Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Teater Lebih Mengasyikan ketimbang Turun ke Jalan

29 September 2017   09:40 Diperbarui: 29 September 2017   14:19 1091
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Salah satu penampilan peserta Mocsa. Dokpri.

Ketika pulang ke tanah Blambangan saya tetap on the trackdi ranah seni peran. Mengajak kawan-kawan menyalurkan aspirasi dan kegelisahan melalui panggung sandiwara. Suasana antara Denpasar dan Blambangan memang berbeda karena di sini teater rakyat lebih dominan dibanding panggung teatrikal kawula muda. Namun, bukan berarti kita mati kutu dibuatnya.

Profesi sebagai arkeolog terkadang mengharuskan saya untuk ke luar kota. Seperti tahun awal 2016 lalu saya diundang ke Jember untuk menjadi narasumber dalam sebuah diskusi. Sebelum memaparkan materi terlalu jauh, saya sengaja membaca guritan (puisi Jawa) agar suasana tidak monoton. Sebab, sebelumnya ada narasumber lain yang memberi paparan kepada mereka. Berawal dari itu, setiap ada acara yang diadakan oleh Perhimpunan Pemuda Hindu (PERADAH) Indonesia atau lainnya, saya diberi kesempatan untuk melakukan perform.

Dunia teater memang memiliki jalannya sendiri. Keberadaannya bisa menjadi jalan alternatif untuk menyatakan sikap dan aspirasi selain demonstrasi. Para pembaca pasti sudah mengenal WS. Rendra bukan? Salah seorang aktor teater dan sastrawan ulung kebanggaan republik. Bahkan ketika masa Orde Baru masih berkuasa, setiap ia pentas dianggap sebagai sebuah ancaman karena segudang persoalan negara yang coba diramu di dalamnya.

Panggung Gugat di Blitar

Tanggal 17-19 Juni 2016 saya bersama kawan-kawan pengurus DPK Peradah Banyuwangi lainnya diundang oleh DPP Peradah Jawa Timur mengikuti Religi Camp. Acara ini dilaksanakan di Desa Krisik (Pura Agung Arga Sunya) – Kabupaten Blitar. Ketika malam pentas seni, kami menampilkan sejumlah seni dari Banyuwangi, seperti Tari Jaran Goyang dan Tari Gandrung Dor. Dari kabupaten dan kota yang hadir, Banyuwangi memberi sajian terbanyak. Selain tarian kami juga menampikan teater.

Waktu persiapan hanya dua hari sebelum perform, bahkan tidak sempat latihan teater karena pada awalnya saya akan bermonolog. Beberapa jam menjelang pementasan rencana berubah. Saya melakukan breafingdengan kawan-kawan dan akhirnya sepakat untuk mementaskan teater berjudul Gugat. Naskah itu saya tulis dengan latar belakang carut-marutnya pemahaman masyarakat tentang posisi perempuan di tatanan sosial. Setelah selesai perform ternyata Banyuwangi mendapatkan pujian. Kami tersenyum lega karena di tengah keterbatasan yang ada dapat memberikan yang terbaik.

Perform di Blitar. Dokpri.
Perform di Blitar. Dokpri.
Pementasan demi pementasan tetap kami lakukan meski terkadang sesekali berada pada titik jenuh. Hal ini semata-mata kami lakukan untuk menjaga konsistensi dan tentu saja idealisme. Saya masih ingat pesan dari Mas Utay --kawan-kawan sering menjulukinya sebagai dewa monolog-- "Kalau mau kaya jangan di teater," katanya di Art Center waktu itu.

Ketika Banyuwangi menjadi tuan rumah pelaksanaan Dharma Shanti Nyepi 1939 Saka tingkat Jawa Timur bulan April 2017. Saya didaulat panitia untuk turut andil membidani tari kolosal. Setelah beberapa hari berpikir, akhirnya saya memutuskan menulis naskah Kidung Maha Wilwatikta dan bekerjasama dengan Mas Dwi untuk menggarap koreografinya. Kami membutuhkan delapan kali latihan sebelum semuanya siap dipentaskan.

Cerita ini diangkat untuk mengapresiasi kepemimpinan Gayatri dan Tribuwanottunggadewi dalam percaturan perpolitikan Majapahit. Selain itu, saya juga ingin memberi perspektif baru dalam menggarap narasi pementasan. Karena di pementasan teater rakyat yang sudah berlangsung selama ini tokoh perempuan selalu didiskreditkan. Sejarah yang diangkat pun kebanyakan dari tuturan dan mengesampingkan tracking historyyang sebenarnya. ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun