"Saya selalu menghabiskan akhir pekan di sini Jak. Menikmati sejuknya desah dan hembus kicau yang makin hilang; Bersama mereka" jelas seorang teman saat tak sengaja saya bertemu dia bersama sekumpul musisi jalanan di salah satu pinggiran taman kota yang mulai sempit di jantung Ibu Kota sana.
"Hmm. Jadi teringat salah satu puisi saya. Lembayung Berkabut Asap. Kamu tau kan. Kamu tau kan Jak; puisi itu?" lanjutnya sambil meneguk setengah air botol mineral. Saya menggangguk. Tak lama kemudian, dia; Granito Ibrahim namanya; berdiri dan membacakan sebait puisinya kencang-kencang namun mendalam.
"Rekah fajar menepuk kota dengan lembayung berkabut asap/berlarian jelaga merebut kicau burung dari sarangnya/dengung lebah seakan senyap ditelan derudebu kendaraan/aspal menghitam semua sudut/menyelimuti kembang ilalang"
Puisi Granito saat itu terdengar sendu bersama gurat hujan turun mengguyur hutan beton yang menjulang tinggi di bawah atap langit hitam kota Jakarta. Riuh klakson dan ratusan deru knalpot berpolusi pekat menghias jalanan padat merayap. Racunnya mampet di gorong-gorong. Dan deras meluap lebar di gang-gang sempit pemukiman kumuh kaum miskin yang tersingkir. Perahu-perahu kertas; berlayar ber-adu lomba di atas selokan kecil bersama riuh tawa anak-anak jalanan yang bertelanjang dada. Semua; seakan menggali nasibnya di bawah lengkung bias pelangi yang berdiri indah membayang; di antara pelepah daun pisang dan tumpuk gunungan sampah yang baunya sangat.
"Jakarta makin menangis Jak. Dengan semua ini" Granito pun mematikan dalam-dalam rokok putihnya. Tak lama; kepul kecil putih membayang menambah pekat kabut polusi yang terbawa jatuhan air hujan pun hilang. Riuh alunan melodi yang digesek biola dan petikan merdu sebuah gitar bolong terdengar memecah telaga berkecipak ikan-ikan di seberangnya.
Memang; Jakarta makin menangis bersama rakyatnya yang kian meringis. Banjir, kepadatan penduduk, kesenjangan sosial dan berbagai masalah banyak mendera tubuh Jakarta yang kian renta. Dan selalu berbicara tentang Jakarta; tak akan mungkin terlepas dari persoalan pencemaran udara. Dengan tingkat polusinya yang sangat tinggi; malah membuat Jakarta kini disebut sebagai kota hamparan terkotor nomer tiga di dunia setelah Meksiko dan Thailand.
Hingga tahun 2011; diperkirakan sebanyak 12 juta kendaraan yang beredar di Jakarta dari jumlah penduduknya sebanyak 9,6 juta jiwa, ditambah warga luar yang beraktifitas di Jakarta pada siang hari sebanyak 2,5 juta jiwa.
"Hal tersebut memberikan kontribusi sekitar 70 persen tingkat polusi di sini. Selebihnya; ada gas buangan pabrik, pembakaran sampah dan gas buangan perusak ozon" tutur Granito seperti yang diungkapkan oleh Deputi Bidang Tata Ruang dan Lingkungan Hidup.
Udara yang bersih harus menjadi salah satu kebijakan utama Jakarta dengan segala kepentingannya. Perluasan taman, pengembangan jalur hijau dan keindahan kota dalam ruang terbuka hijau (RTH) menjadi titik penting untuk terciptanya lingkungan Jakarta yang sehat dan bersih. Tidak saja untuk penyeimbang alam dan peningkatan kualitas udara, namun juga ke arah fungsi sebagai penyerapan air, tiang dan penopang tanah Jakarta yang banyak di-issue-kan hampir tenggelam karena keroposnya.
"Mestinya, Jakarta ngikut kayak di kampung saya. Mereka yang mau pada kawin, diwajibkan menanam satu pohon. Malah kalo di sini, semestinya tiap warga tanpa kecuali sangat diwajibkan untuk itu" ucap salah satu musisi jalanan yang sedari tadi ikut menyimak perbincangan. Seperti yang diungkapkan Essais Tandi Skober : "Menanam pohon, sekecil apapun, pada hakekatnya, di akherat kelak akan menjadi taman surga"