Neneknya mengusap rambut cucunya, Billy. Rambut legam yang rada ikal itu punya Maya. Matanya yang bulat jernih itu juga milik Maya, anak gadis satu-satunya.
* * *
"Bunda. Aku datang. Lihat aku. Bersih dan tampan kan?" ucap Billy. Ia duduk di pembaringan Maya.
"Aku sekarang sudah pintar menggambar. Ayah yang mengajariku" lanjutnya. Ia buka satu persatu lembar yang banyak coretan warna-warna. Maya cuma diam, gak ngejawab.
"Aku juga bawa mainan baru. Bagus kan? Ayah yang belikan untukku" Billy berlari kesana-kemari.
"Maya. Bagaimana kabarmu hari ini?" tanya Andara. Ia berusaha tersenyum. Meski tak bisa disangkal, bulir tangisnya sedikit jatuh di atas pembaringan Maya. Ia simpan untaian tulip berwarna di sampingnya.
"Maya. Selamat hari kasih sayang. Dan selamat hari perkawinan kita" Andara mengusap pembaringan Maya, titik rindu bersemayam di sudut matanya. Lalu ia mengecup lembut pusara Maya. "Aku selalu sayang kamu"
"Ayah. Bunda lagi apa ya di sana? Pasti lagi maen-maen sama Tuhan?"
Maya memang sudah gak ada. Ia telah berjuang keras sendirian di antara sakarotul maut demi menyelamatkan kelahiran putra pertamanya. Unik memang, oleh sebab Maya yang terlalu sering sakit-sakitan divonis dokter bila Maya itu gak bisa hamil, meski akhirnya, tubuh Maya gak sanggup bertahan selepas melahirkan.
"Tentu saja. Bunda sedang tersenyum. Di dekatmu. Di dekat kita. Bersama Tuhan yang menjaganya" "Kapan aku bisa ketemu Bunda?"
.