Sebab mandhek-nya macam-macam, kadang si sopir truk ujug-ujug kejang-kejang teringat mbarek janda kembang di kampung. Kadang supir truk mandhěk mangu lantaran di terik persimpangan tiba-tiba dia heran, kok bisa ya, seorang yang pincang dan bertubuh kurus kerempeng jadi arkeolog.
Akan tetapi, kemacetan setelah lampu hijau nyala itu ndak hanya gara-gara supir truk. Sering juga di situ ada wong édan. Dandanannya seperti Minak Jingga, maca undang-undang cagar budaya ndhik tengah-tengah perempatan. Keruan jadi tontonan. Panjang mengularlah antrean kendaraan yang mestinya sudah bisa berangsur laju.
Sinisme historis dalam melihat kondisi manajemen sumberdaya arkeologi di daerah sudah memenuhi kepala saya sejak tahun 2012 ketika pertama kali turun ke wilayah Banyuwangi. Tampuk pemerintahan sudah ganti berulang kali, tapi kenapa penanganan di ranah itu tidak kunjung terselesaikan dengan baik. Saya rasa saban pemerintah daerah mampu mengurusnya dan melaksanakan segala ketentuan yang ada di dalam UU No. 11/2010. Persoalan kemudian mulai muncul ketika kalimat pertanyaan beralih menjadi maukah mereka melaksanakannya?.
Sebenarnya kasus Penanggungan dan Gumuk Payung dapat ditanggulangi apabila kita mau “melepas baju” yang melekat erat di tubuh ini, dan mulai duduk bersama untuk menyamakan persepsi. Sebab, pasal 96 menyebutkan bahwa pemerintah dan pemerintah daerah sesuai dengan tingkatannya mempunyai wewenang (di antaranya): menetapkan etika pelestarian cagar budaya; mengkoordinasikan pelestarian cagar budaya secara lintas sektor dan wilayah; menyelenggarakan kerja sama pelestarian cagar budaya; mengadakan penyidikan kasus pelanggaran hukum; menghentikan proses pemanfaatan ruang atau proses pembangunan yang dapat menyebabkan rusak, hilang, atau musnahnya cagar budaya, baik seluruh maupun bagian-bagiannya.
Poin penting yang dapat dilakukan oleh lembaga keagamaan Hindu berkaitan dengan hal ini adalah melakukan kerja sama dengan pemerintah daerah. Saya mengharapkan, pengurus Peradah di daerah melakukan sosialisasi pelestarian warisan budaya karena sesuai dengan amanat UU No. 11/2010 eksekusi lebih ditekankan kepada personalia yang ada di daerah, sedangkan pada tingkat pusat sifatnya hanya mem-back upsaja. Program ke depan, lembaga agama Hindu memang perlu untuk membentuk tim khusus yang berkonsentrasi di ranah itu. Kalau personalia di daerah tidak siap dengan segala konsekuensinya, ya tamatlah sudah riwayatmu!
Ah, apa gunanya mempercakapkan kasus-kasus semacam ini. Paling sebentar lagi juga menguap! Sungguh pahit, kekecewaan yang teramat pahit! Pedih rasa hati mengenangkannya kembali. Kami di sini sebenarnya tidak ingin membicarakannya lagi, tetapi diam tidak selalu berarti mengiyakan atau menyerah untuk melepaskan semuanya. Hai masa lalu peradabanku, dalam nada debat berbuih kekecewaan yang kau mainkan, terasa ada kekosongan yang tak terduga dan entah selanjutnya…
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI