertahankan diri yang diberikan Allah pasti terkadang muncul juga. Keadaan berbeda dari yang lain bisa saja di saat – saat tertentu kembali memunculkan kesedihan.
Tapi orang beriman tidak akan berlama – lama bersikap demikian. Mengingat Allah selalu bersama mereka, ibu dan Hasan kembali tenang, penuh keikhlasan menghadapi berbagai masalah yang datang silih berganti.
Ibunya Habibie dan Ibu Hasan beruntung karena dapat membesarkan anaknya meski penuh kekurangan. Mereka bisa merasakan buah kesabaran itu. Kerja keras selama merawat anak tergantikan dengan berbagai kenikmatan hidup saat anak telah dewasa. Habibie sukses dengan bisnisnya dan Hasan tumbuh dengan kebaikan agamanya.
Segala puji bagi Allah Yang Maha Adil. Allah SWT telah menyelipkan keberkahan bersama cobaan yang diberikanNya. Benarlah ketika Allah mengabadikan firmannya dalam Al Qur’an yang suci, “fainna ma’al ‘usri yusro (Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan)”. Bahkan Allah SWT mempertegas ucapan itu dengan diulangi sebanyak dua kali. Pertanda kabar tersebut sungguh memang akan terjadi.
Banyak hikmah yang dapat di petik dari berbagai peristiwa. Mungkin saja dalam pandangan Allah saya belum layak menjadi ibu. Mungkin juga usaha saya belum maksimal, seperti ; kurang menjaga kesehatan dan lain sebagainya.
Ketika nanti Allah berkenan memberi saya keturunan, harapannya anak tersebut dapat tumbuh dengan sebaik – baiknya. Tetapi apapun yang akhirnya terjadi nanti, sebagai muslimah harus menghadapi dengan sabar. Karena Allah berfirman: “ Seseungguhnya Allah beserta orang – orang yang sabar (QS Al Anfaal : 46)”. Allah juga berfirman : “Dan Allah mencintai orang – orang yang sabar (QS. Ali Imran : 146)”.
Sabar itu bukan berdiam. Sabar berarti tetap tegar menjalani kehidupan. Sabar berarti menjalani hidup dengan cara terbaik menurut Allah yang bersumber dari Al Qur’an dan As sunnah. Ketegaran seorang ibu telah di contohkan oleh para muslimah diantaranya ibunya Habibie dan ibunya Hasan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H