Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ketika Majapahit, Sapi Dikonsumsi dan Perempuan Dihargai

30 Juni 2017   02:00 Diperbarui: 30 Juni 2017   09:05 1412
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Arca perwujudan Tribhuwanottunggadewi sebagai Parwati dari Candi Rimbi.

Keterangan ini saya peroleh dari prasasti Geneng II yang berangka tahun 1251 Saka (1329 Masehi), di dalam prasasti tersebut terdapat istilah makalamanggalya (di bawah pengawasan/di bawah bimbingan). Selain mengangkat mengangkat ketokohan perempuan dalam memimpin, saya juga ingin memberikan gambaran kepada masyarakat Jawa Timur bahwa dulu memang Majapahit bercorak Hindu-Buddha. Meskipun begitu para penguasanya tidak mempersoalkan strata sosial atau kasta, dalam artian pemimpin laki-laki lebih superior dibanding pemimpin perempuan.

Sosok Tribhuwanottunggadewi dalam Tari Kolosal Kidung Maha Wilwatikta, gubahan Jingga Kelana.
Sosok Tribhuwanottunggadewi dalam Tari Kolosal Kidung Maha Wilwatikta, gubahan Jingga Kelana.
Arca perwujudan Tribhuwanottunggadewi sebagai Parwati dari Candi Rimbi.
Arca perwujudan Tribhuwanottunggadewi sebagai Parwati dari Candi Rimbi.
Ya, berdasarkan bukti prasasti menunjukkan, bahwa dalam catur perpolitikan masyarakat Jawa Kuna memang terdapat kedudukan dan peranan perempuan yang lebih tinggi daripada laki-laki. Pada masa pemerintahan Tribhuwanottunggadewi, seperti yang dituliskan dalam kakawin Nagaraketagama, dengan bantuan Gajah Mada ia berhasil memadamkan pemberontakan di Sadeng dan Keta pada tahun 1331 Masehi. Ia memerintah selama 22 tahun (1328-1350 Masehi) dan setelah itu menyerahkan tampuk pemerintahan kepada putranya, Hayam Wuruk.

Selain fakta sosial-kepemimpinan yang tidak mengikuti mainstream tersebut, di Masa Majapahit juga ada fakta menarik --berdasarkan penelitian Fadjar Ibnu tentang " Pola Pemanfaatan Binatang Sebagai Sumber Bahan Makanan Pada Masyarakat Majapahit di Trowulan (FS UGM, 1989)-- yaitu jenis binatang yang selalu ditemukan di Trowulan ketika dilakukan ekskavasi adalah sapi dan babi.

Hal tersebut menunjukkan bahwa golongan-golongan masyarakat di Trowulan lebih cenderung memanfaatkan kedua binatang ini secara luas, dengan demikian rumusan hipotesis yang berbunyi kelas-kelas yang berbeda dalam masyarakat di Trowulan yang memanfaatkan jenis binatang yang berbeda sebagai sumber bahan makanannya ternyata tidak terbukti.

Tidak Lagi Mengikuti Larangan

Ada beberapa faktor yang dapat menjelaskan terjadinya pola pemanfaatan yang terjadi dalam bentuk pemilihan sapi dan babi yang ada di dalam masyarakat Majapahit di Trowulan. Pertama, sebagai suatu masyarakat perkotaan yang banyak berhubungan dengan dunia luar, masyarakat Majapahit tidak lagi memegang aturan-aturan keagamaan atau pun aturan nilai secara ketat. Gejala tersebut mengakibatkan masyarakat tidak lagi mengikuti larangan memakan daging binatang dari jenis tertentu seperti yang tercakup dalam rajamangsa (jenis binatang yang hanya boleh dimakan oleh raja) dan di antaranya adalah sapi.

Kedua, bahwa sebenarnya dalam masyarakat Jawa Kuna tidak ada penggolongan masyarakat dalam bentuk Kasta secara ketat seperti di India. Oleh karena pada dasarnya masyarakat yang beragama Hindu di Indonesia hanya mengenal pembagian masyarakat berdasarkan profesi yaitu Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra.

Di samping itu, masyarakat Majapahit tampaknya telah benar-benar mengetahui manfaat memelihara sapi dan babi. Sapi selain dimanfaatkan dagingnya, juga dapat diambil susunya. Sedangkan, babi selain dimakan dagingnya, lemaknya dapat digunakan sebagai bahan bakar. Kotoran babi juga dapat dimanfaatkan sebagai pupuk tanaman.

Ditinjau dari ukuran tulang, tidak ditemukan sisa-sisa binatang lain yang biasanya terdapat dalam penggambaran relief seperti ayam, burung, kucing, atau katak. Mungkin disebabkan tulang-tulang binatang tersebut berukuran kecil, sehingga menyebabkan tulang-tulang sisa dari jenis binatang seperti yang tersebut di atas mudah hancur sehingga tidak ditemukan dalam ekskavasi yang dilakukan di Trowulan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun