Untuk mengawali kegiatan saya di Kompasiana, saya ingin menampilkan tulisan saya di Kompas, Sabtu, 3 Januari 2004
--------------------------------
UNGKAPAN bahwa Indonesia kaya dengan sumber energi mungkin sudah saatnya tidak digunakan lagi. Mungkin ada rasa sakit atau tidak rela, tetapi fakta harus diterima. Sebentar lagi kita menjadi pengimpor neto minyak dan dalam jangka panjang juga pengimpor sumber energi lain. Apa yang terjadi sesudah kita menjadi negara pengimpor neto minyak atau setelah minyak kita habis?
Sumber daya minyak bumi Indonesia sekitar 321 miliar barrel (1,2 persen potensi dunia), gas bumi sekitar507 TSCF (3,3 persen potensi dunia), batu  bara sekitar 50 miliar ton (3 persen potensi dunia), panas bumi sekitar 27.000 MW (40 persen potensi dunia), dantenaga air sekitar 75.000 MW (0,02 persen potensi dunia). Cadangan terbukti minyak bumi pada tahun 2002 sekitar 5 miliar barrel, cadangan terbukti gas bumi sekitar 90 TSCF, dan cadangan terbukti batu bara sekitar 5 miliar ton.
Dengan tingkat produksi seperti pada tahun 2002, dan bila tidak ada cadangan terbukti baru, cadangan minyak bumi akan habis dalam waktu 10 tahun, gas bumi 30 tahun, dan batu bara 50 tahun. Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) pada Kongres I Organisasi Profesi Praktisi Akuntansi Sumber Daya Alam dan Lingkungan di Baturaden, 12 Desember lalu (Kompas, 13/12/2003, hal 14), memperkirakan cadangan minyak bumi kita hanya dapat mencukupi kebutuhan hingga tujuh tahun ke depan.
Walaupun minyak bumi masih dapat diproduksi hingga tujuh atau sepuluh tahun mendatang, di tahun antara 2003 dan 2010 Indonesia akan menjadi pengimpor minyak neto. Direktur Pertamina pernah memperkirakan Indonesia jadi pengimpor neto pada tahun 2004. Bagaimana jika perkiraan Direktur Pertamina benar?
Kondisi ini perlu dicermati karena masalah energi berkaitan dengan kemakmuran bangsa. Krisis energi, secara khusus listrik, di Indonesia dapat menghambat perkembangan industri, menghambat upaya negara mengurangi jumlah orang miskin, dan menghambat program kesehatan nasional, khususnya penduduk di pedesaan.
Data dan proyeksi
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), ekspor impor minyak mentah Indonesia tahun 1998-2002 mengalami fluktuasi, tetapi surplus di pihak Indonesia. Surplustahun 1998 adalah 1.403,1 juta dollar AS; menjadi 1.754,3 juta dollar AS tahun 1999; 1.772,2 juta dollar
AS tahun 2000; dan 1.432,3 juta dollar AS tahun 2001.
Nilai surplus menurun tajam menjadi 67 juta dollar AS tahun 2002, yaitu kira-kira 1/21 kali dari nilai tahun
2001 atau 1/26 kali nilai tahun 2000. Jika kecenderungan ini berlanjut, benarlah di tahun 2004 Indonesia akan menjadi negara pengimpor neto minyak.
Proyeksi neraca ekspor impor Indonesia sampai tahun 2020 dapat dilihat pada Energy Outlook 2002 terbitan Pusat Studi Energi UI (EOS), hasil studi bersama IAEA-BPPT-BATAN tahun 2002 (CADES), dan APEC Energy Demand and Supply Outlook 2002 (APEC). Diproyeksikan Indonesia menjadi net importer pada tahun 2000 (EOS), antara tahun 2000 dan 2005 (CADES), sesudah tahun 2010 (APEC). Diperkirakan, mulai tahun 2010 Indonesia tidak lagi mampu mengekspor minyak (EOS). Dengan demikian, Indonesia mungkin tidak lagi menjadi anggota OPEC.
Untuk energi secara keseluruhan, menurut EOS, Indonesia mungkin masih dapat bernapas lebih lama karena ekspor energi Indonesia sampai dengan tahun 2010 masih lebih besar daripada impor energi. Namun, mulai tahun 2011 Indonesia akan kembali menjadi pengimpor neto energi secara keseluruhan. Pada tahun 2011 defisit ekspor impor energi diperkirakan sekitar 50 juta BOE, meningkat menjadi sekitar 286 juta tahun 2015, dan sekitar 730 juta tahun 2020. Jumlah impor pada tahun 2011 sekitar 1,31 kali ekspor; tahun 2015 sekitar 2,75; dan tahun 2020 menjadi 14,56.
Andalan negara
Data dan proyeksi di atas memiliki implikasi serius kepada perekonomian, keamanan negara, dan strategi pembangunan. Dahulu, minyak menjadi andalan negara untuk mendapatkan devisa atau dana untuk pembangunan. Negara sering mendapatkan dana tambahan (wind fall profit) dari penjualan minyak apabila harga minyak naik. Setelah menjadi pengimpor neto minyak, Indonesia tidak seperti dulu lagi. Jika harga minyak dunia naik,
dana untuk membeli minyak impor juga semakin besar dan harga beberapa barang dan jasa ikut naik. Jadi, ekonomi Indonesia sedikit banyak menjadi bergantung pada harga minyak dunia. Kondisi ekonomi kita bisa berada di luar kendali kita.
Indonesia juga akan dipengaruhi persaingan geopolitik yang melibatkan negara produsen minyak yang menggunakan minyak sebagai salah satu alat politik.
Seperti diketahui, kebanyakan negara penghasil minyak ada di Timur Tengah-sebuah wilayah yang sarat dengan pergolakan atau peperangan, oleh alasan agama dan terorisme.
Karena minyak tidak lagi menjadi sumber dana untuk pembangunan, pemerintah harus lebih giat lagi mencari cara baru atau mengintensifkan cara yang ada untuk mendapatkan dana. Pajak mungkin bisa mengambil alih peran yang pernah dimainkan minyak. Agar pajak dari rakyat tidak masuk ke rekening pribadi oknum pengutip pajak, penegakan hukum harus dijalankan dengan sungguh-sungguh.
Penanggulangan
Tidak ada cara mudah untuk mengatasi hal ini, apalagi jika seluruh komponen bangsa tidak mau terlibat secara serius. Yang pasti, Indonesia harus mengurangi kebergantungan pada minyak bumi. Patut disyukuri, pemerintah melalui Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral (DESDM) sudah mencoba memikirkan beberapa alternatif dalam bentuk Kebijakan Energi Nasional (KEN) yang akan diluncurkan secara resmi pada akhir tahun 2003. KEN memuat berbagai jenis mode pembangkitan listrik untuk mengurangi kebergantungan pada minyak, mulai dari pembangkit dengan bahan bakar baru, bahan bakar terbarukan, batu bara, gas, hingga nuklir.
Diharapkan KEN dapat menjadi landasan bersama seluruh komponen bangsa, tidak hanya pemerintah, untuk mengatasi masalah energi. Diharapkan pula pemerintah dapat menindaklanjuti KEN dengan rencana aksi yang konkret sehingga upaya pemerintah untuk menyejahterakan masyarakat tidak terhambat.
Jika untuk pembangkitan energi terdapat berbagai alternatif pengganti minyak, tidak demikian halnya untuk transportasi. Artinya, minyak masih terus diperlukan dengan semakin banyaknya alat transportasi yang melaju di jalan. Untuk mengurangi pemakaian minyak, pemerintah harus segera dengan serius memikirkan pemanfaatan alat transportasi yang dapat mengangkut banyak orang, seperti kereta listrik, dan menunjang penelitian sumber energi alternatif untuk transportasi. Alat transportasi massal adalah yang terbaik untuk menghemat minyak karena konsumsi energi per satuan jarak per satuan massa sumber energi per orang lebih besar daripada mobil atau bus, termasuk busway.
Jika sistem transportasi tidak baik, pemborosan minyak akan terus berlanjut; sebagian terbakar sia-sia karena kemacetan yang semakin parah. Strategi pengurangan jumlah kendaraan di jalan dapat juga dilakukan dengan cara mengizinkan mobil pribadi dengan nomor polisi ganjil saja pada suatu hari dan esoknya mobil yang bernomor genap; nomor ganjil genap bisa disesuaikan dengan tanggal kalender.
Saat Indonesia menjadi pengimpor neto minyak sudah di depan mata. Tidak dalam bilangan puluhan tahun atau tahun, tinggal beberapa hari lagi apabila benar terjadi pada tahun 2004.
Pemerintah perlu segera menyiapkan strategi untuk pembangunan dan penyiapan energi berdasarkan kondisi defisit minyak. Masyarakat pun harus menyadari hal ini dan dari sekarang belajar menghemat energi karena kita tidak lagi kaya akan sumber daya energi. Apabila terlambat, semakin dalam kita terperosok ke dalam krisis energi dan kita tidak lepas-lepas dari krisis ekonomi.
Kiranya Tuhan menolong kita.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H