Mohon tunggu...
Arjuna Paminta Cipta
Arjuna Paminta Cipta Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Hobi saya main game, itu aja

Selanjutnya

Tutup

Seni

Sejarah Wayang Kulit Purwa

8 Januari 2024   20:49 Diperbarui: 8 Januari 2024   20:50 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seni. Sumber ilustrasi: Unsplash

           Wayang Purwa adalah wayang dengan usia ratusan tahun dan wayang purwa ini muncul pertama kali sebagai upacara khusus untuk meyembah roh nenek moyang. Upacara tersebut merupakan upacara yang dilangsungkan untuk mengenang arwah para leluhur kita.

            Wayang purwa berasal dari ponorogo bahkan masih dipertontonkan hingga saat ini. Kata purwa sendiri berarti awal yang digunakan untuk membedakan jenis wayang kulit ini dari wayang kulit jenis lain. Wayang kulit purwa merupakan salah satu jenis wayang yang termasuk bagian dari wayang gedog, wayang madya, wayang klitik purwa, wayang wahyu, wayang wahono, dan sebagainya.

            Keberada wayang kulit purwa ini dapat dilihat dengan adanya prasasti di abad ke 11 pada zaman pemerintahan Sri Kanjeng Maharaja Prabu Airlangga Wisnumurti yang tertulis :

Hanonton ringgit manangis asekel muda hidepan, huwus wruh towin jan walulang inukir molah angucap. 

Yang artinya:

Ada orang melihat wayang menangis, kagum, serta sedih hatinya. Walaupun sudah mengerti bahwa yang dilihat itu hanya kulit yang dipahat berbentuk orang dapat bergerak dan bebicara.

            Penggalan kalimat tersebut adalah bait ke-59 dalam Kakawin Arjuna Wiwaha karya Empu Kanwa (1030), pertunjukan wayang kulit pertama kali dikenal di Jawa pada zaman pemerintahan dan Airlangga di kerajaan kediri.

            Cerita pada wayang kulit purwa ini biasanya bercerita tentang Ramayana dan Mahabarata, apabila wayang ini sudah masuk ke cerita Panji biasanya dipertunjukan dengan wayang Gedhog. Wayang kulit purwa sendiri memiliki beberapa gaya atau gagrag antara lain, gagagrak Jawatimuran, Cirebon, Ngayogyakarta, Banyumasan, Kasunanan, Kedu, Mangkunegaran, dan lain-lain

            Wayang kulit purwa ini terbuat dari kulit hewan seperti kerbau dan sapi yang ditatah dan diwarnai sesuai dengan karakter wayang yang ada, tangkai atau gapit wayang biasanya terbuat dari tanduk kerbau bule, bamboo, dan kayu yang dibuat sesuai dengan bentuk wayang tersebut.

            Wayang kulit purwa memiliki beberapa bentuk yang dapat digolongkan menjadi beberapa golongan sebagai berikut: Wayang Ageng; yaitu boneka wayang dengan ukuran yang besar, terutama pada bagian tubuhnya seperti lambung dan kakinya melebihi wayang biasa, golongan wayang ini disebut dengan wayang jujudan, Wayang Kidang Kencana; yaitu boneka wayang dengan ukuran yang tidak terlalu besar lebih kecil darpada wayang ageng dan tidak terlalu kecil, sesuai dengan kebutuhan dalang (wayang pedalangan), Wayang kaper; yaitu boneka wayang yang memiliki ukuran lebih kecil dari wayang kidang kencana, Wayang Kateb; yaitu boneka wayang yang memiliki Panjang kaki tidak sesuai dengan tubuhnya.

Sesuai dengan perkembangan jaman dan budaya manusia wayang juga mengalami perkembangan mulai dari bentuk pada wayang kulit mengalami perubahan besar, bahkan dari tradisi berubah ke kreasi baru. Contoh perubahannya semisal:

Bentuk pada bagian mata wayang yang berubah menjadi bentuk seperti mata manusia, tangan yang menempel pada tubuh wayang dianggap kurang bagus untuk dilihat oleh karena itu tangan wayang di buat menjadi pisah dengan tubuh wayang. Untuk berikutnya diberikan pewarnaan.

Cepatnya perkembangan wayang itu pada jaman Wali Sanga, diantaranya Sunan Kalijaga, Sunan Bonang, dan yang lainnya ikut merombang bentuk wayang agar terlihat lebih indah bentuknya.

Pada zaman Sultan Agung Hanyukrakusuma, jaman Kerajaan Pajang, Kerajaan Surakarta zaman Pakubuwono wayang mengalami banyak sekali penyempuranaan bentuk sehingga terciptanya wayang dengan bentuk seperti sekarang.

Pada zaman kejayaan Kerajaan Surakarta pernah dibuat bentuk wayang dengan ukuran yang sangat besar yang kemudian diberi nama Kyai Kadung. Hal ini yang memberikan inspirasi bagi para dalang di Surakarta untuk membuat wayang dengan ukuran yang sangat besar, seperti Alm. Ki Mulyanto Mangkudarsono dari Sragen, Jawa Tengah membuat Buto dengan ukuran 2 meter. Karya ini yang kemudian di tiru oleh beberapa dalang terkenal termasuk Alm. Ki Entus dari Tegal dan Alm. Ki Seno dari Yogyakarta.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun