Pengantar
Ketika Jawa memasuki masa Hindu-Buddha, sejumlah bangunan suci dibangun sebagai wujud penghormatan kepada para dewa maupun leluhur. Konsep ini sebenarnya sudah dikenal sejak masa prasejarah, ketika itu manusia menganggap roh nenek moyang dan sesuatu yang besar wajib dihormati. Agar doa mereka segera terkabul maka manusia purba naik ke tempat yang tinggi atau membangun bangunan suci, seperti punden berundak.
Masa Hindu-Buddha di Indonesia dmulai ketika budaya India masuk ditandai dengan dikenalnya aksara dan bahasa Sanskerta. Selain aksara dan bahasa, juga dikenal konsep-konsep arsitektur khas India yang berpijak kepada Vastu Purusa Mandala. Dilihat dari sisi gaya arsitekturnya, terdapat beberapa gaya yaitu gaya Singhasari, gaya Jago, gaya Brahu, dan gaya punden berundak. Gaya arsitektur yang telah disebutkan mengacu kepada sejumlah candi di Jawa Timur.
Bangunan suci yang telah dibangun pada zaman dahulu sebenarnya memiliki berbagai macam nama disesuaikan dengan fungsi dan kedudukannya. Contohnya pada masa Jawa Kuna ada bangunan suci yang disebut sebagai Prasāda (prasasti Cunggrang, 851 Ś dan Kakawin Ghaṭotkacāśraya), Dharma Kahyangan (prasasti Kanuruhan I dan II). Sedangkan, dalam Kakawin Desawarnana dan Kakawin Arjunawijaya, tempat suci di Jawa Timur ada yang disebut Dharma Dalĕm/Haji (semua bangunan suci untuk keluarga raja), Dharma Lĕpas (tempat suci yang dianugrahkan kepada pendeta dan Rsi), dan Karsyan. Jadi, bangunan suci yang bernuansakan Hindu-Buddha tidak harus disebut candi.
Sementara itu, beberapa tahun belakangan ini di Banyuwangi telah dibangun sejumlah candi. Candi tersebut dibangun oleh masyarakat Hindu dan digunakan sebagai tempat ibadah. Namun, tampak ada sesuatu hal yang merisaukan setelah candi-candi itu berdiri dengan megahnya, hingga kawan saya yang ada di Surabaya pun bertanya soal penamaan bangunan tersebut benar apa tidak?.
Ya, harus diakui bahwa semangat masyarakat Hindu di Jawa Timur untuk membangun dan menggunakan kembali –istilah maupun bentuk bangunan suci masa Jawa Kuna– perlu diapresiasi. Meskipun begitu bukan berarti mereka dapat menyebut semua bangunan suci sebagai candi, padahal bangunan itu adalah Padmasana dan gĕdong pĕnyimpĕnan yang sengaja dibangun menyerupai bentuk candi pada umumnya.
Komponen-komponen Candi
Bangunan-bangunan suci pemujaan di Jawa dibangun berdasarkan konsepsi ajaran agama Hindu, Buddha, atau sinkretisasi keduanya. Perbedaan di antara ketiganya dapat diketahui dari wujud beberapa elemen penting candi yang bersangkutan. Bangunan candi tunggal Hindu contohnya, bisa dikenali dari arca-arca dewa Hindu, serta terdapat ornamen lingga atau ratna pada puncak bangunannya. Sedangkan, candi tunggal Buddha ditandai dengan keberadaan arca Buddha atau sejumlah relief yang bernafaskan agama Buddha seperti Tantri, Jataka Awadana, dan terdapat ornamen stūpika di puncak bangunan.
Pada bagian badan Candi Siwa, Prambanan misalnya terdapat empat buah ruang suci dengan empat buah pintu masuk yang menghadap ke empat arah mata angin dan di ruang-ruang itu ditempatkan sejumlah arca yakni arca Siwa Mahadewa (tengah), Siwa Mahaguru (selatan), Ganesa (utara), dan Durga (barat). Hal yang cukup menarik dari Candi Prambanan adalah memang benar candi ini bernafaskan Hindu-Siwa namun juga terdapat elemen Buddha-nya yaitu berupa amalaka, wujud dasarnya stupa namun pada bagian bulat dilengkapi dengan garis-garis dari atas ke bawah.
Perkembangan selanjutnya, di wilayah Jawa Timur pada masa Majapahit (abad ke-12-15 M) perpaduan antara Hindu-Buddha termaktub di dalam Kakawin Sutasoma: Siwatattwa lawan Buddhatattwa tunggal, bhineka tunggal ika. Tan hana dharma mangrwa (Agama Hindu dan Buddha itu satu, berbeda tapi satu jua, tidak ada ajaran agama mendua). Sementara itu, di dalam Kakawin Kunjarakarna disebutkan: Aku Wairocana yang merupakan Buddha dan Siwa dalam bentuk yang dapat dilihat, adalah guru semesta alam dan oleh karena itu Aku dikenal dengan nama Bhatara Guru, dewa tertinggi yang menembusi semua dunia.
Bangunan candi di Jawa Timur yang mengandung sinkretisme Hindu-Buddha, contohnya adalah Candi Jawi dan Candi Jabung. Bangunan Candi Jawi pada bagian dasar dan tubuhnya bersifat Hindu-Siwa karena dilengkapi dengan yoni yang terletak di bilik candi dan arca Durga (dua arca yang masih tersisa namun cukup untuk membuktikan ada unsur Hindu di candi tersebut). Sedangkan, puncak Candi Jawi berbentuk Stupa yang merupakan simbol agama Buddha.
Makara dalam berbagai literaturdisebutkan pula sebagai sosok yang memiliki makna simbolis sebagai elemen yangberhubungan dengan unsur air. Pada arsitektur percandian di Jawa, reliefsepasang makara disatukan dengan pahatan wajah raksasa Kala Rahu. Kesatuanornamen ini dipahatkan membingkai lubang pintu masuk bangunan candi dan dikenaldengan nama kala-makara.
Sementara itu, berkaitan dengan orientasi dan tata ruang, candi-candi di Jawa Timur berorientasi ke arah gunung, seperti Candi Jawi menghadap ke barat laut (Gunung Penanggungan) dan Candi Surawana ke timur (Gunung Kawi dan Arjuno). Hal ini mengisyaratkan pentingnya pemujaan gunung dalam praktik keagamaan di Jawa Timur. Begitu pula dengan pembagian ruang menjadi tiga bagian sebagaimana Candi Panataran dengan pelataran paling suci berada di belakang. Di kemudian hari, konsep ini diadopsi untuk membangun pura di Bali. Jadi, skema Pura di Bali merupakan kesinambungan konsep arsitektur religius Jawa Timur ke konsep arsitektur religius Bali, bukan sebaliknya!.
Candi Macan Putih
Banyuwangi yang dulu merupakan bekas Kerajaan Blambangan, sebenarnya memiliki peninggalan berupa reruntuhan candi yaitu di Situs Macan Putih, Kecamatan Kabat dan Situs Gumuk Payung, Kecamatan Sempu. Bukti litografi tertua mengenai Candi Macan Putih berasal dari lukisan reruntuhannya yang dilukis oleh seorang Lithographer Eropa pada tahun 1802 M. Dia menyertai Nicolaus Engelhad (Gubernur Pesisir Utara dan Timur Jawa, 1801-1808 M) dari Semarang hingga Banyuwangi. Pada lukisan itu, tampak sebuah reruntuhan bangunan candi batu putih yang didirikan di atas gundukan tanah dan dikelilingi tembok bata merah.
Kemudian lukisan tahun 1850 M yang menunjukkan Candi Macan Putih memiliki ornamen Kala yang tergeletak di samping reruntuhan bangunan. Berdasarkan kedua lukisan tersebut, setelah 48 tahun berlalu sejak kunjungan Engelhard tahun 1802, tembok yang mengelilingi candi telah hilang. Sementara itu, seorang Apoteker Berlin bernama Johanes Muller juga melukis reruntuhan candi dari jarak dekat pada tahun 1859 M. Lukisan pertama, dia melukis ornamen Kala yang terbuat dari bata putih. Sedangkan, lukisan kedua berupa reruntuhan tembok berhiaskan bunga teratai dan ornamen sepasang naga bermahkota.
Ornamen kedok muka yang digambarkan oleh Johanes Muller memiliki ciri-ciri, bertangan panjang, telapak tangan terbuka sehingga tampak jelas jjumlah jarinya. Sedikit aneh memang apabila mencermati lukisan Muller. Penggambaran ornamen kedok muka tersebut terkesan berlebihan (bandingkan dengan ornamen kedok muka Candi Panataran).
Sementara itu, Frederick Eep dalam laporannya pada tahun 1849 menerangkan bahwa memang benar Candi Macan Putih dikelilingi oleh tembok, bangunan utama candi berbahan baku batu kapur berukir, fondasinya berupa kura-kura terbuat dari batu kali yang dililit oleh dua ekor ular (gambaran fragmen ini di kemudian hari menjadi bagian dari bangunan Padmasana), pintu masuk berada di sebelah barat (ini berarti candi utama menghadap ke arah timur). Terdapat pandapa kecil dan petirtān, serta candi berlatar belakang agama Hindu-Siwa.
Johanes Muller di dalam catatannya menerangkan bahwa orientasi candi memang ke arah timur, sebab kepala kura-kura dan ular menghadap ke barat. Selain itu, di candi tersebut terdapat arca Trimurti, ornamen kedok muka, dan sĕngkalan. Lukisan reruntuhan Candi Macan Putih tahun 1802 apabila dicari persamaannya secara visual mirip dengan Candi Songgoriti. Namun, intepretasi ini hanya sekadar sastra bandingan. Sastra bandingan tersebut belum tentu benar dan mencapai titik kulminasi yang ideal, karena masih akan banyak bias penafsiran di sana-sini. Hal ini akibat dari perekontruksian hanya dilakukan di atas kertas, hanya berdasarkan lukisan, dan tidak merujuk langsung pada fakta di lapangan!.
Tetapi dari suatu hal yang saling bertolak belakang tersebut akhirnya dapat diketahui, bahwa masyarakat Jawa-Hindu yang bermukim di Banyuwangi memiliki karakter dan kepribadian tersendiri yang harus tetap dipelajari, dijaga, dipertahankan, dan dilestarikan sesuai dengan paugĕranyang ada. Kepribadian itu di kemudian hari dialĕluhuri (dihormati dan diteruskan) oleh masyarakat Bali-Hindu sebagaimana dibuktikan oleh keberadaan ornamen kedok muka Pura Maospahit, Tonja, Denpasar yang sama dengan kedok muka Barong Blambangan.
Penutup
Kita semua tengah belajar membangun sebuah masa depan baru. Di belakang kita sebuah jalan berliku telah kita hadapi. Kami sebagai generasi penerusmu di balik gerbang virtualitas itu, mencoba memahamimu dari realitas yang tengah kau jalani. Dari kalianlah kami belajar tentang seluk-beluk dunia digital dan kehidupan. Kami terkejut menerima pesan-pesan dan menanggapi kejadian belakangan ini telah mengorbankan sejumlah artefak yang ada. Tapi sebaliknya, kalian terkejut ketika keluar dari dunia maya, bertempur dalam dunia realitas, dan menemukan warisan terpendam milik para leluhur.
Realitas itu tidak hanya selebar kaca di hadapanmu. Kita harus siap keluar dari zona nyaman, dari foya-foya menenggak harta hasil menjual harga diri para leluhur, dan berteguh janji menjaga warisan yang tersisa. Jangan biarkan dirimu terkoyak dibakar api kebencian terhadap warisan leluhurmu sendiri, karena hal itu dapat membuatmu kehilangan pijakan hidup untuk selamanya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H