Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Masa Udayana, Kedudukan Perempuan (Bali) Lebih Tinggi

5 Juli 2017   21:36 Diperbarui: 5 Juli 2017   21:59 494
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Berkala Arkeologi, sumber: berkalaarkeologi.kemdikbud.go.id.

Sejenak saya terdiam setelah mendengar keluhan demi keluhan yang mampir ke telinga. Keluhan itu muncul dari mereka yang sedang sibuk menulis skripsi sebagai salah satu pertanggungjawaban akademik sebelum diperbolehkan secara resmi memasang gelar di belakang namanya. Kebanyakan dari mereka mengeluh karena kurangnya bahan referensi atau kalau tidak begitu, memang malas mencari, membaca, dan menulis. Menulis memang pekerjaan sederhana tetapi sanggup memeras otak dan perhatian. Menulis itu tidak gampang bagi mereka yang malas membaca dan turun ke lapangan untuk sekadar melakukan observasi terkait tema dan objek yang akan ditulis.

Berawal dari keluhan tersebut, akhirnya saya dapat menyimpulkan bahwa mahasiswa sekarang umumnya manja-manja. Simpulan ini pula yang saya dapat ketika kemarin berbincang dengan adik tingkat di Program Studi Arkeologi, Universitas Udayana yang bertandang ke Banyuwangi untuk melakukan penelitian berbasis etnoarkeologi terhadap sejumlah genta yang ada di Bali maupun Banyuwangi. Ia mengatakan mahasiswa arkeologi yang sekarang berbeda jauh dengan angkatan sebelumnya. Mereka jarang bertanya atau berdiskusi dengan kakak tingkat dan ketika dinasehati kadang tidak diindahkan. Sehingga kini terkesan ada jurang yang lumayan dalam antar angkatan. Sebelumnya, saya juga sempat mendapat kabar serupa dari adik tingkat lainnya.

Apakah ini tanda mentalitas mahasiswa milineal masa kini? Ya, apabila diamati sebenarnya generasi milineal sekarang lebih dimudahkan dengan adanya dunia virtual dan gadget. Mereka tinggal mengetik clue yang akan dicari, maka serupa hidangan semua akan tersaji di depan mata. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa ada sejumlah kampus yang melarang keras mahasiswanya menggunakan sumber-sumber tulisan yang berasal dari blogger atau wordpress. Saya rasa tulisan yang tersaji di kedua media tersebut masih layak dijadikan referensi dalam menulis. Sekarang kuncinya ada pada mahasiswa bersangkutan. Mereka harus mampu menyaring informasi yang diterima dari sana, sebab tidak jarang informasi online juga ada yang hoax belaka.

Apabila tidak boleh menggunakan tulisan yang bersumber dari blogger atau wordpress, mereka sebenarnya dapat mencari referensi dari jurnal ilmiah online. Emang ada? Banyak, tinggal milih tulisan soal apa dan dari jurnal yang mana. Contohnya di ranah arkeologi sekarang banyak jurnal onlinenya. Umumnya jurnal-jurnal itu diterbitkan oleh Balai Arkeologi yang tersebar di seluruh Indonesia. Ada beberapa jurnal ilmiah online yang semuanya di bawah Kemdikbud, di antaranya Berkala Arkeologi (Balai Arkeologi Yogyakarta), Amerta (Pusat Penelitian Arkeologi Nasional), dan Siddhayatra (Balai Arkeologi Sumatra Selatan). Selain jurnal, sekarang skripsi, tesis, dan desertasi sudah didigitalisasi. Masyarakat tinggal mengakses dan membaca sesuai keinginan. Sekali lagi, mahasiswa milineal sekarang sangat dimudahkan oleh teknologi dan dunia virtual. Penyakit yang sering menjangkiti otak mereka paling malas mencari, malas membaca, dan malas menulis.

Belajar dari Pengalaman

Sejauh pengamatan saya, tulisan-tulisan yang tersaji di lanal blogger atau wordpress layak dijadikan bahan perbandingan dan referensi, asalkan pengguna jeli dan kritis dalam memilah. Sama dengan jurnal ilmiah online, sumber dari kedua lanal itu yang validasi ilmiahnya dapat dipertanggungjawabkan juga banyak, seperti Majalah Arkeologi Indonesia (milik Djulianto Susantio, https://hurahura.wordpress.com), Tapak Arkeologi (milik Agustijanto, http://tapakarkeologi.blogspot.co.id), dan Ikatan Ahli Arkeologi Indonesia Pusat (https://iaaipusat.wordpress.com).

Tidak hanya arkeologi saja namun ilmu atau kajian di bidang sastra pun banyak rujukannya di dunia virtual. Sebut saja Agus Noor (https://agusnoorfiles.wordpress.com/), Mira MM Astra (https://mirammastra.wordpress.com), dan Saras Dewi (https://sarasdewiblog.wordpress.com). Mereka adalah sejumlah penulis dan sastrawan yang telah menelurkan banyak karya dan pasti karya mereka didasarkan pada observasi atau pun pengalaman. Tulisan mereka yang terpampang di blog masing-masing juga layak dijadikan sebagai sumber rujukan. Menurut saya, bukan medianya melainkan pengalaman dan kredibilitas dari si penulis yang dapat dijadikan pertimbangan layak atau tidak tulisan itu dapat menjadi rujukan.

Sapardi Joko Damono dalam sajaknya pernah mengatakan, pagi dikaruniai begitu banyak pintu dan kita disilakan masuk melewatinya kapan saja. Seperti itulah gambaran kemudahan yang dimiliki oleh generasi milineal dalam mengakses informasi, memilah dan memilih sumber rujukan untuk menulis. 

Kemarin ketika akan menerbitkan kumpulan cerpen bersama Rini Febriani Hauri (Sastrawan dari Jambi), saya sempat terperanjat karena ternyata cerpen-cerpen saya ejaannya banyak yang salah. Akhirnya, kawan saya itu berbaik hati untuk mengedit ejaan yang salah tersebut. Saya senang karena diingatkan olehnya karena Rini lebih berpengalaman melakukan editing naskah ketimbang saya. Saya juga pernah mengedit cerpennya, itu hanya karena dalam cerpen yang ditulis ada sejumlah kata berbahasa Jawa dan kebetulan ejaannya kurang benar.

Membedah Sejumlah Fakta

Prasasti Pejeng B beraksara Kwadrat, salah satu objek kajian Titi Surti Nastiti.
Prasasti Pejeng B beraksara Kwadrat, salah satu objek kajian Titi Surti Nastiti.
Begitulah dinamika yang terjadi dalam menulis, salah dan benar itu wajar. Tidak jarang tulisan yang tersaji dalam jurnal mendapat negasi karena ada data yang lebih valid dibanding penelitian sebelumnya. Kebalikannya, tulisan-tulisan yang ada di lanal blogger atau wordpress banyak yang dijadikan rujukan oleh arkeolog senior. Baru-baru ini saya membaca penelitian Titi Surti Nastiti (arkeolog senior Pusat Arkeologi Nasional) berjudul "Perkembangan Aksara Kwadrat di Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Bali: Analisis Paleografi" (2017) dan menggunakan rujukan yang bersumber dari wordpress pula. Putri dari  Ajip Rosidi ini mengatakan, dalam prasasti-prasasti yang dikeluarkan Udyana pada tahun 911 Saka (989 Masehi), 915 Saka (993 Masehi), 916 Saka (994 Masehi), dan 923 Saka (1101 Masehi), nama Guapriydharmmapatni selalu disebut terlebih dahulu, sehingga menunjukkan bahwa kedudukan Guapriydharmmapatni (perempuan) lebih tinggi dari Udayana (laki-laki).

Selain itu, ada fakta lain yang terungkap yaitu adanya cerita Udayana di Petirtaan Jalatunda menyebabkan banyak sarjana yang menghubungkannya dengan Udayana dari Dinasti Warmadewa yang memerintah di Bali. Namun jika melihat bahwa relief yang ada di petirtaan itu berangka tahun 899 Saka (977 Masehi), artinya relief ini dibuat sebelum Udayana menjadi raja. Sekitar tahun itu, Bali diperintah oleh Raja Janasadhu. Udayana sendiri baru memerintah pada tahun 911 Saka (989 Masehi) dengan gelar Sang Ratu Maruhani Sri Udayana Warmadewa. Ia memerintah bersama istrinya Sang Ratu Luhur Sri Gunapriydharmmapatni yang dikenal juga dengan nama Mahendradatta.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun