Mohon tunggu...
A J K
A J K Mohon Tunggu... ada saja di rumah, gak kemana-mana koq... -

mantan calon penulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Orang Gila Itu Al Capone Sang Tirai Tirani

16 Februari 2012   03:29 Diperbarui: 25 Juni 2015   19:35 295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13298847311015720151

Cahaya senja membilas keringat di balik kerah kemejanya. Wajahnya kini kian sepucat tepian daun jati yang ia hempit erat di rimbun jembut ketiak. Antara kerah, daun jati dan jembut ada hubungan bathin, sama-sama kotor. Lantas kumis tipisnya yang nyentrik simbolikan bahasa revolusi. Bibirnya yang beku kobarkan pemberontakan. Ia adalah mahluk Tuhan yang sesuatu banget.

"Aku adalah refleksi Al Capone sang tirai tirani. Yang menari di atas ribuan pelor. Dentum mesiu. Jerit sakit dan aroma darah" teriaknya bau iler di muka lembayung jingga. Lalu ia acungkan bogem mentahnya tinggi-tinggi. "Lawan. Lawan. Lawan" Akhirnya sedot umbel. Kemudian berlalu pergi. Yang nonton cuma godek-godek. Sementara yang lain sudah anggap ia tak waras.

"Ia melakukan itu tiap hari sabtu. Sementara di hari minggu, ia berteriak : Mati. Mati. Mati" Saya pun tergoda mengikuti langkahnya.

* * *

Subuh ini, Angin mengintip fajar di balik kopiahnya yang lusuh. Ia lukisi sisa hujan semalam dengan minyak rasa seribu bunga. Di atas sajadah, ia pegang dahan, sama dingin. Kemudian genggam kerikil, juga dingin.

"Mentari tengah berduka Jak" ucapnya menunjuk langit di gugus timur kejora. Ujung telunjuknya tasbihkan suara gelontor air di pedasan mushola yang kosong.

"Lantas?" tanya saya. "Tak ada. Cuma berimprovisasi" "Terus?" "Tak ada terus. Itu awal dan akhir" "Kemudian?" "Hanya Gusti yang tak berawal dan tak berakhir" "Lalu?"

Dan? Ia tarik nafasnya. Ia hisap dalam-dalam embun yang ngegelayutnya ziarahi zaman di atap puncak cemara. Kemejanya ia buka. Lalu ia lempar di tumpuk jerami. Daun jati dalam hempitan ketiak ia taruh di atas batu. Kemudian ia biarkan mentari memasung kolbunya. "Jangan bebani diriku dengan pikiran yang tidak semestinya aku pikirkan Jak" tuturnya sembari telanjang.

"Kamu percaya Tuhan Jak?" "Tentu saja. In God we trust" "Siapa Tuhanmu?" Saya diam. "Siapa dirimu?" Saya masih diam. "Akulah Tuhan ucapnya Tuhan. Akulah nabi ucapnya nabi. Dan akulah diriku..." Ia kenakan lagi kemejanya. Dihempitnya kembali daun jati di antara jembut ketiak. Kopiah ia buang.

"Kau tak akan mengenal Tuhan sebelum kau mengenal dirimu sendiri Jak"

Ia pun pergi sembari goyang-goyang lantunkan Hamlet jadi sebuah tembang. Suaranya takwilkan pusaran sepi tanpa titik. Saya tak lagi mengikutinya. Dan sendiri ia tersaruk ke arah redupnya matahari. "Di manakah jasadku...?" teriaknya. "Di teras surga atau di pelataran neraka. Mati. Mati. Mati"

Namanya Angin. Dan ia adalah mahluk Tuhan yang sesuatu banget. Saya mengenalnya kemarin petang dan pagi ini. Ia edan, orang bilang begitu. Zikir dan sintingnya terjebak di ruang yang sama, telingkupi sakarotul matanya di satu peradaban yang aneh. Gilakah? Saya gak tahu. Tapi bila benar? Sekalipun saya mampu ulurkan tangan lalu mengembalikannya ke alam nyata, saya gak akan melakukannya. Dalam gila, ia lebih bahagia. "Aku adalah siulet pagi di tahun 1865 saat Lincoln terbaring diagonal di bawah lukisan Rosa Bonheur bersama sinar temaram berwarna emas. Aku adalah secangkir teh sore di antara layar berpancang union jack di teluk Boston. Aku adalah..." . .

Krisis Spiritual: Indonesia Harus Berzikir

A R I J A K A

pic : horse fair - Rosa Bonheur

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun