Mohon tunggu...
Arizal IbnuRianto
Arizal IbnuRianto Mohon Tunggu... Administrasi - Mahasiswa Ekonomi Syariah

Mahasiswa beruntung di salah satu kampus kota hujan

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Problematika Regulasi Halal Global

15 Maret 2021   16:57 Diperbarui: 15 Maret 2021   17:20 281
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Kemungkinan Keseragaman Standar Halal di Negara Organisasi Negara Islam (OKI)

Kebutuhan membentuk satu standar halal global saat ni menjad permasalahan yang mendesak bagi industi halal. Dalam jangka panjang, tidak samanya Standar halal antar Negara berdampak kurangnya ketersedian pasokan yang pada jangka panjang akan merusak supply chain. 

Menurut ketua World Halal Forum, khairy Jamaludin, tidak adanya konsensus terkait standar halal antar Negara di dunia menyebabkan pertumbuhan industry halal tidak bisa dipercepat padahal permintaan produk  halal semakn meningkat. Peningatan permintaan ekspor produk halal menyebabkan peningkatan sertifkasi halal produk oleh lembaga sertfkasi halal yang melbatkan pemerintah. Namun disisi lain hal tersebut menyebabkan semakin sulitnya terjadi konsensus satu standar halal global.

Saat ini terdapat sekitar 122 badan sertifikasi Halal yang aktif di seluruh dunia yang terdiri dari pemerintah atau sebagian badan pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, masjid lokal atau masyarakat Islam. Bahkan ada negara yang tidak memiliki badan sertifikasi untuk memantau dan memastikan status Halal dari produk tersebut. Jumlah badan sertifikasi Halal yang semakin banyak dan peningkatan permntaan produk halal menyebabkan penggunaan logo Halal yang semakin beragam.

Direktur Eksekutif Internasional Halal Integrity Alliance, Darhim Hasyim menjelaskan bahwa dari 57 negara anggota OKI kurang dari lima yang memilikinya Badan Sertifikasi Halal, kurang dari setengah negara memiliki peraturan Halal terkait impor. Organisasi terkait Halal juga ada di negara non-OKI misalnya, AS dan Australia. Dalam hal ini, lima faktor dipertimbangkan dalam perkembangan Global Halal Standar yang meliputi lima mazhab fiqih dalam islam, sains, industri, ummat dan syariah.

OKI telah berupaya menyusun Halal Food Standards dengan membentuk Standing Committee for Economic and Commercial Cooperation dari Organization of Islamic Cooperation (COMCEC) dan di bawah COMCEC, mereka telah membentuk Kelompok Pakar Standardisasi OKI. 

Pada pertemuan ke 10 Kelompok Pakar Standardisasi OKI, di bawah agenda item ke 6 dari pertemuan tersebut, draf teks OKI Standar Pangan  Halal dibahas dalam waktu tiga hari namun dokumen tentang sertifikasi dan akreditasi untuk Standar pangan Halal  gagal mencapai konsesnsus selama pertemuan ini (COMCEC). 

Pada sesi kedua Pertemuan OKI berupaya untuk menyelesaikan masalah yang tertunda. Berdasarkan pandangan dari Akademi Fiqih Islam Internasional, ketiga draf dokumen telah diselesaikan untuk diserahkan guna ratifikasi pada Sesi ke 25 COMCEC. Pada sesi ke 25 COMCEC, Kelompok Ahli Standardisasi akhirnya menyelesaikan tiga dokumen yaitu "Pedoman Umum OKI terkait Makanan Halal ";" Pedoman Pemberian Badan Sertifikasi Halal "; dan" Pedoman Akreditasi Badan Berwenang terkait Sertifikasi Halal ". Namun semua dokumentasi ini belum disetujui oleh semua Negara OKI.

Selain COMCEC, terdapat lembaga internasional lainnya yang terkait dengan standardisasi Halal.

Pertama adalah The International Organization for Standardization (ISO) yang nampaknya menjadi pilihan yang jelas untuk melihat usulan adanya keseragaman antar Negara OKI dan bahkan dapat diterapkan ke semua negara di dunia; namun ISO tidak akan mengembangkan standar apapun berdasarkan persyaratan agama. Kedua adalah Codex Alimentarius Commission dimana lembaga ini memiliki pedoman penggunaan Istilah " Halal "Tetapi menjauhi masalah yang paling kontroversial dan ketiga, World Halal Council adalah asosiasi dari Badan sertifikasi Halal dari seluruh dunia terutama dari negara pengekspor pangan.

Menurut Hasyim ada tiga opsi yang harus dilakukan untuk mencapai Standar Halal Global. Pertama, melakukan kompromi di antara negara-negara atau organisasi Muslim terkait dengan Halal standar yang telah ditetapkan dan mereka harus siap dan bersedia untuk menarik posisi yang telah disusun sebelumnya. 

Kedua, menetapkan standar yang diterima secara universal oleh semua umat Islam misalnya tidak ada pemingsanan dalam menyembelih hewan, tidak menggunakan pisau potong mekanis, penyembelihan hewan harus ditangan seorang Muslim dan pembacaan ' Tasmiyyah 'pada setiap hewan. 

Ketiga, mengizinkan keragaman dan menerima perbedaan tetapi mengkonsolidasikan ke beberapa standar. Harmonisasi Sistem sertifikasi Halal akan membantu industri untuk mempercepat pengembangan produk, meyakinkan konsumen, mengurangi jumlah sertifikasi ganda.( Kamaruzaman, 2006)        

Peran Negara Dalam Pengaturan Jaminan Produk Pangan Halal (Studi Banding Paradigma Barat dan Timur)

Informasi dan Komunikasi teknologi merupakan faktor pendukung utama dalam globalisasi, produksi menjadi sangat besar dan meningkat sebagai hasil dari faktor pengetahuan baru berbasis teknologi. 

Sejalan dengan situasi tersebut konsumen juga semakin kritis menuntut standarisasi produk yang mereka konsumsi menuntut standarisasi mutu, kesehatan dan juga aspek lingkungan aspek sosial budaya dan agama. satu bentuk keamanan pangan bagi umat Islam adalah makan makanan halal yang boleh dimakan selama Umat Islam, kenyataannya di masyarakat, pangan yang sudah tersertifikasi ISO / HACCP masih belum bisa dikatakan halal makanan, dalam hukum islam makanan halal harus memenuhi beberapa syarat, tidak cukup kalau makanannya enak saja, harusnya bergizi dan higienis, harus memenuhi unsur halal.

Sistem perdagangan internasional juga memperhatikan sertifikasi dan penandaan halal sebagai upaya perlindungan Konsumen muslim dan sebagai strategi menghadapi globalisasi dan perdagangan bebas. Istilah halal dalam perdagangan internasional terkenal di CODEX1, CODEX dibentuk dengan maksud untuk melindungi kesehatan konsumen, organisasi ini didukung oleh beberapa organisasi internasional seperti WHO, FAO, dan WTO. 

Secara umum alasan negara untuk mengekspor produknya ke negara Muslim; 2 Pertama, perluasan merek barat untuk menerobos Pasar global "label halal" telah menjadi salah satu instrumen penting untuk memperkuat akses pasar daya saing produk dalam negeri di pasar internasional. 3; kedua; Itu membutuhkan sumber daya lain selain produksi minyak; ketiga; munculnya industri yang sesuai dengan nilai Islam, seperti syariah layanan keuangan.

Menyadari pentingnya pelabelan halal pada produk yang akan diekspor ke mayoritas penduduk Muslim negara, beberapa negara memiliki badan sertifikasi halal, Riaz dan Caudry pada 2014 mencatat 40 badan sertifikasi halal di AS pada tahun 2001, 6 badan sertifikasi halal di Australia, 2 badan sertifikasi halal di Selandia Baru, Sedangkan di Singapura, Malaysia, Thailand, Filipina dan Jepang masing-masing 1 lembaga sertifikasi direkomendasikan. Keberadaan lembaga sertifikasi halal membuktikan pentingnya regulasi halal pada perdagangan internasional Indonesia, sehingga negara perlu turun tangan dalam pelaksanaannya.

Regulasi Sertifikasi Halal Dalam Paradigma Barat tergambar pada Peraturan Hukum Terkait Sertifikasi Halal di Australia dan Selandia Baru. Selandia Baru dan Australia secara bertahap digabungkan secara ekonomi melalui proses yang disebut "Closer Economy Relation (CER) ". 

Australia adalah negara sekuler dan federal, mengacu pada Konstitusi Australia pasal 116 pemerintah dilarang mendukung atau mendanai agama atau mengungkapkan agama, (pengaturan halal adalah dianggap sebagai salah satu dakwah agama, karena standar halal adalah yang diutamakan oleh agama Islam, bukan sebagai manajemen mutu terintegrasi yang berlaku untuk ISO), peraturan tentang Jaminan Sertifikasi Halal adalah didukung tetapi dalam kapasitas sebagai praktik budaya. 

Dalam konteks ekonomi, memelihara dan mempromosikan budaya atau kebiasaan seperti dalam banyak kasus, diperbolehkan di Australia karena dianggap sebagai "keunggulan kompetitif yang berbeda pada ekonomi global ", fakta membuktikan bahwa 80% daging Australia menembus pasar negara mayoritas Muslim.

Pengaturan sertifikasi halal di Australia mengacu pada peraturan makanan umum, Sedangkan peraturan yang berlaku untuk standar makanan adalah The Australia New Zealand Food Standards Code Undang-undang ini merupakan penjabaran dari Legislatif Instruments Act 2003. 

Pada tahun 1953 National Health Medical Research Council (NHMRC) mengasumsikan untuk melakukan evaluasi standar pangan nasional, sebagai kelanjutan dari evaluasi standar pangan sehingga pada tahun 1980 The Model Food Act adalah standardisasi untuk makanan, Model Food Act tidak berlaku secara bersamaan di Australia, Tasmania telah menerapkan model Undang-Undang Pangan pada tahun 1962, Queensland pada tahun 1991 dan negara bagian terakhir menerapkan Model tersebut Undang-Undang Pangan adalah Wilayah Ibu Kota Australia pada tahun 1992

ada tahun 1983, Layanan Inspeksi Karantina Australia (AQIS) memperkenalkan program resmi halal pemerintah Australia untuk mengontrol produksi daging dan produk halal. Hal tersebut dapat mengidentifikasi prosedur yang diperlukan dan menjaga keutuhan daging halal di seluruh tahapan produksi, penyimpanan dan pengangkutan. Ketentuan tersebut berisi tentang:

1. Daging halal harus ditandai dengan stempel halal resmi

2. Daging halal harus diuraikan dalam sertifikat resmi pengiriman daging

3. Daging halal yang telah dimuat untuk tujuan ekspor mendapat sertifikat daging halal resmi yang ditandatangani oleh pejabat AQIS yang berwenang serta perwakilan organisasi dan perwakilan Islam yang diakui organisasi.

Penduduk Australia yang beragama Islam hanya 1,8 persen dari total penduduk, lembaga yang menanganinya sertifikasi halal biasanya berasal dari perusahaan swasta atau asosiasi muslim atau jemaah masjid, karena berdasarkan konstitusi Australia dilarang mengadakan propaganda agama, keberadaannya lembaga halal dianggap bagian dari budaya, namun secara ekonomi Australia dianggap menguntungkan. Institusi yang berwenang untuk mensertifikasi halal adalah: 

1. Supreme Islamic Council of Halal Meat in Australia Inc. (SICHMA)

2. Australian Halal Development & Accreditation (AHDAA)

3. Global Halal Trade Center Pty Ltd (GHTC Pty.Ltd)

4. Western Australian Halal Authority (WAHA)

5. The Islamic Coordinating Council of Victoria (ICCV))

6. Australian Halal Authority & Advisers (AHAA).

Selain memberikan sertifikat halal, agensi juga memperjuangkan 'User Pays' yang adil, dan proses pelabelan yang transparan. Sedangkan di New Zealand sama seperti di Australia yang mana tidak ada badan pemerintah yang ditugaskan untuk sertifikasi halal. lembaga sertifikasi halal yang berwenang adalah lembaga yang dibentuk secara lokal, seperti Al Kaussar Halal Food Authority dan Asia Pasifik Layanan Halal - New Zealand Pty. 2011 Limited.

Dua pertiga jumlah daging sapi, ayam dan domba di Australia berasal dari pemasok dengan sertifikasi halal. Sebagian besar produk susu dan makanan lainnya juga telah disertifikasi menurut standar syariah, meski tidak diberi label. Organisasi Islam di Australia memperkirakan nilai pasar sertifikasi halal global bisa mencapai 2,3 triliun Dolar AS pada 2013 atau tumbuh 20% per tahun. Sedangkan Selandia Baru dikenal sebagai salah satu pengekspor halal terbesar dan produsen di dunia. 

Produk halal Selandia Baru saat ini bukan hanya daging sapi dan domba halal saja. Tapi sudah memproduksi keju halal, susu halal, dan madu halal. Komunitas Muslim Australia hampir 99% akan membeli barang atau daging dengan label halal, tetapi karena Umat Islam di Australia kebanyakan adalah para pendatang yang datang ke Australia dengan pemahamannya masing-masing negara asalnya, maka menatukan pandangan fiqh agak sulit karena adanya perbedaan madzhab, sebab Misalnya perbedaan pandangan tentang materi yang diharamkan, khamar haram itu yang berasal dari anggur saja. Sedangkan yang lain tidak semuanya khamr tapi semua minuman memabukkan. Hambatan lain muncul dari kelompok pecinta hewan seperti The Royal Society for the Prevention of Cruelty to Animals (RSPCA) yang melarang menyembelih hewan saat hewan masih dalam keadaan sadar.

Regulasi Sertifikasi Halal Dalam Paradigma Barat tergambar pada Peraturan Hukum Terkait Sertifikasi Halal di Malaysia dan Indonesia. Pengaturan makanan halal di Malaysia didasarkan pada Pasal 11 Konstitusi Federal Malaysia. meskipun konstitusi mereka mengatakan seperti itu tetapi agama lain dapat mempraktikkan secara bebas di seluruh wilayah federal berdasarkan semangat perdamaian dan harmoni. Standar halal yang dianut oleh Pemerintah Malaysia mengacu pada hukum Islam dengan mazhab shafie atau hukum Islam di salah satu Madzhab lainnya, yaitu Maliki, Hanbali dan Hanafi, yang mana disetujui oleh Yang Dipertuan Agung untuk diberlakukan di wilayah federal atau penguasa Negara Bagian mana pun yang akan berlaku di negara bagian itu, atau fatwa yang disetujui oleh Otoritas Islam.

Sedangkan di Indonesia, sejak 2014 Indonesia telah memiliki UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (JPH), Pasal 4 JPH menyatakan bahwa semua produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia harus bersertifikat halal,  yang artinya semua produk wajib memperoleh sertifikasi halal sebagai suatu kebutuhan yang harus ada dilakukan oleh pengusaha baik itu pelaku usaha perseorangan atau badan usaha yang berbadan hokum berbadan hukum atau bukan badan hukum, sehingga semua pelaku usaha besar, menengah, kecil atau bahkan pelaku usaha mikro diwajibkan untuk mendapatkan sertifikat halal.

Informasi halal suatu produk pangan sangat penting bagi masyarakat Indonesia yang sebagian besar Muslim. Namun, kewajiban semua produk bersertifikat halal dianggap sebagian melanggar asas ketatanegaraan karena keistimewaan satu agama, sedangkan di agama lain ada larangan mengkonsumsi makanan, Negara tidak memperhatikan agama lain sedangkan Indonesia mengakui beberapa agama lain selain Islam maka yang diatur adalah mayoritas pemeluk agama mayoritas, oleh karena itu undang-undang no. 33 tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal dinilai melanggar Pasal 27 UUD 1945 yaitu hak pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum atas keadilan dan perlakuan yang sama di hadapan hokum.

Dari perbandingan di atas dapat dsimpulkan terdapat perbedaan yang signifikan terkait pengaturan halal dengan paradigma barat dan paradigma timur sebagai berikut:

1) Umumnya negara yang dianggap termasuk dalam paradigma barat adalah negara beragama Islam populasi minoritas dan negara sekuler, lembaga sertifikasi halal di negara tersebut dianggap sebagai bagian peningkatan ekspor produk, meskipun sudah ada lembaga sertifikasi tetapi tidak ada komisi fatwa karena itu minimal jumlah umat Islam Di sana, lembaga tersebut merupakan lembaga swasta dan tidak hanya bergerak di bidang sertifikasi tetapi juga di bidang dakwah Islam, kerjasama dengan lembaga sertifikasi serupa di negara lain dianggap sangat penting sebagai bagian dari peningkatan ekspor ke negara yang mayoritas penduduknya beragama Islam

2) Malaysia dan Indonesia masuk dalam paradigma timur, kedua negara ini paling besar Penduduk muslim, sehingga persoalan produk halal menjadi salah satu hal yang diatur oleh negara meski tidak negara Islam sebagai penjabaran dari pelaksanaan konstitusi negara, peraturan perundang-undangan, lembaga sertifikasi, komisi fatwa, pedoman pelaksanaan sertifikasi menjadi sarana untuk keberlangsungan halal ini jaminan produk.

Referensi:

Mustafa A. dan Mohd Mahyeddin. 2012. The Possibility of Uniformity on Halal Standards in  Organization of Islamic Countries (OIC) Country

Ainul Masruroh, Et al. 2017. The State's Role in Regulation of Halal Food Product Assurance (Comparative Study of West and East Paradigm)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun