Mohon tunggu...
A J K
A J K Mohon Tunggu... ada saja di rumah, gak kemana-mana koq... -

mantan calon penulis

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

(ECR4) Kembang, Mau Gak Jadi Pacar Saya

27 Januari 2012   23:59 Diperbarui: 25 Juni 2015   20:22 318
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13281732181605507266

.

Gerimis turun sedikit di awal hari penghujung bulan Januari. Bulirnya meniti kaki mentari yang sinarnya separuh, menepi di jendela-jendela kaca berteralis kayu jati dan jatuh di guguran daun cemara terjauh. Airnya mengalir di dahan-dahan. Menerpa nuansa di ruang dunia bergaris khatulistiwa yang lukisi serpihan cinta di sebuah tangkai bunga. Wajahnya membingkai gurat pelangi di atas telaga. Ada pusaran rindu di matanya. Dan angin, indah lintasi sejuk embun di kelopak yang kuncupnya tinggi-tinggi. Itukah suara resah di tengah kekeringan spiritual Indonesia? Tidak! Dalam diam; mereka bertasbih pada Tuhan.

Prok. Prok. Prok. Saya tepuk tangan usai membaca draft essai milik Kembang. "Jempol!!!" teriak saya senang. "That so beautiful isnt?" tanya Kembang sembari tersenyum. Barisan giginya yang putih mengulum dalam-dalam wangi teh hijau di ujung nafasnya. Saya mengangguk-angguk lagi. "So...?" tanyanya. Kali ini sedikit memburu. Dan glek. Glek. Glek. Bibirnya yang bagus kembali basah.

"Ho ho ho. Membacanya? Aku seperti melukisi angin. Berkaca pada kanvas. Tertawan di kebahagiaan cat dan kuas. Tekstur. Gradasi. Dan goresan warna yang eksotis juga simetris menggelinjang dalam kepala" jawab saya sedikit membaitkan sajak miliknya Gusur Adhikarya. Sekali lagi Kembang tersenyum.

"Tengkyu so Jaka. Mmmuah. Mmmuah. Mmmuah" Kembang mencium mesra lembar kertasnya. He. He. Saya mengusap-usap pipi kanan dan kiri. Koq? Andai saja. Kembang pun beranjak pergi. Mengejar warna jingga lembayung senja. Kerudungnya yang warna merah marun tergerai terbang ujungnya ditiup-tiup desah asmara. Hmm. Asmara itu milik siapa? Uhuk.

Gadis ini; Kembang namanya. Dia penulis hebat. Dan cantik tenan tentunya. "Menulis adalah hasrat. Gairah. Birahi" jawab Kembang saat beberapa teman bertanya soal hobinya. Dan? Wow. Beberapa tulisannya memang sempat nongol di berbagai media cetak. Bahkan, tulisannya terakhir yang judulnya : "Di Pelupuk Matamu, Agama Jadi Impoten " jadi headline sebuah surat kabar nasional.

"Kadang, seseorang terlalu melebih-lebihkan kebenaran, hingga pada akhirnya kepalsuan yang dia dapatkan" ucap Kembang ditengah-tengah langkahnya setelah saya bertanya tentang essai barunya itu. Dia menengok ke arah saya "Dan Tuhan tahu, dia tengah bermain ilusi dalam kenyataan" lanjutnya. Saya manggut-manggut sambil berlari mengejarnya. Terus terang, saya gak ngerti apa yang diucap Kembang barusan. Tapi, demi Kembang, saya musti pura-pura ngerti.

"Taun ini. Aku kudu bisa dapet pacar. Aku lelah menjomblo dan itu resolusiku nomer utama. Titik" ucapnya lagi. Tegas tanpa hilang anggunnya. Ada sungai kesepian yang mengalir dari desah lembutnya. Hmm. Pacar? Kebetulan sekali. Saya lagi kosong, hati saya. He he.

* * *

Purnama merangkak di ujung desa. Bintangnya bertaburan di gugus timur langit. Bercumbu romantis di antara harmoni jangkrik dan binatang malam dalam tangga nada mayor dan kromatis. Tak ada dengung minor di sana. Minor adalah kesedihan. Dan memang, jatuh cinta bukan sebuah kesedihan. Dia adalah kolam penuh warna yang pancarannya menusuk ruang kalbu terdalam. Ya. Saya tengah jatuh cinta. Cihuy!!!

"Jaka..." ucap Ibu mengagetkan. Semerta, dia mengecilkan tembang cadas; Its A Long Way To The Top Of The Rock N Roll nya AC/DC di perangkat sound kecilku. Jatuh cinta memang kudu dibarengi lagu-lagu hardrock. Biar lebih greget.

"Iya Mom?" jawabku singkat.

"Makan dulu. Dari siang kamu belum makan. Maagmu sakit nantinya" ingat Ibu.

"Iya Mom" jawabku lagi-lagi singkat. Ibu tersenyum. Ah. Ibu gak ngerti. Anakmu lagi jatuh cinta. Dan? Siapa lagi kalau bukan Kembang penyebabnya. Wajahnya yang bagus terus-terusan membayang. Saya godek-godek keras. Berharap sosok Kembang hilang meski sekejap. Tapi koq, dalam godek-godek, Kembang justru tengah bergoyang-goyang. Seakan dia tengah berteriak membesut gitar iringi permainannya Angus Young; sang gitaris AC/DC. Huhu, manis sekali. Dahi Ibu berkerut. Geleng-geleng kepala. Kemudian tersenyum.

"Mommy juga suka Kembang. Dia gadis yang baik" Lagi-lagi saya kaget. Saya menatap wajah ibu yang cantik. "Kamu jatuh cinta ya sama dia?" tanya Ibu. * * *

"Jakaaaa. I'm comiiiing" jerit Kembang esok pagi. Dia sudah berada di pintu kamarku. Sontak saya terbangun. Meloncat dari balik selimutku yang lusuh. Dalam aroma pekat kecut tubuhku yang banjir keringat, Kembang berlari dan memelukku. Erat. Erat sekali.

"Aku sayang kamu" lirihnya. Brak. Brak. Brak. Atap mentari yang merah semerta menubruk jasadku keras sekali. Bles. Bles. Bles. Embun menghujamku dengan tajam beningnya yang seksi. Buk. Buk. Buk. Kicau merdu menghantam dari paruh burung nuri. Byur. Byur. Byur. Dan sungai jernih di tepian desa, hanyutkanku di bawah sayap angsa dan kecipak ikannya. Saya pingsan. Klenger.

* * *

"Jaka". "Jaka. Bangun" "Jaka. Bangun. Bangun"

Kedua bola mata saya meletet. Kepala saya agak pusing. Dug. Dug. Dug. Kucluk-kucluk melihat kiri dan kanan. Dongak-dongak atas dan bawah. Garuk-garuk. Koq? Mana pembaringan yang empuk. Koq tak lagi nyungsep di kamar. Apalagi hanyut dipelukan Kembang. Hiks. Kembang. Huhu. Dan lagi, badan saya koq tiba-tiba jadi basah kuyup.

"Saya kenapa ya?" tanya saya agak bego. Kembang tersenyum geli. Ngusap-ngusap kepala saya. Ngucek-ngucek rambut saya.

"Kamu jatuh waktu berlari mengejarku tadi. Terpeleset di batu yang banyak lumutnya. Dan terjatuh di kali kecil ini. Dan, kamu pingsan. Hi hi" jawabnya masih tergeli-geli. Saya pun bangun dipapah jemari Kembang yang halus bak sutra india.

"Jaka. Kamu gak apa-apa?" tanya Kembang agak kuatir.

"Mmm. Kembang. Aku suka kamu..." lirih saya agak terbata. Sontak dahi Kembang berkerut. Saya tatap mata Kembang lekat-lekat. Wajahnya yang putih terpahat ukiran kaligrafi bernuansa surga. Dan hembusnya, merdu terbang dihantar bayu dan mutiara bertabur, bagai suara anggun pesona sang dewi cinta dari harva yang dipetik jari semesta. Cantik banget.

"Apa? Aku gak denger"

"Mau gak jadi pacarku?" ucap saya agak keras sembari menutup mata. Kembang terdiam. Kalau kata orang dulu, diam itu tandanya iya alias setuju alias mau. Tapi Kembang koq masih cuek.

"Kamu liat pohon di ujung sana?" Kembang menunjuk pohon beringin yang akarnya kokoh menghujam tanah, merambat menggenggam kedamaian dari cahaya telaga peradaban "Siapa yang kalah sampai di sana, besok kudu pake kolor warna kuning" tantangnya. Lagi-lagi Kembang tersenyum. Imut sekali. Nampak di matanya; samudra jernih penuh ombak-ombak keindahan. Betapa saya cinta gadis ini.

"Hoy. Jangan ngelamun kalo gak mau pake kolor warna kuning" teriaknya sambil berlari. Dia tertawa keras dan lepas. Di bawah matahari senja yang sebentar saja tenggelam, kami berlari. Mengejar bayangan malam yang menggapai dari pintu langit sebelah barat. Jika saja bisa; ingin rasanya waktu terhenti sekejap di sini.

* * *

Esok harinya; saya kemana-mana mengenakan kolor warna kuning. Saya kan pura-pura kalah demi Kembang. He. He. "Demi cintaku padamu; apa sih yang nggak buatmu, Kembang" Dan jika memang Indonesia tengah dilanda kekeringan spiritual, maka Kembang adalah salah satu yang bertasbih untuknya. Love U Kembang.

.

..Kembang. Kamu cantik deh. (Aku jadinya pengen romantis nih). Di tengkuk rimbun kebun sayuran sana; Senyummu semanis aren nongkrong di situ. Menyelinap himpit-himpit antaranya tangkai tomat gondol dan kuncup cabe keriting merah. Ada ulat bulu yang nakal di belakangmu towal-towel. Ada belalang di daun wortel goyang-goyangnya manja. (Mereka genit serupa ranum genitmu) "Diemut bibir pagi dilumat gincu matahari sepotong", ...Mataku jadi kelilipan....Hatiku ikut kelilipan. ...Kucluk-kucluk mabok sempoyongan. Dan hujan ngegelayut mulu malu-malu (Ngeguyurnya di bukit jauh) : Airnya jatuh satu-satu. Dua-dua. Tiga-tiga : Di lubang galak semut hitam yang mengkeret. "Ngegelontor dari pohon kelapa, basahi akar anggur bulet hijau merambat banyak di pagar halaman". Tapi senyummu masihlah di situ. "Mirip anting-anting pelangi lumuri tanah lunturi dipan bambu rumah". (Melipat batu hiasi jembatan kayu) Di sana kamu diem adem ayem anteng kinyis-kinyis slalu menggoda. Terus? Kapan dong kamu mau bilang : "Kalo hujan itu milik kita. Sejuknya milik kita. Angin itu punya kita. Hangatnya juga punya kita. Mengukir siang kleyengan di jendela petang. Dan rembulan? Punya kita juga pastinya"...

Kembang. Kamu cantik deh. Jadinya aku terus-terusan pengen romantis. Makin romantis. Dan? "Gak kuku kapan kamu mau jadi pacarku" Untuk itu; Bolehkan aku sebut namamu tiga kali sembari teriak nginjak bumi. Kembang. Kembang. Kembang.

.

.

.sebelumnya : Reality Show Pos Ronda

ARIJAKA

di ECR4 Rangkat 27012012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun