Mohon tunggu...
Jingga Kelana
Jingga Kelana Mohon Tunggu... Arkeolog -

Lulusan Program Studi Arkeologi, FIB Udayana

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jagad Pewayangan, Mengapa Dilarang di Ibu Kota?

23 Januari 2017   07:30 Diperbarui: 23 Januari 2017   09:13 3066
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Spanduk penolakan wayang kulit. Vivanews.co.id
Spanduk penolakan wayang kulit. Vivanews.co.id
Minggu (22/1/2017) orang banyak yang memperbincangkan wayang sehingga dalam hitungan jam telah menjadi viral di media sosial. Mereka memperbincangkannya karena wayang dilarang  diputar di Jakarta. Pelarangan itu dilewatkan melalui spanduk yang bertuliskan “Menolak dengan Keras Pemutaran Wayang Kulit”, “Wayang Kulit Bukan Budaya dan Ajaran Umat Islam”, serta “Pemutaran Wayang Kulit Bukan Syariat Islam”.

Marginalisasi

Ya memang benar, tahun 2017 bagi sebagian daerah di Indonesia adalah tahun politik karena daerah seperti Jakarta akan melaksanakan Pilkada. Semua sudah paham, kegiatan politik yang satu itu sarat akan persaingan (seperti dicontohkan pertarungan Rama dan Rahwana di atas). Sudah saatnya para tokoh yang "dituakan" oleh masyarakat dalam membuat himbauan maupun kebijakan hendaknya didasarkan pada kajian yang bersifat ilmiah. 

Hal ini dimaksudkan untuk menjaga kredibilitas dan akuntabilitas seseorang di mata masyarakat. Sebab, orang Jawa mengenal ungkapan sabda brahmana raja. Ungkapan tersebut bermakna bahwa setiap ucapan yang keluar dari mulut seseorang harus didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan yang matang dan penuh kehati-hatian.

Unsur kehati-hatian ini harus benar-benar dijaga oleh orang yang dituakan oleh masyarakat karena bagaimanapun juga mereka menjadi panutan bagi yang lain. Terlebih prasasti Dawangsari menyebutkan: //Saat melihatmu pendeta, akan kelihatan semua kebaikan dan keburukan, yang akan memberi gambaran pada pikiran tidak sia-sia dilihat oleh orang kebanyakan// Janganlah tergesa-gesa mencela orang lain lebih-lebih jika tidak senang tingkah lakunya, tidak bisa dibayangkan kesulitan orang yang luas seperti langit// Jadi, lihatlah selama keinginan dasarnya untuk mencapai tujuan orang yang sungguh-sungguh menjalani hidupnya// .......... Pikiran baik dari seorang pendeta, memberikan kepuasan bagi yang berbuat baik, hilang kesombongan yang hina yang selalu melihat kekerasan//.

Sebenarnya persoalan ini tidak perlu diperdebatkan karena memang kita hidup dalam suasana yang cenderung heterogen. Jadi lucu saja kalau ada seorang tokoh yang ngowah-ngowahi adat (berusaha merubah adat kebiasaan yang sudah mapan) dan menolak adanya perbedaan melalui sebuah spanduk. Haruskah warisan budaya bangsa yang diakui dunia terjerembab ke dalam pusaran politik daerah?

Pergelaran Wayang Kulit (Foto: Jingga Kelana)
Pergelaran Wayang Kulit (Foto: Jingga Kelana)
Proses marginalisasi simbol-simbol budaya Jawa secara gamblang telah dipertontonkan melalui spanduk di Ibukota Jakarta. Saya teringat kata Goenawan Mohamad yang mengatakan bahwa seperti yang lain-lain, ia bermula dari sebuah nol. 

Adanya seruan tersebut sebenarnya berawal dari titik nol atau ketidaktahuan seseorang terhadap pokok persoalan yang coba mereka dengang-dengungkan dan lawan. Bukankah dulu Sunan Kalijaga ketika melakukan syiar Islam juga menggunakan media pergelaran wayang kulit?

Tentu, orang-orang yang terpengaruh akan pemberitaan tersebut akan langsung berbicara negatif karena perspektif keilmuwanan dan menyuarakan pandangan-pandangan nuraninya. Tetapi kita juga harus ingat, bahwa seringkali hal itu muncul karena konteksnya tidak sempurna, terputus, atau menjadi tak bisa menerima karena konteksnya telah dikaburkan oleh pihak yang berseteru. 

Masyarakat pasti masih ingat dengan peristiwa perobohan patung tokoh pewayangan di Jawa Barat dan unjuk rasa besar-besaran yang dimotori oleh ormas-ormas tertentu. Padahal konflik ini hanya melibatkan segelintir orang, namun meluber ke mana-mana di kemudian hari.

Sebenarnya mereka yang menciptakan kebijakan, himbauan, isu, atau apalah namanya itu bukanlah orang jahat –mereka orang baik– namun berupaya mengendus kebenaran dengan nada kekecewaan atau sebaliknya. Isu atau seruan, atau kebijakan itu dibuat dan dipelihara dengan pertama-tama mengaburkan kebenaran konteks. Konteks tersebut mereka buat sendiri sehingga kita gelisah.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun