Mohon tunggu...
Arlini
Arlini Mohon Tunggu... Penulis - Menulis berarti menjaga ingatan. Menulis berarti menabung nilai kebaikan. Menulis untuk menyebar kebaikan

ibu rumah tangga bahagia, penulis lepas, blogger, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Belajar dari Para Ibu Tegar

27 September 2016   17:06 Diperbarui: 27 September 2016   17:11 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: infokomputer.com

Bila bu Endang membesarkan Habibie yang hebat dengan dukungan suami dan orang – orang sekitar. Lain halnya dengan kisah ibu yang satu ini. Ibu yang berasal dari wilayah kawasan Melayu di selatan Thailand ini di uji bukan hanya dengan keadaan anaknya, tetapi juga oleh perlakuan buruk suaminya.

Anaknya diberi nama Hasan. KaIa melahirkan, ia mendapati Hasan dalam keadaan cacat tanpa kaki. Sontak sang ibu terkejut menghadapi situasi yang tidak biasa ini. Masih dalam keadaan setengah tidak percaya, suaminya datang dan langsung melontarkan kata-kata kasar kepadanya. Semua yang terjadi dianggap adalah kesalahan dirinya. Ia dikatakan pembawa sial karena melahirkan anak cacat. Suaminya malu pada keluarga. Akhirnya dia pergi meninggalkan ibu dan anak itu. Tak ada rasa tanggungjawab sedikit pun dalam hatinya. Tak ada kasih sayang yang tersimpan di hatinya. Ego telah mengalahkan rasa kemanusiaan pada dirinya.

Menyaksikan apa yang terjadi ibu Hasan hanya menangis. Ia tak menyangka suaminya tercinta tega berbuat demikian. Namun tak kalah tegar dengan ibunya Habibie, ibu Hasan segera berhenti dari keluh kesah. Bayi merah itu membutuhkan dirinya. Hanya dia satu – satunya. Karena tidak tahu apakah ayah Hasan akan kembali kepada keluarganya atau tidak. Allah SWT Sang pemilik kehidupan selalu menjadi sandaran ibu Hasan. Dia selalu berdoa agar diberi kesabaran.  
Sejak kecil hingga dewasa beragam respon masyarakat didapati Hasan dan ibunya. 

Ada yang simpati dengan memberi sedekah dan mendoakan keselamatan mereka. Ada pula yang mencaci maki, pertanda intelektualitas mereka yang rendah. Pernah di usia dua tahun, Hasan di ajak ibunya membeli keperluan dapur ke pasar. Ia ditempatkan di sebuah periuk. Periuk itu di gendong oleh salah satu tangan ibu. Tangan yang satunya lagi memegang belanjaan. Orang – orang memperhatikan Hasan. Ada yang memberi uang, tetapi tak sedikit yang memberi komentar negatif.

Ketika Hasan berumur lima belas tahun keadaan masih saja demikian. Masyarakat terutama kaum perempuan menunjukkan sikap buruk terhadap Hasan. Ibu dan Hasan tidak ingin lagi tetap berdiam diri. Mereka bersepakat untuk hijrah ke suatu tempat yang lebih damai. Mendengar kabar bahwa banyak penduduk wilayah selatan Thailand yang merantau ke tanah suci Mekkah, mereka ingin mencoba peruntungan yang sama ke negeri yang diberkahi Allah SWT itu. Berbekal warisan kakek Hasan, mereka pun berangkat ke Mekkah.

Alhamdulillah di tempat itu ibu dan Hasan di terima dengan baik oleh penduduk. Mereka bahkan ditawari untuk tinggal bersama oleh saudara sekampung mereka. Mereka merasa lega telah diperlakukan dengan baik. Selama tinggal disana, ibu merawat Hasan sambil membantu pekerjaan rumah. Kemana pun ibu pergi, Hasan selalu dibawa. Ibu selalu berusaha mencukupi kebutuhan Hasan.

Dalam asuhannya, Hasan tumbuh sehat dan ceria. Bacaan Al Qur’an Hasan bagus. Dia taat kepada Allah SWT. Yang kurang hanya kakinya. Tetapi jiwanya segar dalam menjalani liku kehidupan. Sesekali memang kesedihan itu datang. Saya pikir itu wajar. Naluri mempertahankan diri yang diberikan Allah pasti terkadang muncul juga. Keadaan berbeda dari yang lain bisa saja di saat – saat tertentu kembali memunculkan kesedihan.

Tapi orang beriman tidak akan berlama – lama bersikap demikian. Mengingat Allah selalu bersama mereka, ibu dan Hasan kembali tenang, penuh keikhlasan menghadapi berbagai masalah yang datang silih berganti.

Ibunya Habibie dan Ibu Hasan beruntung karena dapat membesarkan anaknya meski penuh kekurangan. Mereka bisa merasakan buah kesabaran itu. Kerja keras selama merawat anak tergantikan dengan berbagai kenikmatan hidup saat anak telah dewasa. Habibie sukses dengan bisnisnya dan Hasan tumbuh dengan kebaikan agamanya.

Segala puji bagi Allah Yang Maha Adil. Allah SWT telah menyelipkan keberkahan bersama cobaan yang diberikanNya. Benarlah ketika Allah mengabadikan firmannya dalam Al Qur’an yang suci, “fainna ma’al ‘usri yusro (Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan)”. Bahkan Allah SWT mempertegas ucapan itu dengan diulangi sebanyak dua kali. Pertanda kabar tersebut sungguh memang akan terjadi.    

Banyak hikmah yang dapat di petik dari berbagai peristiwa. Mungkin saja dalam pandangan Allah saya belum layak menjadi ibu. Mungkin juga usaha saya belum maksimal, seperti ; kurang menjaga kesehatan dan lain sebagainya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun