Mohon tunggu...
Arki R Warsito
Arki R Warsito Mohon Tunggu... profesional -

Wasekjen merangkap Juru Bicara Presiden Forum Alumni IT Telkom

Selanjutnya

Tutup

Money

Menjaga Stamina Bisnis Startup

22 September 2012   16:54 Diperbarui: 24 Juni 2015   23:54 990
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bisnis. Sumber ilustrasi: PEXELS/Nappy

Oleh: Arki Rifazka

Hiruk pikuk bisnis Startup sejak 2 tahun lalu meramaikan bisnis kreatif di Indonesia. Seiring dengan kemajuannya dan cerita sukses para pelaku bisnis startup di luar negeri, Indonesia juga turut mengalami perkembangan yang signifikan dalam hal pertambahan jumlah pelaku bisnis startup. Sehingga tak jarang beberapa pakar bisnis pun menjuluki bisnis startup sebagai generasi baru bisnis di Indonesia.

Istilah Startup bila diartikan ke dalam bahasa memiliki makna yang lebih luas dari sekedar perusahaan rintisan. Disebut startup karena bentuk organisasinya yang masih baru dan sedang dalam fase pengembangan untuk menemukan pasar yang tepat. Startup adalah bentuk kewirausahaan yang kini diminati para pelaku bisnis karena dapat dimulai hanya dengan bermodalkan kemampuan yang berswadaya beserta ide bisnis yang inovatif, spesifik, menarik, unik, dan kreatif.

Startup jauh berbeda dengan paradigma bahwa untuk memulai bisnis harus diawali dengan modal besar dan berbentuk perusahaan (PT, CV, dst). Sehingga siapapun dapat memulai bisnis startup tanpa harus memusingkan syarat dan aspek legal dan biaya pengurusan ke notaris ataupun kantor perizinan.

Perusahaan Startup diasosiasikan dengan pertumbuhan yang cepat (high growth) dan berorientasi teknologi informasi dan komunikasi. Dua hal tersebut adalah karakter yang wajib dimiliki oleh perusahaan startup. Karena umumnya Investor hanya tertarik pada perusahaan yang menjanjikan high return atas potensi laba investasi. Maka Startup tetap diorientasikan pada kemampuannya menghasilkan profit. Startup sukses biasanya malah lebih mudah terukur daripada bisnis yang telah mapan. Dalam artian, startup dapat berpotensi tumbuh pesat dengan keterbatasan investasi modal, tenaga kerja, ataupun sumber daya.

Mendirikan Bisnis Startup

Dalam mendirikan bisnis, adalah penting melakukan penelitian untuk memvalidasi, menilai dan mengembangkan ide atau konsep bisnis. Penelitian juga berguna untuk membaca kesempatan dan membangun pemahaman yang lebih lanjut pada ide-ide atau konsep bisnis. Sebagaimana kita juga harus memahami potensi komersial yang dapat digali dari bisnis tersebut.

Bagi perusahaan Startup, teknologi menjadi nilai perusahaan yang terpenting dalam bisnis. Maka dari itu, penting bagi pemilik bisnis mendapat perlindungan kekayaan intelektual atas idenya. Majalah berita The Economist edisi bulan desember tahun 2011 memperkirakan, sampai dengan 75% dari nilai perusahaan public di Amerika Serikat, kini berbasis pada kekayaan intelektual. Sedangkan pada perusahaan startup, dipastikan 100% nilai perusahaan didasarkan pada Surat kekayaan intelektual. Dengan demikian, adalah penting untuk perusahaan startup yang berorientasi teknologi untuk mengembangkan semacam strategi untuk melindungi modal intelektualnya sedini mungkin.

Di Indonesia masih banyak yang belum aware terhadap isu orisinalitas ide. Bisa dibayangkan apa yang akan terjadi seandainya ide dan konsep bisnis ditiru oleh kompetitor, atau bahkan diakui sebagai hak cipta oleh pihak lain. Maka sudah pasti bisnis akan terhambat karena selain pemilik hak cipta dilarang menggunakannya.

Ada beberapa strategi yang harus diperhatikan untuk melindungi Kekayaan Intelektual, diantaranya:


  1. Mendaftarkan kekayaan intelektual melalui konsultan Kekayaan Intelektual atau Ahli hukum yang terpercaya.
  2. Menjaga kerahasiaan kekayaan intelektual sebelum didaftarkan
  3. Pastikan ide bukan jiplakan

Perusahaan startup, terutama yang terkait dengan teknologi dan ide yang baru, memiliki potensi untuk menghasilkan keuntungan yang besar bagi kreator dan investor. Apalagi dalam perkembangannya di pasar Amerika Serikat. Kisaran nilai perusahaan yang berawal dari startup, telah banyak yang berhasil mencapai angka milyaran dollar AS dan listing di bursa saham. Sebut saja Facebook, Google, Instagram, atau twitter. Semuanya kini menjadi raja social media di dunia internet dan penciptanya menjadi milyarder melalui kepemilikan sahamnya.

Fenomena The Internet Bubble atau Dot-Com Bubble pada akhir tahun 1990-an ditandai dengan munculnya sejumlah besar perusahaan startup di internet. Beberapa perusahaan startup menjual teknologi untuk menyediakan akses internet ada juga yang menggunakan internet untuk menjual layanan kepada konsumen. Sebagian besar kegiatan yang bersifat startup ini, terletak di Silicon Valley, wilayah utara California yang kini terkenal dengan aktivitas perusahaan startup kelas atas. Di sinilah tempat tokoh-tokoh perkembangan teknologi dimatangkan dengan industry, seperti Bill Gates, Steve Jobs, dan Wozniak.

Sebuah perusahaan mungkin berhenti menjadi startup saat melewati berbagai pencapaian, seperti menjadi profitable, atau menjadi perusahaan publik melalui mekanisme IPO, atau berhenti untuk eksis sebagai entitas independen melalui proses merger atau akuisisi. Di sinilah perusahaan startup menemukan titik puncak keberhasilan dan menemukan tantangan yang sebenarnya. Apakah perusahaan Startup akan kehilangan kekuatan visi dan menjadi perusahaan yang menjalankan business as usual? Atau tetap konsisten menjadi perusahaan yang memiliki visi dan tidak terjebak pada rutinitas bisnis.

Venture Capital, Sang Pemodal Startup

Keberhasilan perusahaan startup yang kini telah menjadi perusahaan publik diantaranya tidak terlepas dari kehadiran venture capital yang membantu dalam hal permodalan dan pengelolaan keuangan. Venture Capital (VC) adalah modal finansial yang biasanya diberikan pada tahap awal pertumbuhan perusahaan startup yang dianggap berpotensi tinggi untuk sukses namun juga berisiko tinggi untuk gagal. Venture Capital menempatkan dana untuk membiayai operasional perusahaan startup, dan biasanya VC langsung melakukan perbaikan pada manajemen perusahaan, keuangan, dan segala urusan perusahaan di atas kertas. Venture Capital membantu perusahaan startup untuk melakukan make over perusahaan sebagai bagian dari konsekuensi penyertaan modal. Dengan begitu, bisnis dapat dipersiapkan untuk tumbuh dan berkembang.

Modal ventura merupakan bagian dari ekuitas swasta. Semua modal ventura adalah ekuitas swasta, tetapi tidak semua ekuitas swasta adalah modal ventura. Ciri khas Venture Capital terlihat setelah dana awal berputar dan menjadi putaran pertumbuhan dana. Ujung-ujungnya untuk kepentingan menghasilkan return melalui acara seperti IPO atau penjualan perdagangan perusahaan.

Selain Angel Investing dan dan pilihan benih pendanaan lainnya, Venture  Capital menarik bagi perusahaan yang baru berdiri. Perusahaan yang masih terbatas dalam sejarah operasi dan terlalu kecil untuk meningkatkan modal di pasar publik. Dimana perusahaan tersebut belum mencapai kemampuan mengamankan pinjaman bank atau memenuhi syarat penawaran hutang. Sebagai gantinya atas risiko yang tinggi, Venture Capital berasumsi dengan berinvestasi di perusahaan-perusahaan yang lebih kecil dan baru, VC biasanya meminta kontrol signifikan atas keputusan perusahaan, di samping VC mendapat sebagian besar kepemilikan perusahaan.

Ada 6 Tahapan pembiayaan yang dapat ditawarkan oleh Venture Capital, yang bersesuaian dengan tahap-tahap perkembangan perusahaan, yaitu:


  1. Seed Funding, adalah pembiayaan tingkat rendah yang diperlukan untuk membuktikan ide baru, sering disediakan oleh Angel Investor. Crowd funding juga merupakan bagian dari seed funding.
  2. Start-up, adalah tahapan pembiayaan untuk perusahaan di awal berdirinya, yang membutuhkan dana untuk biaya pemasaran dan pengembangan produk
  3. Growth, pembiayaan untuk penjualan awal dan dana manufaktur
  4. Second-Round: Modal kerja untuk tahap awal perusahaan yang menjual produk, tetapi belum mengubah keuntungan
  5. Ekspansi: Juga disebut pembiayaan Mezzanine, ini adalah uang ekspansi untuk perusahaan yang baru menguntungkan
  6. Exit of Venture Capitalist: Juga disebut bridge financing, putaran ke-4 ini dimaksudkan untuk membiayai "go public" proses

Antara babak pertama dan babak keempat, upaya yang dilakukan perusahaan dapat juga berupa pengambilan utang usaha.

Perusahaan Venture Capital dalam bermitra memiliki pendekatan kerjasama yang berbeda-beda. Ada beberapa factor yang mempengaruhi keputusan Venture Capitalist, diantaranya:


  1. Bisnis Situasi: Beberapa Venture Capitalist cenderung untuk berinvestasi dalam ide-ide baru, atau perusahaan pemula. Lainnya lebih suka berinvestasi di perusahaan mapan yang membutuhkan dukungan untuk go public atau tumbuh.
  2. Berinvestasi hanya pada industri tertentu.
  3. Beroperasi secara lokal sementara yang lain beroperasi secara nasional atau bahkan global.
  4. Variasi Harapan VC. Beberapa mungkin ingin lebih cepat melakukan penjualan publik atau mengharapkan pertumbuhan yang cepat. Jumlah bantuan yang disediakan VC dapat bervariasi.

Dari analisis terhadap kondisi perusahaan yang akan diberikan injeksi dana, kemudian VC memilih diantara faktor-faktor tersebut yang tepat bagi perusahaan yang akan diberikan modal usaha.

Startup Menghadapi Tantangan Business as Usual

Fenomena kemunculan startup yang menghebohkan, telah membuat para pelaku bisnis startup tenggelam dalam euphoria. Berbagai media bahkan menaruh perhatian terlalu berlebihan atas kemunculan pelaku bisnis startup dan memperlakukan mereka seperti selebritis. Padahal sebagian besar dari mereka baru saja memulai, namun dengan adanya liputan yang intens di media, para pelaku startup tak jarang yang memoles cerita bisnisnya menjadi sedemikan fantastis, walaupun realita menunjukkan hal yang berbeda. Akibatnya, sebagian besar pengelola startup yang dulu turut menikmati euforia peliputan oleh media, kini tidak pernah lagi terdengar. Sebagian ada yang berhenti di tengah jalan, sebagian lagi tengah mati suri, dan sisanya sedang sibuk membenahi perusahaan sehingga tengelam dalam era business as usual, yang tidak mencirikan high growth perusahaan startup pada awal berdirinya.

Diperkirakan pada saat booming kemunculannya, lebih dari seribuan perusahaan startup yang terbentuk di Indonesia. Saat itu seperti masa subur bagi kelahiran bisnis startup. Ternyata tidak hanya perorangan yang tertarik, grup usaha besar pun ikut mencoba peruntungan di bisnis digital startup. Djarum Group misalnya, membentuk Global Digital Prima dan membentuk unit bisnis incubator bernama Merah Putih Inc (MPI). Beberapa startup local diakuisisi menjadi binaan MPI, salah satunya Kaskus dengan nilai akuisisi 500 Miliar rupiah. Begitu juga Grup Kompas, tidak ketinggalan mengakuisisi Urbanesia dari tangan East Ventures internasional. Lalu diikuti dengan Akuisisi Detikcom, perusahaan berita yang berawal dari level startup, diakuisisi Para Group senilai 640 Miliar rupiah. Sekaligus menjadi nilai akuisisi bisnis dot.com yang terbesar di Indonesia hingga saat ini.

Menurut para pengamat, kemunculan bisnis startup sedang melambat dikarenakan banyak yang menyadari bahwa membuat bisnis startup tidak gampang. Dari mulai perencanaan sampai aplikasi harus digarap dengan serius. Bahkan beberapa startup yang 2 tahun lalu menjadi juara kompetisi malah sudah tidak terdengar lagi. Banyak dugaan hal ini dikarenakan beberapa ide bisnis startup tidak feasible. Dampaknya, tidak ada investor yang bersedia membiayai bisnis tersebut, dan akhirnya  dana pengembangan bisnis owner habis.

Industri startup kini memasuki fase realitas. Dimana kenyataan meminta pelaku bisnis startup untuk melakukan business as usual, tidak sekedar mengurusi trafik, popularitas, kecanggihan, atau publikasi media. Tuntutan untuk mengelola pemasaran, keuangan, SDM dan aspek manajerial bisnis lainnya juga muncul menjadi prioritas untuk diperhatikan oleh pelaku bisnis startup agar bisnis dapat berkembang.

Akan tetapi, tak jarang kesibukan dalam mengelola perusahaan membawa pelaku bisnis startup menjadi takjub pada hitungan melangit di atas kertas business plan. Disamping itu, pekerjaan mengelola perusahaan ternyata telah membuat visi sebagian besar owner bisnis startup menjadi terlupakan. Inilah yang menjadi salah satu faktor kegagalan perkembangan bisnis startup.

Menurut Rhenald Kasali, agar senantiasa bertahan, tumbuh, dan berkembang maka bisnis startup semestinya memiliki empat komponen penting, yakni:


  1. Kemampuan teknis personil inti
  2. Jiwa kewirausahaan, penuh inovasi
  3. Kemampuan manajemen professional
  4. Jaringan, termasuk financial network

Bisnis startup tidak bisa hanya mengandalkan kemampuan teknis, karena suatu saat akan terhenti pada kesibukan mengembangkan produk, yang belum tentu menarik pembeli. Sedangkan uang untuk menjalankan bisnis ini jelas tidak kecil. Belajar dari detikcom, yang merupakan perusahaan startup di era 2000-an. Detikcom bisa membesar karena aspek manajemen professional dalam menjalankan bisnis turut diperhatikan. Sehingga, akuisisi detikcom oleh Para Group pun menjadi yang terbesar dalam sejarah akuisisi bisnis digital.

Menata Ulang Bisnis Startup

Dalam Startup Genome Report 2012, yang meneliti kegagalan lebih dari 3.200 perusahaan startup, ditemukan fakta bahwa 90% kegagalan terjadi karena faktor yang disebut sebagai self-destruction dan bukan karena kompetisi. Faktor merusak diri ini mayoritas muncul karena keinginan pemilik bisnis untuk melakukan premature scaling, alias ingin buru-buru besar. Kegiatan self destruction ini meliputi, menghabiskan uang untuk akuisisi pelanggan, fasilitas operasional kantor, dan berbagai kegiatan promosi yang tidak tepat sasaran. Sementara produk yang ditawarkan masih mentah. Premature scaling adalah unsur terbesar dalam self destruction.

Menurut Genome Project, ada 5 dimensi inti bagi startup yang harus diperhatikan supaya bisa tumbuh sehat, yaitu: Produk, pelanggan, tim, model bisnis, dan keuangan. Startup yang sukses adalah yang mampu mengelola 5 dimensi inti untuk bergerak bersama. Sebaliknya, yang gagal adalah mereka yang tidak bisa memadukan dimensi-dimensi tersebut.

Dimensi Produk

Bisnis apapun yang digeluti, harus membuat produk yang sifatnya seperti aspirin ketimbang vitamin. Sama-sama bermanfaat tetapi aspirin cenderung lebih dibutuhkan daripada vitamin. Must have dengan nice to have. Sehingga akan terbangun paradigma berikan benefit bukan sekedar nice to have feature. Tantangannya adalah mengkaji ulang apakah produk tersebut sudah sesuai dengan kebutuhan pasar atau tidak, lalu mencari cara agar produk menjadi bersifat seperti aspirin.

Dimensi Pelanggan

Pelajari besaran pasar yang akan dimasuki. Bila pasarnya besar, otomatis lebih cepat dan lebih gampang. Apabila pasarnya kecil, maka harus bersiap untuk memiliki nafas yang panjang.

Dimensi Tim

Startup membutuhkan tim  yang sesuai dengan kondisi bisnisnya. Banyak startup yang gagal karena over hiring dan over building tim. Termasuk memperbanyak mengangkat jabatan seperti CFO, Customer Service, Account Manager, dst. Sementara bisnis baru dimulai dan belum teruji. Organisasi yang ramping dan efisien adalah yang tepat untuk startup.

Dimensi Model Bisnis

Faktor kunci yang mesti disadari oleh startup adalah model bisnis. Terlebih bagi startup yang tengah stagnan. Model bisnis harus bisa membuat perusahaan mengakuisisi pelanggan dengan biaya akuisisi yang lebih kecil dari keuntungan monetisasi yang didapat.

Dimensi Keuangan

Dibutuhkan kemampuan untuk mengelola keuangan. Idealnya startup mengalokasikan dana dengan tepat dan efisien. Banyak pengelola startup yang tidak menggunakan uang sesuai dengan kebutuhan, termasuk saat mendapat injeksi dana. Mengelola sisi keuangan bukan semata mencari dan mendapat pendanaan tetapi lebih kepada aspek balancing sesuai kebutuhan.

Jurus menata ulang Startup


  1. Alokasikan cash flow sesuai dengan kebutuhan dan hindari over spending yang tidak berguna
  2. Buat produk yang bertipe aspirin, bukan fitamin. Beri benefit bukan sekedar banyak fitur
  3. Pahami kondisi pasar yang akan menjadi target pemasaran.
  4. Buat organisasi sesuai dengan kondisi bisnis yang ramping dan efisien
  5. Adaptasikan model bisnis dengan situasi pasar dan kompetisi. Buat model bisnis yang menghasilkan pendapatan lebih besar ketimbang biaya akuisisi pelanggan.

Perusahaan yang berawal dari Startup seperti Apple, Google, Facebook dan Instagram, memulai bisnis sebagai perusahaan yang berorientasi produk bak Rock Star. Mereka tidak mengikuti mainstream produk dan malah membuat trend. Namun bisnis tidak hanya sampai di riset dan pengembangan produk. Setelah menanjak menjadi perusahaan yang memiliki banyak pelanggan, tuntutan untuk mengelola perusahaan sebagai korporasi semakin kuat. Maka dari itu, penting bagi pemilik bisnis Startup untuk dapat bekerja dengan system korporat yang memiliki pedoman tentang cara mengatur orang dan bisnis. Dengan tindakan tersebut lini operasi akan semakin teratur dan tertata, serta perusahaan dapat menyiapkan diri untuk melakukan bisnis yang lebih besar.

Sumber:


  • Swa edisi Bara Api Startup Lokal
  • Wikipedia
  • Berbagai sumber

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun