Jika kita sedikit menengok ke belakang, di tahun 1984; Jakarta adalah sebuah kota yang indah. Maklum saja; ketika itu, Jakarta masih memiliki Ruang Terbuka Hijau sebesar 28,8 persen dari luas daratan kota yang mencapai total 661,52 kilometer persegi. Namun di tahun 2003; angkanya nyaris menyusut hingga 9,12 persen. Lantas pada tahun 2007, luas Ruang Terbuka Hijau di Jakarta hanya sebesar 6,2 persen saja. Artinya sejak 23 tahun tersebut, Ruang Terbuka Hijau di Jakarta yang seluas 191 kilometer persegi; berkurang sebanyak 150 kilometer persegi akibat dari perluasan lahan komersil dan area pemukiman dan pemerintahan. Benar sekali, "Embun kehilangan gairah tak tahu lagi kemana arah/saat subuh menjenguk daun-daun yang terbang entah melayang/gugur jatuh terkubur/kelabu gedung kota menelan hijaunya" seperti yang ditulis Granito. Semoga saja, rencana penambahan Ruang Terbuka Hijau seluas 22, 8 hektar di tahun 2012 ini sedikit banyaknya akan mampu memecahkan permasalahan polusi di Jakarta yang makin memprihatinkan.
Dan lagi, seharusnya sarana transportasi publik yang sudah disediakan oleh Pemerintah bisa menjadi salah satu alternatif akan pemecahan masalah pencemaran udara; meski memang, Pemerintah harus senantiasa terus mengoptimalkan dan memperbaiki hingga sarana transportasi publik dirasa aman dan nyaman oleh masyarakat seperti halnya kendaraan pribadi.
Itulah Jakarta. Sebuah jantung dari tubuh Indonesia yang semestinya kokoh mengalirkan darah bersih ke semua organ-organnya. Taman surga dunia tempat di mana seharusnya kepak sayap dan cakar garuda bertengger setelah terbang menatap cakrawala nusantara di antara mega-mega khatulistiwa. Namun; dengan segala kekurangannya, dengan segala kelemahannya, dengan segala kerusakannya; wajar saja jika Garuda lebih memilih terduduk diam sendirian di dalam ruangan dingin dan gelap tempat birokrat dan politikus memadu janji-janji beraroma mesum dan maksiat. Rakyat pun bertambah sakit.
Namun; jangan biarkan Jakarta selalu dalam "Harapan menjadi mimpi/seluas hutan semen bernafas karbondioksida". Jakarta tak harus kehilangan harapan bersama geliatnya pembangunan. Jakarta tak semerta harus menjadi kelam dengan kolam kotor yang bertimpang-timpang. Dan bukan saja kepada dunia; namun kepada rakyatnya Jakarta harus kembali menyunggingkan suci tulus manisnya senyuman. Dan itu; bukan hanya dalam mimpi belaka.
"Musim mengganti dedaunan dengan bisik-bisik di jalanan/dengan peluh berjatuhan dari tisik baju anak-anak/pengamen yang membawa tembang lapar dan dahaga/dan menggenggam receh koin tak berarti buat sebagian orang/buat sebagian jendela yang menyala di gedung tinggi menggapai"
Granito pun tersenyum diiring aplaus dari teman-teman musisi jalanan saat setelah saya membacakan sebuah bait dari puisi Anak-anak Jalanan miliknya.
"Suatu saat; Jakarta akan tumbuh menjadi tanah hijau merumput sayup indah merdu seruling dedaunan, berkuncup rimbun warna kupu-kupu anggun, dan sembilan pelangi; merobek mata telaganya. Di sana : selamanya merdeka akan terdengar di halaman cinta negeriku" ucap saya kemudian.
.
.
.
Kamu Sarjana Bukan? Jangan Mau Jadi Kuli
.