Mohon tunggu...
A J K
A J K Mohon Tunggu... ada saja di rumah, gak kemana-mana koq... -

mantan calon penulis

Selanjutnya

Tutup

Drama

Balada Uang Bau dan Kang Pepen di Negeri Dongeng

4 Januari 2012   02:43 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:22 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1325639418481578959

"Warga kampung mukanya kumal, di basuh air sungai limbah buangan" tutur Kang Pepen (25) setengah bersajak siang tadi saat saya temui di warung rokok Bik Elah. Glek. Glek. Glek. Sebotol minuman dingin merk Au Ah Gelap hanya beberapa detik saja tandas di lambung Kang Pepen yang sedikit tambun. Siang itu; tudung langit di kampung Ah Eh Oh terangnya serupa langit yang payungi kaki cakrawala berkabut pasir di samudera luas sahara yang panas. Sama panasnya dengan ruang kalbu terdalam Kang Pepen; lantaran selama ini, tuntutannya atas kompensasi pencemaran (saya sebut ini : Uang Bau) hak warga setempat hanya dipandang sebelah mata yang belekan oleh pihak perusahaan. Dan minuman merk Au Ah Gelap itu; kini bagai oase hijau hasil ilusi optik akibat fatamorgana stadium akut yang tak mampu menyejukan bara emosi di hati Kang Pepen.

"Cih. Lebih baik tidak sakit gigi; daripada sakit hati" keluhnya kemudian memplesetkan sebuah lirik lagu dangdutnya Meggy Z.

Wajar saja; selama ini, Kang Pepen-lah yang menjadi jenderal pasukan garda depan dengan gada dan baju besinya dalam sebuah pertempuran jihad melawan rezim imperium pengusaha dzolim dan antek-anteknya yang lalim demi memperjuangkan hak-hak warga setempat.

Sebuah perjuangan suci menurut saya; sama halnya seperti perjuangan Kanjeng Sultan Agung melawan Kompeni di Mataram. Sama halnya seperti perjuangan Kanjeng Prabu Siliwangi yang kukuh mempertahankan tanah tatar sunda dari kekusaan Gajah Mada atas Sumpah Palapa-nya. Yang beda; Kang Pepen ini cuma seorang mantan satpam alias petugas keamanan. Dan belum beberapa lama yang lalu; perjuangan Kang Pepen mencapai puncaknya saat beredarnya selembar surat tuntutan Uang Bau yang akan menjadi titik terang dari kebuntuan selama ini. Surat tuntutan itu; jadi senjata ampuh bagi Kang Pepen.

Kang Pepen menceritakan; surat tuntutan Uang Bau itu dibuat dan ditandatangani oleh seseorang; yang memuat tentang permintaan warga kepada wakil perusahaan yang berkepentingan dalam urusan itu; yaitu Tuan Anu-anu, untuk memberikan kompensasi pencemaran alias Uang Bau sebesar 50 persen dari hasil penjualan limbah perharinya.

"Tuntutan warga tersebut secara tidak langsung juga ditujukan kepada salah satu pihak yang ditunjuk oleh Perusahaan yaitu Yayasan Meong-meong yang diberdayakan untuk mengelola Uang Bau. Yang pengalokasiannya dari hasil jual limbah buangan perbulannya. Tapi ironisnya, selama berdirinya perusahaan sejak tahun 1982; Uang Bau tersebut tak pernah sekalipun diterima warga. Dan Perusahaan seakan tidak mau tahu menahu akan skandal Uang Bau oleh Yayasan Meong-meong" jelas Kang Pepen.

"Itu tuh; dikorup sama si Tuan Anu-anu. Dia kan ketua Yayasan Meong-meong" timpah Bik Elah sambil menghitung lembar demi lembar uang dagangannya yang keriting dan lecek.

Di lain pihak; Kang Pepen juga mengutarakan bahwa kini pihak Tuan Anu-anu tidak merasa pernah menerima dan meng-acc-kan surat tuntutan warga yang sudah beredar luas tersebut. Dan sebagai jawabannya; surat tuntutan tersebut kemudian digunakan oleh pihak Tuan Anu-anu untuk menuntut balik warga dalam hal ini Kang Pepen dan kawan-kawan dengan tuduhan pencemaran nama baik karena dinilai sebagai aktor yang telah mengedarkan surat tuntutan palsu itu kepada semua warga.

"Coba Akang pikirkan; siapa yang gak seneng dengan adanya itu surat tuntutan. Saya sebagai wakil warga di sini merasa diuntungkan. Dan itu menjadi titik terang dari harapan warga yang makin hilang. Kita semua di sini korban dari ketidakadilan. Polusi dan pencemaran tiap hari kita rasakan. Sementara kompensasi dari itu semua cuma dalam impian" ucap Kang Pepen dengan rima yang berlarik bak seorang pujangga.

"Saya pribadi pun; tidak mengetahui, dari mana dan siapa yang awal pertama kali menyebarluaskan surat tuntutan itu. Surat tuntutan Uang Bau itu adalah sebuah kabar gembira. Dan saya sangat berkewajiban menyampaikannya kepada semua warga. Apa tindakan saya itu salah?"

Kang Pepen pun kini terduduk sebagai salah satu dari tiga terdakwa di kasus yang diajukan Tuan Anu-anu. Dan di Pengadilan Negeri Kabupaten La La La; disebutkan oleh Pak A Hi Hi sebagai saksi dari Pihak Perusahaan; bahwa tidak benar tuntutan Uang Bau tersebut dan surat tuntutan itu memang tidak pernah ada.

Pernyataan itu mengisyaratkan sebuah kemungkinan bahwa surat tuntutan warga tersebut adalah fitnah yang disarangkan kepada Tuan Anu-anu oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, atau bahkan; tidak menutup kemungkinan jika surat tuntutan itu adalah sebagian dari permainan politik. Namun dari kesemua dugaan; sudah sangat jelas jika dilihat dari berbagai sudut dan kepentingan; bukan Kang Pepen dalangnya menurut saya.

"Yang ada adalah kompensasi sebesar 50 perak dari setiap penjualan limbah per 1 kilogram selama satu harinya. Itupun tidak untuk ditujukan kepada semua warga. Hanya diperuntukan kepada warga yang kurang mampu dan uang santunan kematian. Itu sudah lama ditetapkan dalam MoU" ucap Kang Pepen menirukan pernyataan yang dilontarkan Pak A Hi Hi.

Jika dalam sehari jumlah limbah yang terjual mencapai 100 kilogram, maka dalam sebulan, jumlah total uang kompensasi itu sebesar 150 ribu rupiah. Sebagai contoh; untuk limbah besi, 1 kilogram saja bisa terjual dengan harga 4 ribu perak. Belum limbah yang lain; Kapas misalnya. Padahal menurut Kang Pepen dan warga setempat; limbah buangan bisa mencapai jumlah puluhan ton perharinya. Bisa dibayangkan berapa banyak duit yang ngegelontor cuma dari hasil jual limbah saja.

"Bayangin aja Bos; itu perusahaan kasih gaji seluruh karyawannya yang berjumlah kurang lebih 1000 orang cuma pake duit limbah saja" ujar Kang Pepen seraya meneguk kembali minuman botol merk Au Ah Gelap. Sesaat; dia mengusap perutnya yang mulai kembung.

"Sementara yang didapat oleh warga hanya uang logam karatan dengan dua sisi yang berbeda" lanjutnya kembali sedikit bersajak.

Sebagai bahan perbandingan; sebuah Perusahaan yang berdiri di kampung tetangga memberikan Uang Bau kepada tiap kepala rumah tangganya (bukan hanya fakir miskin dan santunan kematian) sebesar 300 ribu dan beras 10 liter perbulannya, termasuk biaya pengobatan gratis. Sementara; perusahaan tersebut dengan perusahaan yang berdiri di kampung Kang Pepen adalah sama besarnya dalam kualitas dan kuantitas.

"Waah. Kang Jaka; kita sih gak tau; gimana rasanya Uang Bau itu, yang ada sih bau nya masih nempel di sini" tambah Dani AW sambil menunjuk lubang hidungnya. "Dan di sini" kemudian menepuk keras pantatnya dua kali.

"Au ah gelap. Buat saya; yang penting bulan depan saya sama pacar saya resmi jadi pasutri" ucap seorang lainnya yang disambut hangat oleh lemparan kulit kacang asin dari semua penonton yang ada di sana.

Kesimpangsiuran mengenai surat tuntutan Uang Bau yang disebut fiktip itulah yang kemudian menjadi tanda tanya besar setiap warga di sana. "Seperti uang logam dengan dua sisi yang jauh berbeda" ucap Kang Pepen tadi. Di satu sisi; surat tuntutan itu dinilai sama berharganya dengan lembar perkamen kuno yang diperebutkan kolektor kaya seluruh dunia; memberikan harapan untuk terpenuhinya hak-hak warga yang selama ini terabaikan. Namun di sisi sebelahnya; surat tuntutan itu kini menjadi mimpi buruk berkepanjangan; di samping dengan adanya tuntutan balik dari pihak yang merasa namanya dicemarkan; juga terputusnya harapan yang selama ini warga impikan.

"Ini mirip cerita di film-film" ujar Wahyu Wa'u yang baru angkat bicara.

Memang benar, kita bagai hidup di negeri dongeng. Penuh sandiwara dengan skenario sekelas film-film box office Hollywood. Dalam hal ini; rakyat menjadi boneka tali yang diatur ruang geraknya oleh para pengusaha dan penguasa sebagai dalangnya. Sementara menurut Essais Tandi Skober; mereka adalah kanibal akan darah rakyat yang direguk dari sungai politik dan kekuasaan. Janganlah ditanya tentang issue dari akibat pencemaran lingkungan yang esok hari bisa membuat warga setempat ngantri di puskesmas kecamatan dan bidan desa karena pernafasannya sesak dan janinnya lahir prematur lantaran air bumi tanah sudah sangat kotor penuh racun; toh pihak terkait yang mempunyai lingkup dalam lingkungan hidup yang diikrar di bawah kitab suci pun tiba-tiba semerta angkat tangan.

"Rakyat terluka. Rakyat makin terluka." ucap Kang Pepen menutup obrolan Uang Bau siang ini. Dan sekali lagi; untuk ke-tiga kalinya, Kang Pepen meneguk habis sebotol minuman dingin merk Au Ah Gelap yang kini menggenang bersama serpihan kacang asin di lambungnya yang sudah sangat kembung.

Kang Pepen terus berjuang, meski kini tanpa disangka; namanya tercatat sebagai salah satu terdakwa atas tuntutan Tuan Anu-anu. Dan pertanggal 24 November 2011; Kang Pepen tengah mengajukan memori banding atas kasus ini di Pengadilan Tinggi Ho Ho Ho.

"Saya gak takut Kang. Selamanya akan terus berjuang"

Benar atau tidaknya; asli atau palsunya surat tuntutan warga tersebut; tidak menyurutkan langkah Kang Pepen dan semua warganya untuk terus melawan tirani yang membentang di benteng kokoh sebuah rezim yang dzolim.

Drama dari kehidupan nyata ini semestinya menjadi tamparan keras dan catatan tersendiri yang harus terbingkai abadi di ruang kalbu terdalam semua pihak; baik Pemerintah, Wakil Rakyat, Aktivis, Mahasiswa, Lembaga Sosial Kemasyarakatan, Media termasuk seluruh rakyat Indonesia. Bahwa di salah satu pojok negeri, tengah berdiri seorang anak bangsa bernama Kang Pepen dan hak-hak warga yang tergadaikan di ruang hitam firman-firman sesat hamba setan yang dipertuhankan. Dan semoga; kisah pilu ini didengar oleh hati nurani semua hamba yang merindukan nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang tersirat dalam kalimah suci Tuhan dan falsafah murni bangsa. Atau; akankah kita hanya diam menonton dan berpangku tangan.

.

.

. Kere Gemple Rakyat Perbatasan

ARIJAKA 03012012

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Drama Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun