Sebelum memiliki enam agama seperti sekarang, dulu penduduk Nusantara punya tradisi dan kepercayaan yang sudah matang. Kepercayaan itu mereka wujudkan ke dalam sebuah menhir, arca, dan sejumlah lukisan gua. Berawal dari sebuah kepercayaan, unsur keindahan yang terbungkus dalam artikulasi seni ikut membuncah kemudian. Mereka melakukan kebiasaan-kebiasaan yang intinya tertuju pada penghormatan kepada pendahulu.
Meski belum mengenal tulisan namun mereka gemar mengungkapkan perasaannya ke dalam media gambar. Dalam konteks ini, gambar pada masa prasejarah merupakan data arkeologi yang sampai sekarang dapat dijumpai pada sejumlah situs gua di dunia. Keberadaannya memberikan bukti adanya kegiatan hidup manusia di dalam gua.
Berdasarkan penelitian para arkeolog, lukisan tangan di gua-gua prasejarah mempunyai beragam makna, seperti tanda kepemilikan, berkabung, dan penolak bala. Manusia purba dengan cara yang diyakininya telah memberi pemahaman kepada kita bahwa peradaban –yang di dalamnya terdapat seni dan budaya– akan tetap ada dan berkembang meski tanpa agama sekalipun.
Membatasi Imajinasi
Namun ketika agama-agama itu hadir, imaji seni dan budaya (kemudian disebut warisan) ikut terbatasi karena aturan-aturan yang sebagian mengeliminasi kepercayaan atau budaya asli. Barangkali memang benar apa yang dikemukakan oleh pakar arkeologi bahwa warisan tidak hanya memiliki publik yang tunggal tetapi jamak. Masing-masing merasa punya kepentingan dan ingin mengambil manfaat dari warisan itu.
Hal ini tentu saja wajar, karena sebuah warisan memiliki nilai penting yang berbeda bagi setiap pihak. Ada yang menilai pentingnya suatu warisan dari segi ilmu pengetahuan (untuk pengkajian dan pengujian akademik), etnik (jatidiri dan latar kehidupan suatu masyarakat tertentu), estetik (bukti hasil seni yang adiluhung, maupun publik (kepentingan masyaakat secara umum) termasuk untuk pendidikan masyarakat, daya tarik wisata, serta keuntungan ekonomis dan politis-agamis.
Dari sekian kepentingan yang disebutkan di atas, ada dua hal yang menurut saya mengkhawatirkan yaitu untuk keuntungan ekonomis dan politis-agamis. Hal ini cukup beralasan jika kita mencermati kembali peristiwa sosial yang akhir-akhir ini terjadi. Anda pasti pernah menyaksikan, sebuah pertunjukan seni tradisi baik langsung maupun di televisi yang terkesan janggal. Sebab, para talent atau pemainnya diharuskan memakai manset untuk menutupi bagian tubuh mereka yang terbuka.
Sungguh sulit untuk dipungkiri, fenomena semacam ini menunjukkan bahwa warisan yang sudah ada dipaksa mengikuti aturan agama tertentu yang pragmatis. Selain itu euforia otonomi daerah telah memperparah keadaan. Setiap daerah merasa memiliki hak terhadap warisan tertentu melebihi siapapun. Karena itu, tidak jarang pemerintah daerah menerapkan kebijakan sendiri yang seringkali justru makin membatasi ruang gerak dan imaji seni tradisi, bahkan malah mengikis nilai-nilai warisan budaya sebagai pusaka bangsa.
Belajar dari Seorang Gandrung
Selain terkenal dengan surga pariwisatanya Banyuwangi juga memiliki warisan budaya yang memikat, salah satunya adalah tari Gandrung. Tari ini telah ditetapkan sebagai warisan budaya bukan benda oleh kemendikbud pada 2013 lalu. Untuk mempopulerkannya kembali di kalangan masyarakat Banyuwangi, maka dihelatlah sebuah festival bertajuk Gandrung Sewu.
Dilihat dari segi penampilan, seorang penari Gandrung memakai sejumlah atribut, di antaranya mahkota berhiaskan dua ekor ular berkepala kesatria, busana yang diadopsi dari “kemben”, sampur, dan jarik. Karena prototipe busana yang dipakai adalah mengadopsi “kemben” maka secara otomatis sebagian bagian tubuh penari akan terlihat. Faktor ini kemudian dijadikan alasan, seorang penari Gandrung harus memakai manset.
Tidak sampai di situ, penggiringan seni tradisi ke ranah aturan agama tertentu semakin kentara. Karena pada perhelatan Gandrung Sewu tahun ini yang baru saja berlalu, terdapat suatu hal yang janggal kembali hadir yaitu di bagian openingserta closing dibubuhi Sholawat. Musik ini hadir seakan-akan menjadi alat legitimasi politik-agamis bahwa agama dan budaya menjadi bagian penting dalam pembangunan daerah. Apakah ini juga berarti tanpa agama sebuah kebudayaan dan tradisi akan mati?.
Entahlah, namun perlu dikemukakan dalam tulisan ini sebelumnya memang ada protes dari beberapa pihak. Katanya budaya dan tradisi di Banyuwangi –mulai dari Kebo-keboan hingga Gandrung Sewu– kebanyakan bernuansa Hindu. Sehingga kemudian munculah gagasan agar di bagian openingserta closing Gandrung Sewu dibubuhi Sholawat. Bahkan untuk perhelatan Gandrung Sewu di tahun yang akan datang, semua penari diharuskan mengenakan kebaya.
Hindu Disinggung
Saya tidak habis pikir dengan gagasan tersebut. Apakah belum cukup dengan penggunaan manset yang memberi kesan, penari Gandrung sekarang terlihat kemayu (genit dan manja) karena tersengat matahari sedikit saja tidak mau? Terus, mengapa Hindu disinggung dan dijadikan alasan untuk melegalkan kebijakan tersebut?.
Apakah budaya dan tradisi asli jika tidak dibubuhi ornamentasi islami akan memberikan efek negatif bagi yang menikmati? Begitu burukkah warisan budaya yang dimiliki Nusantara sebelum kedatangan musafir dari Arab dan Persia? Tidak hanya kali ini saja Hindu disinggung dengan seenaknya. Kemarin di media massa santer terdengar pernyataan Egi Sujana yang membuat kami meradang. Selain itu, akhir bulan lalu akan diadakan pergelaran musik cadas dengan memanfaatkan Candi Prambanan. Padahal candi tersebut dari dulu sampai sekarang masih disakralkan oleh masyarakat Hindu di Indonesia.
Fakta-fakta sosial semacam itu memang sempat membuat kami (umat Hindu) gelisah. Namun, meski berulangkali disinggung dan bahkan ditampar sekalipun tidak lantas mendorong kami melakukan aksi anarkis. Bagi kami tidak ada gunanya membalas kekerasan dengan kekerasan. Karena pada dasarnya seluruh dunia ini adalah satu keluarga tunggal (Vasudaiva Kutumbakam).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H