"Mereka harus mati! Mati...!" teriak gadis itu keras- keras penuh dengan dendam yang membara. Suara teriakan yang keras itu menggema, terpantul oleh pepohonan dan bukit-bukit batu. Teriakannya yang disertai dengan amarah dan penuh dengan dendam itu seakan membuat alam disekitarnya seolah bergetar ikut merasakan getaran hatinya yang penuh dengan bara dendam. "Aku bersumpah, mereka harus mati di tanganku!" teriak gadis itu keras .
Malam itu, tiba tiba saja hujan turun dengan begitu lebatnya, disertai suara Guntur yang memekakkan telinga dan menyambar nyambar seakan ingin mengambil paksa kebahagiaan seluruh penghuni istana Negeri Seribu Pulau. Nyaris tidak ada satu pun penghuni istana Negeri Seribu Pulau yang berani keluar rumah, suasana malam itu terasa semakin mencekam ketika sayup sayup terdengar suara lolongan anjing. Di tengah pekatnya malam, dibawah kilatan cahaya Guntur terlihat seorang perempuan berambut sebahu membawa sasando rote berjalan menuju ke istana Negeri Seribu Pulau. Sorot matanya merah menggidikan jiwa, bibirnya mendesis sinis penuh bara dendam dan amarah. Siapa pun yang melihat wajahnya pasti akan lari terkencing kencing.
“Dimana mereka sekarang berada…?” batin Ki Buyut. Ki Buyut terus mencari keseluruh penjuru istana. Akhirnya… di salah satu sudut ruangan tamu, Ki Buyut menemukan apa yang dia cari. Dua orang pemuda berbadan tegap nampak sedang berdiskusi dengan serius. Yang satu adalah seorang pemuda ganteng berbaju biru bernama Ridwan, sementara yang satu lagi adalah seorang pemuda tinggi besar yang tegap berotot berdada bidang dan mengenakan pakaian militer bernama Lukman. “Bagaimana, sudah menemukan petunjuk?” Tanya Ridwan serius sambil memandang Lukman. “Belum Pak,“ jawab Lukman tegas, kami masih mengumpulkan bukti-bukti dan menganalisanya. Apakah ini ada hubungannya dengan kejadiaan lima belas tahun yang lalu, ucap Ki buyut menimpali. Mereka bertiga lantas terdiam sambil membayangkan kembali peristiwa berdarah lima belas tahun silam. Dimana kejadian tragis itu sangat menyita perhatian seluruh penduduk negeri Seribu Pulau dan dunia Internasional.
Tiba-tiba terdengar jerit kesakitan dari dalam kamar kepala keamanan istana, mereka lantas bergegas memburu kearah suara tadi berasal. Ketika mereka sampai di kamar kepala keamanan istana apa yang terjadi sungguh sangat menggidikan dan menyayat hati. Ternyata Jendral.M.Tobing sudah tidak bernyawa lagi dengan luka yang sama seperti mayat jurnalis istana. Lidah dan kesepuluh jarinya lenyap tanpa meninggalkan sedikitpun bercak darah.
Sementara itu nun jauh diatas bukit sana, didalam sebuah gubuk yang sudah tua Kiay Nur Iskandar nampak menghembuskan nafas panjang panjang sambil menatap sasando rote yang tergantung disudut kamar. Matanya kembali dipejamkan sembari membayangkan kejadian lima belas tahun yang lalu, dimana anak lelaki satu-satunya tewas dengan cara mengenaskan. Saat matanya kembali di buka, nampak kalau mata itu melukiskan kesedihan yang menyayat hati. “Nampaknya aku saja yang terlalu menguatirkan akan akibat dari kejadian berdarah itu… setelah lima belas tahun kejadian yang sangat menyayat hati itu, rasa-rasanya aku kini sudah bisa mulai menikmati ketenangan hidup yang selama ini terganggu oleh urusan duniawi ” Ujar sang kakek sembari mengelus perlahan jenggotnya.
Udara yang sejuk penuh dengan kedamaian dan ketenangan tanpa ada perasaan iri dan dendam, rasanya sangat tepat sekali untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Bersama desiran angin lapat lapat terdengar merdu suara seseorang melantukan kidung