Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Majapahit, Sapi Dikonsumsi dan Perempuan Dihargai

30 Juni 2017   02:00 Diperbarui: 30 Juni 2017   09:05 1412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arca perwujudan Tribhuwanottunggadewi sebagai Parwati dari Candi Rimbi.

Hari ini masyarakat telah menjadi perhatian para arkeolog di samping arca dan stupa, hal ini dipengaruhi oleh sebuah pemahaman bersama bahwa seorang arkeolog dalam bekerja harus memberikan manfaat kepada masyarakat. Dalam konteks tersebut, salah satu tugas penting yang diemban arkeologi adalah memberikan penjelasan kepada masyarakat, tentang hasil-hasil penelitian untuk dapat dimanfaatkan sebagai warisan nenek moyang yang penuh nilai, sebagai identitas, dan jatidiri bangsa.

Hasil penelitian arkeologi harus senantiasa dipublikasikan dan disosialisasikan melalui berbagai media. Sehingga dengan langkah semacam itu diharapkan perlahan-lahan akan tumbuh pemahaman masyarakat yang pada saatnya dapat diaplikasikan dalam realita kehidupan sehari-hari. Media publikasi dan sosialisasi arkeologi dapat berupa tulisan, audio visual, maupun tontonan secara langsung.

Namun, memperhatikan studi "Most Littered Nation In the World" yang dilakukan oleh Central Connecticut State Univesity pada Maret 2016 lalu, Indonesia dinyatakan menduduki peringkat ke-60 dari 61 negara soal minat membaca. Indonesia persis berada di bawah Thailand (59) dan di atas Bostwana (61). Ternyata sosialisasi arkeologi melalui tulisan belum menjadi media darling (Kompas.com, 2016).

Fakta ini menjadi pekerjaan rumah, tidak hanya bagi akademisi arkeologi melainkan juga Najwa Shihab selaku Duta Baca Indonesia 2016-2020. Dalam sebuah kesempatan ia pernah mengatakan, masyarakat Indonesia cenderung menjadi pembaca yang reaktif, bukan proaktif (Kompas.com, 2017).

Menurutnya, Kita harus hati-hati melihat angka-angka itu, karena seringkali di lapangan spirit yang ditemukan berbeda. Perempuan yang terkenal tajam dalam memberikan pertanyaan ketika mewawancarai seorang tokoh tersebut memiliki tips untuk menanggulangi keengganan membaca yakni, kalau daya tahan bacanya belum kuat, dapat dicicil 5 menit pagi, siang, dan sore. Karena membaca seperti olahraga, semakin lama semakin terbiasa. Jadi harus dilatih kemampuan dan daya tahan seseorang (http://kabar24.bisnis.com, 2017).

Arkeologi dalam Dunia Virtual dan Puisi

Kegemaran anak muda saat ini cenderung sering berubah dan adaptif. Mereka menginginkan sesuatu yang simpel dan langsung dapat dinikmati saat itu juga. Maka, jangan kaget ketika misalnya melihat ada cewek yang sering menenteng netbook, gadget, ketimbang buku. Melihat kecenderungan ini seharusnya menggugah para akademisi untuk menyajikan informasi arkeologi dalam bentuk digital, memindahkan informasi dari dunia nyata ke dunia virtual dengan tetap memegang prinsip ilmiahnya. Langkah ini sudah ditempuh oleh berbagai pihak, salah satunya oleh Universitas Gajah Mada (UGM). Salah satu universitas terkemuka di Indonesia itu membuat link http://digilib.fib.ugm.ac.id, agar masyarakat dapat mengakses dengan mudah hasil-hasil penelitian akademisi arkeologi.

Selain itu, terenyata arkeologi dapat dinikmati melalui puisi dan tari kolosal. Ya, objek yang biasa dikaji oleh para arkeolog ada dalam buku "Suatu Suatu Sore, Bersama Jassin", sebuah himpunan puisi pilihan karya Rini Febriani Hauri, seorang sastrawan asal Jambi. Gadis kelahiran 28 Juli tersebut secara langsung ikut memasyarakatkan tinggalan arkeologi yang di antaranya berupa makara dan dwarapala. Kebiasaannya berkunjung ke sejumlah candi dan keraton mengilhaminya dalam menulis puisi. Namun, sahabat saya itu mengaku bahwa sebenarnya "Suatu Suatu Sore, Bersama Jassin" bukan judul besar pilihannya. Awal ketika akan diterbitkan ia memilih "Pulang ke Tanah Pilih", dan ternyata penerbit tidak setuju.

di tanah seberang, aku setia merawat

ingatan akan kenangan dan bayang-bayang kota kelahiran

...

pulanglah, tanah pilih merindukanmu!

Dilihat dari makna yang terbaca dalam puisi tersebut memperlihatkan kerinduan Rini yang sangat dalam kepada tanah kelahirannya. Menurut saya, puisi ini unik karena disusun dari kalimat "di tanah pilih pesako". Kelihatannya gadis yang memiliki akun instagram @puanswarnabhumi ini memikirkan puisi ini dengan matang.

Demikian pula dengan judul lain yang terdapat nuansa arkeologinya, ia sangat hati-hati dalam memilih diksi. Sederhana dan mudah dipahami seperti ini, //ragaku adalah pecahan arca yang korosi oleh cuaca/ cagar budaya di masa lalu//. Dari penggalan puisi berjudul "Makara" ini pembaca mendapat informasi bahwa sebuah arca apabila terlalu lama diletakkan di ruang terbuka dapat mengalami pelapukan atau pun pengapuran karena cuaca, yang diistilahkan "korosi" dalam puisi bersampul biru muda itu.


Tidak jarang pula ketika membaca, saya menemukan kesan romantisme dan sindiran pedas seperti yang terbaca dalam puisi berjudul "Prajnaparamita" berikut:

......

kematian itu seperti rindu

......

prajnaparamita menertawaiku

lengking suaranya seperti cadas

arca tanpa kepala dan dua tangan

duduk bersila saling bertumpu

dua untai kalung melilit di lehernya

temuan kuno di candi gumpung

......

maka, lekas kuukir ribuan wajahmu

dengan pallawa

Rini ingin mengatakan sebuah arca selain mengalami korosi akibat cuaca, juga dapat hancur karena ulah manusia, hal ini terbaca dalam ungkapan //aku melihat bayang wajahmu/ mengganti kepala prajnaparamita/ dengan setangkai padma di sisi arca/... dan memang ada sejumlah arca baik di Jawa maupun Sumatra yang dibubuhi inskripsi-inskripsi kuno, sebagai cerminan situasi sosial-politik pada zaman itu.

Tribhuwanottunggadewi dalam Imaji

Sebenarnya kajian arkeologi yang dihasilkan oleh arkeolog dapat membantu masyarakat dalam mendapatkan intepetrasi tentang kehidupan masa lalu. Kemarin ketika pelaksanaan Dharma Shanti Nyepi 1939 Saka Tingkat Provinsi Jawa Timur, saya mendapatkan kepercayaan dari panitia untuk menulis skenario sekaligus menjadi sutradara tari kolosal. Kesempatan emas itu saya jadikan sebagai media publikasi dan sosialisasi tentang narasi sejarah Majapahit berdasarkan data arkeologi yang valid.

Akhirnya setelah merenung dan mencari referensi sejenak, saya memutuskan untuk mengangkat ketokohan dari Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddani dalam kancah perpolitikan Majapahit dan tari kolosal itu berjudul "Kidung Maha Wilwatikta". Sebagaimana diketahui bahwa dalam cerita maninstream yang diangkat ke dalam teater rakyat seperti Janger ala Banyuwangi dan Ketoprak, sosok Ratu Kencana Wungu sangat populer sebagai ratu Majapahit, padahal tokoh itu diangkat hanya berdasar pada gugon tuwon yang berkembang dari mulut ke mulut saja.

Ketika memerintah Majapahit, Tribhuwanottunggadewi Jayawisnuwarddani dibantu oleh suami dan sejumlah punggawa seperti Gajah Mada dan suaminya Krtawarddhana. Selain itu, sang ibu Gayatri tidak lupa selalu membimbing anaknya tersebut agar menjadi seorang pemimpin yang bijak dan bajik.

Keterangan ini saya peroleh dari prasasti Geneng II yang berangka tahun 1251 Saka (1329 Masehi), di dalam prasasti tersebut terdapat istilah makalamanggalya (di bawah pengawasan/di bawah bimbingan). Selain mengangkat mengangkat ketokohan perempuan dalam memimpin, saya juga ingin memberikan gambaran kepada masyarakat Jawa Timur bahwa dulu memang Majapahit bercorak Hindu-Buddha. Meskipun begitu para penguasanya tidak mempersoalkan strata sosial atau kasta, dalam artian pemimpin laki-laki lebih superior dibanding pemimpin perempuan.

Sosok Tribhuwanottunggadewi dalam Tari Kolosal Kidung Maha Wilwatikta, gubahan Jingga Kelana.
Sosok Tribhuwanottunggadewi dalam Tari Kolosal Kidung Maha Wilwatikta, gubahan Jingga Kelana.
Arca perwujudan Tribhuwanottunggadewi sebagai Parwati dari Candi Rimbi.
Arca perwujudan Tribhuwanottunggadewi sebagai Parwati dari Candi Rimbi.
Ya, berdasarkan bukti prasasti menunjukkan, bahwa dalam catur perpolitikan masyarakat Jawa Kuna memang terdapat kedudukan dan peranan perempuan yang lebih tinggi daripada laki-laki. Pada masa pemerintahan Tribhuwanottunggadewi, seperti yang dituliskan dalam kakawin Nagaraketagama, dengan bantuan Gajah Mada ia berhasil memadamkan pemberontakan di Sadeng dan Keta pada tahun 1331 Masehi. Ia memerintah selama 22 tahun (1328-1350 Masehi) dan setelah itu menyerahkan tampuk pemerintahan kepada putranya, Hayam Wuruk.

Selain fakta sosial-kepemimpinan yang tidak mengikuti mainstream tersebut, di Masa Majapahit juga ada fakta menarik --berdasarkan penelitian Fadjar Ibnu tentang " Pola Pemanfaatan Binatang Sebagai Sumber Bahan Makanan Pada Masyarakat Majapahit di Trowulan (FS UGM, 1989)-- yaitu jenis binatang yang selalu ditemukan di Trowulan ketika dilakukan ekskavasi adalah sapi dan babi.

Hal tersebut menunjukkan bahwa golongan-golongan masyarakat di Trowulan lebih cenderung memanfaatkan kedua binatang ini secara luas, dengan demikian rumusan hipotesis yang berbunyi kelas-kelas yang berbeda dalam masyarakat di Trowulan yang memanfaatkan jenis binatang yang berbeda sebagai sumber bahan makanannya ternyata tidak terbukti.

Tidak Lagi Mengikuti Larangan

Ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan terjadinya pola pemanfaatan yang terjadi dalam bentuk pemilihan sapi dan babi yang ada di dalam masyarakat Majapahit di Trowulan. Pertama, sebagai suatu masyarakat perkotaan yang banyak berhubungan dengan dunia luar, masyarakat Majapahit tidak lagi memegang aturan-aturan keagamaan atau pun aturan nilai secara ketat. Gejala tersebut mengakibatkan masyarakat tidak lagi mengikuti larangan memakan daging binatang dari jenis tertentu seperti yang tercakup dalam rajamangsa (jenis binatang yang hanya boleh dimakan oleh raja) dan di antaranya adalah sapi.

Kedua, bahwa sebenarnya dalam masyarakat Jawa Kuna tidak ada penggolongan masyarakat dalam bentuk Kasta secara ketat seperti di India. Oleh karena pada dasarnya masyarakat yang beragama Hindu di Indonesia hanya mengenal pembagian masyarakat berdasarkan profesi yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra.

Di samping itu, masyarakat Majapahit tampaknya telah benar-benar mengetahui manfaat memelihara sapi dan babi. Sapi selain dimanfaatkan dagingnya, juga dapat diambil susunya. Sedangkan, babi selain dimakan dagingnya, lemaknya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Kotoran babi juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman.

Ditinjau dari ukuran tulang, tidak ditemukan sisa-sisa binatang lain yang biasanya terdapat dalam penggambaran relief seperti ayam, burung, kucing, atau katak. Mungkin disebabkan tulang-tulang binatang tersebut berukuran kecil, sehingga menyebabkan tulang-tulang sisa dari jenis binatang seperti yang tersebut di atas mudah hancur sehingga tidak ditemukan dalam ekskavasi yang dilakukan di Trowulan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun