Tentu Anda sudah tahu tentang cerita epos yang diangkat ke layar kaca. Mahabharata dengan segala daya tariknya secara langsung telah menjadi guru bagi semua. Perang besar itu sanggup menguras emosi dan mempermainkan perasaan. Namun, ada satu bagian cerita yang hampir mengurungkannya. Ketika itu Arjuna enggan untuk berperang. Ia hendak mematahkan dendam dengan memilih tidak ingin melanjutkan peperangan. Hanya cinta dan kasih sayang antar sesama yang akan menyelamatkan Astinapura.
Tontonan dalam bentuk apapun memiliki jiwanya sendiri-sendiri. Terlepas itu tradisi atau bukan yang jelas keduanya mengajak kita untuk berpikir dan menalar. Baratayudha hakikatnya hanya sebuah repertoar yang sengaja digubah untuk mengingatkan manusia akan keterbatasannya. Perang yang sesungguhnya bukan dengan orang lain tetapi melawan diri sendiri. Setelah pertempuran selesai ke manakah mereka akan kembali? Sejatinya antara Pandawa maupun Kurawa tidak ada yang kalah dan menang. Sebab, mereka memiliki prinsip dan tujuan sendiri-sendiri. Kita memang seharusnya tidak perlu heran mengapa kemudian Pandawa melakukan pengembaraan. Dalam tradisi orang Jawa pencapaian kesejatian diri adalah yang terpenting.
Mereka menjalankan peran masing-masing sama seperti orang di atas panggung. Selepas lulus dari kuliah saya rindu dengan dunia panggung. Di sana saya bisa menjadi siapapun, tergantung repertoar yang sedang digarap. Dulu saya memang tidak pernah berunjuk rasa seperti mahasiswa kebanyakan. Bagi saya menyalurkan perasaan melalui panggung teater lebih mengasyikan ketimbang turun ke jalan.
Berawal dari Sanggar Poerbatjaraka saya memasuki dunia teater Bali. Belajar memahami kemerdekaan yang sebenarnya menjadi seorang aktor. Empat tahun delapan bulan bukanlah waktu yang panjang. Namun di sana banyak hal unik dan menjengkelkan yang secara langsung membentuk diri saya yang sekarang. Sejak awal saya memilih menggunakan nama Jingga Kelana untuk menyatakan sikap. Nama itu disebut untuk pertama kalinya ketika membawakan monolog untuk performing art. Sebuah naskah karya orang Sumatera Utara yang sejak awal cinta pada dunia seni peran.
Memilih Mocsa
Ketika itu proses kreatif terus berlanjut. Hingga akhirnya saya dipercaya  menjadi ketua untuk menggerakkan kembali roda kehidupan Sanggar Poerbatjaraka. Saya bersama kawan-kawan menemui para tetua untuk melakukan konsolidasi sebelum melangkah terlalu jauh. Akhirnya, setelah mendengar saran serta masukan kami pun memberanikan mengadakan sebuah festival. Festival tersebut kami jadikan sebagai ajang untuk mereaktualisasikan diri. Selain memang wahana untuk menampung kreativitas aktor dan aktris monolog SMA/SMK di Provinsi Bali.
Festival Mocsa (Monolog Caraka Sastra), sebuah nama yang keren namun butuh nyali besar untuk menyelenggarakannya. Karena sebelumnya ada perdebatan serta persaingan antara panitia penyelenggara dan Senat Mahasiswa yang ketika itu masih Fakultas Sastra. Idealisme kami dipertaruhkan. Tetap menjadi lembaga independen atau mengikuti permainan mereka. Akhirnya kami memilih tetap berjalan sendiri, meski itu artinya Mocsa tidak lagi diadakan di auditorium seperti rencana.
Persaingan semakin kentara ketika jadwal Reinkarnasi Budaya (sebuah acara bentukan SMFS) yang semula tidak berbarengan dengan acara kami, tiba-tiba tanggal pelaksanaannya disamakan. Dilihat dari ragam lomba yang ada di dalamnya, semula mereka tidak mencantumkan monolog dalam materi. Namun, setelah tahu Sanggar Poerbatjaraka akan mengadakan festival monolog se-Bali tiba-tiba materi monolog muncul dalam materi lomba Reinkarnasi Budaya.
Meski begitu kami tetap jalan sesuai rencana. Dilihat dari segi kesiapan kami lebih matang dan sudah menentukan peserta dari awal. Hingga akhirnya festival itu pun berhasil diadakan di Gedung Pramuka, Denpasar pada tahun 2012. Begitulah sekelumit dinamika yang terjadi ketika saya dan kawan-kawan menjaga gawang Sanggar Poerbatjaraka. Tidak mudah, tapi setidaknya kami sudah ikut menjaga api semangat dan perjuangan yang dari dulu ditanamkan para tetua sanggar.
Konsisten
Ketika pulang ke tanah Blambangan saya tetap on the trackdi ranah seni peran. Mengajak kawan-kawan menyalurkan aspirasi dan kegelisahan melalui panggung sandiwara. Suasana antara Denpasar dan Blambangan memang berbeda karena di sini teater rakyat lebih dominan dibanding panggung teatrikal kawula muda. Namun, bukan berarti kita mati kutu dibuatnya.
Profesi sebagai arkeolog terkadang mengharuskan saya untuk ke luar kota. Seperti tahun awal 2016 lalu saya diundang ke Jember untuk menjadi narasumber dalam sebuah diskusi. Sebelum memaparkan materi terlalu jauh, saya sengaja membaca guritan (puisi Jawa) agar suasana tidak monoton. Sebab, sebelumnya ada narasumber lain yang memberi paparan kepada mereka. Berawal dari itu, setiap ada acara yang diadakan oleh Perhimpunan Pemuda Hindu (PERADAH) Indonesia atau lainnya, saya diberi kesempatan untuk melakukan perform.
Dunia teater memang memiliki jalannya sendiri. Keberadaannya bisa menjadi jalan alternatif untuk menyatakan sikap dan aspirasi selain demonstrasi. Para pembaca pasti sudah mengenal WS. Rendra bukan? Salah seorang aktor teater dan sastrawan ulung kebanggaan republik. Bahkan ketika masa Orde Baru masih berkuasa, setiap ia pentas dianggap sebagai sebuah ancaman karena segudang persoalan negara yang coba diramu di dalamnya.
Panggung Gugat di Blitar
Tanggal 17-19 Juni 2016 saya bersama kawan-kawan pengurus DPK Peradah Banyuwangi lainnya diundang oleh DPP Peradah Jawa Timur mengikuti Religi Camp. Acara ini dilaksanakan di Desa Krisik (Pura Agung Arga Sunya) – Kabupaten Blitar. Ketika malam pentas seni, kami menampilkan sejumlah seni dari Banyuwangi, seperti Tari Jaran Goyang dan Tari Gandrung Dor. Dari kabupaten dan kota yang hadir, Banyuwangi memberi sajian terbanyak. Selain tarian kami juga menampikan teater.
Waktu persiapan hanya dua hari sebelum perform, bahkan tidak sempat latihan teater karena pada awalnya saya akan bermonolog. Beberapa jam menjelang pementasan rencana berubah. Saya melakukan breafingdengan kawan-kawan dan akhirnya sepakat untuk mementaskan teater berjudul Gugat. Naskah itu saya tulis dengan latar belakang carut-marutnya pemahaman masyarakat tentang posisi perempuan di tatanan sosial. Setelah selesai perform ternyata Banyuwangi mendapatkan pujian. Kami tersenyum lega karena di tengah keterbatasan yang ada dapat memberikan yang terbaik.
Ketika Banyuwangi menjadi tuan rumah pelaksanaan Dharma Shanti Nyepi 1939 Saka tingkat Jawa Timur bulan April 2017. Saya didaulat panitia untuk turut andil membidani tari kolosal. Setelah beberapa hari berpikir, akhirnya saya memutuskan menulis naskah Kidung Maha Wilwatikta dan bekerjasama dengan Mas Dwi untuk menggarap koreografinya. Kami membutuhkan delapan kali latihan sebelum semuanya siap dipentaskan.
Cerita ini diangkat untuk mengapresiasi kepemimpinan Gayatri dan Tribuwanottunggadewi dalam percaturan perpolitikan Majapahit. Selain itu, saya juga ingin memberi perspektif baru dalam menggarap narasi pementasan. Karena di pementasan teater rakyat yang sudah berlangsung selama ini tokoh perempuan selalu didiskreditkan. Sejarah yang diangkat pun kebanyakan dari tuturan dan mengesampingkan tracking historyyang sebenarnya. ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H