"Saya pribadi pun; tidak mengetahui, dari mana dan siapa yang awal pertama kali menyebarluaskan surat tuntutan itu. Surat tuntutan Uang Bau itu adalah sebuah kabar gembira. Dan saya sangat berkewajiban menyampaikannya kepada semua warga. Apa tindakan saya itu salah?"
Kang Pepen pun kini terduduk sebagai salah satu dari tiga terdakwa di kasus yang diajukan Tuan Anu-anu. Dan di Pengadilan Negeri Kabupaten La La La; disebutkan oleh Pak A Hi Hi sebagai saksi dari Pihak Perusahaan; bahwa tidak benar tuntutan Uang Bau tersebut dan surat tuntutan itu memang tidak pernah ada.
Pernyataan itu mengisyaratkan sebuah kemungkinan bahwa surat tuntutan warga tersebut adalah fitnah yang disarangkan kepada Tuan Anu-anu oleh pihak-pihak yang tidak bertanggungjawab, atau bahkan; tidak menutup kemungkinan jika surat tuntutan itu adalah sebagian dari permainan politik. Namun dari kesemua dugaan; sudah sangat jelas jika dilihat dari berbagai sudut dan kepentingan; bukan Kang Pepen dalangnya menurut saya.
"Yang ada adalah kompensasi sebesar 50 perak dari setiap penjualan limbah per 1 kilogram selama satu harinya. Itupun tidak untuk ditujukan kepada semua warga. Hanya diperuntukan kepada warga yang kurang mampu dan uang santunan kematian. Itu sudah lama ditetapkan dalam MoU" ucap Kang Pepen menirukan pernyataan yang dilontarkan Pak A Hi Hi.
Jika dalam sehari jumlah limbah yang terjual mencapai 100 kilogram, maka dalam sebulan, jumlah total uang kompensasi itu sebesar 150 ribu rupiah. Sebagai contoh; untuk limbah besi, 1 kilogram saja bisa terjual dengan harga 4 ribu perak. Belum limbah yang lain; Kapas misalnya. Padahal menurut Kang Pepen dan warga setempat; limbah buangan bisa mencapai jumlah puluhan ton perharinya. Bisa dibayangkan berapa banyak duit yang ngegelontor cuma dari hasil jual limbah saja.
"Bayangin aja Bos; itu perusahaan kasih gaji seluruh karyawannya yang berjumlah kurang lebih 1000 orang cuma pake duit limbah saja" ujar Kang Pepen seraya meneguk kembali minuman botol merk Au Ah Gelap. Sesaat; dia mengusap perutnya yang mulai kembung.
"Sementara yang didapat oleh warga hanya uang logam karatan dengan dua sisi yang berbeda" lanjutnya kembali sedikit bersajak.
Sebagai bahan perbandingan; sebuah Perusahaan yang berdiri di kampung tetangga memberikan Uang Bau kepada tiap kepala rumah tangganya (bukan hanya fakir miskin dan santunan kematian) sebesar 300 ribu dan beras 10 liter perbulannya, termasuk biaya pengobatan gratis. Sementara; perusahaan tersebut dengan perusahaan yang berdiri di kampung Kang Pepen adalah sama besarnya dalam kualitas dan kuantitas.
"Waah. Kang Jaka; kita sih gak tau; gimana rasanya Uang Bau itu, yang ada sih bau nya masih nempel di sini" tambah Dani AW sambil menunjuk lubang hidungnya. "Dan di sini" kemudian menepuk keras pantatnya dua kali.
"Au ah gelap. Buat saya; yang penting bulan depan saya sama pacar saya resmi jadi pasutri" ucap seorang lainnya yang disambut hangat oleh lemparan kulit kacang asin dari semua penonton yang ada di sana.
Kesimpangsiuran mengenai surat tuntutan Uang Bau yang disebut fiktip itulah yang kemudian menjadi tanda tanya besar setiap warga di sana. "Seperti uang logam dengan dua sisi yang jauh berbeda" ucap Kang Pepen tadi. Di satu sisi; surat tuntutan itu dinilai sama berharganya dengan lembar perkamen kuno yang diperebutkan kolektor kaya seluruh dunia; memberikan harapan untuk terpenuhinya hak-hak warga yang selama ini terabaikan. Namun di sisi sebelahnya; surat tuntutan itu kini menjadi mimpi buruk berkepanjangan; di samping dengan adanya tuntutan balik dari pihak yang merasa namanya dicemarkan; juga terputusnya harapan yang selama ini warga impikan.