Ia pun pergi sembari goyang-goyang lantunkan Hamlet jadi sebuah tembang. Suaranya takwilkan pusaran sepi tanpa titik. Saya tak lagi mengikutinya. Dan sendiri ia tersaruk ke arah redupnya matahari. "Di manakah jasadku...?" teriaknya. "Di teras surga atau di pelataran neraka. Mati. Mati. Mati"
Namanya Angin. Dan ia adalah mahluk Tuhan yang sesuatu banget. Saya mengenalnya kemarin petang dan pagi ini. Ia edan, orang bilang begitu. Zikir dan sintingnya terjebak di ruang yang sama, telingkupi sakarotul matanya di satu peradaban yang aneh. Gilakah? Saya gak tahu. Tapi bila benar? Sekalipun saya mampu ulurkan tangan lalu mengembalikannya ke alam nyata, saya gak akan melakukannya. Dalam gila, ia lebih bahagia. "Aku adalah siulet pagi di tahun 1865 saat Lincoln terbaring diagonal di bawah lukisan Rosa Bonheur bersama sinar temaram berwarna emas. Aku adalah secangkir teh sore di antara layar berpancang union jack di teluk Boston. Aku adalah..." . .
Krisis Spiritual: Indonesia Harus Berzikir
A R I J A K A
pic : horse fair - Rosa Bonheur
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H