No. 44 Ariyanto Sudaya
Senja mulai turun merayap mendekati malam, sementara matahari semakin condong ke ufuk Barat. Sinarnya yang lembut kemerah-merahan membias indah menanti datangnya sang dewi malam. Seorang dara jelita berkulit kuning langsat duduk bersimpuh di pinggir gundukan tanah merah. Keadaan sekitarnya sepi dan mulai gelap. Matanya merembang sayu menatap pada batu nisan yang tertanam diatas gundukan tanah merah di hadapannya. Entah sejak kapan dara jelita itu duduk bersimpuh disana. Raut wajahnya terlihat sedih dan matanya sembab seperti bekas tangisan.
"Aku yakin kau menderita di alam sana. Maafkan aku baru bisa mengunjungimu hari ini, mudah-mudahan engkau senang dengan kedatanganku," pelan dan lirih dia bergumam. Dara jelita itu menarik napas panjang dan berat, lalu pelahan lahan dia mengangkat kepalanya. Sejenak dia menatap sang surya yang hampir tenggelam di ufuk Barat. Di sini, di tempat sepi ini segalanya pernah terjadi. Peristiwa yang tak akan pemah terlupakan sepanjang hidupnya. Peristiwa yang terjadi lima belas tahun silam, di mana saat itu dia masih seorang bocah berumur sepuluh tahun.
"Tidaaak...!" dara jelita itu menjerit keras.
Tubuh Dara jelita itu jatuh lemas memeluk gundukan tanah merah di depannya. Air matanya jatuh bergulir di pipi, tak sanggup lagi dia membayangkan peristiwa keji yang menimpa kakaknya lima belas tahun silam. Puluhan orang yang seperti kerasukan iblis membunuh kakak laki-lakinya dengan opini yang menyesatkan secara bergiliran, dan menghancurkan nama baik kakaknya. Sehingga setiap orang yang melihatnya ingin meludahi dan mencincang tubuhnya.
"Akan kucari mereka dan akan kubunuh mereka semua. Percayalah, Kak. Aku akan membalaskan sakit hatimu!" geram dara jelita itu. Kedua telapak tangannya saling terkatup mengepal. Pelahan-lahan gadis itu bangkit, dan menyeka air matanya. Lalu kembali menatap pusara Dayat , sambil menarik napas panjang dan berat.
"Mereka harus mati! Mati...!" teriak gadis itu keras- keras penuh dengan dendam yang membara. Suara teriakan yang keras itu menggema, terpantul oleh pepohonan dan bukit-bukit batu. Teriakannya yang disertai dengan amarah dan penuh dengan dendam itu seakan membuat alam disekitarnya seolah bergetar ikut merasakan getaran hatinya yang penuh dengan bara dendam. "Aku bersumpah, mereka harus mati di tanganku!" teriak gadis itu keras .
Malam itu, tiba tiba saja hujan turun dengan begitu lebatnya, disertai suara Guntur yang memekakkan telinga dan menyambar nyambar seakan ingin mengambil paksa kebahagiaan seluruh penghuni istana Negeri Seribu Pulau. Nyaris tidak ada satu pun penghuni istana Negeri Seribu Pulau yang berani keluar rumah, suasana malam itu terasa semakin mencekam ketika sayup sayup terdengar suara lolongan anjing. Di tengah pekatnya malam, dibawah kilatan cahaya Guntur terlihat seorang perempuan berambut sebahu membawa sasando rote berjalan menuju ke istana Negeri Seribu Pulau. Sorot matanya merah menggidikan jiwa, bibirnya mendesis sinis penuh bara dendam dan amarah. Siapa pun yang melihat wajahnya pasti akan lari terkencing kencing.
“Dimana mereka sekarang berada…?” batin Ki Buyut. Ki Buyut terus mencari keseluruh penjuru istana. Akhirnya… di salah satu sudut ruangan tamu, Ki Buyut menemukan apa yang dia cari. Dua orang pemuda berbadan tegap nampak sedang berdiskusi dengan serius. Yang satu adalah seorang pemuda ganteng berbaju biru bernama Ridwan, sementara yang satu lagi adalah seorang pemuda tinggi besar yang tegap berotot berdada bidang dan mengenakan pakaian militer bernama Lukman. “Bagaimana, sudah menemukan petunjuk?” Tanya Ridwan serius sambil memandang Lukman. “Belum Pak,“ jawab Lukman tegas, kami masih mengumpulkan bukti-bukti dan menganalisanya. Apakah ini ada hubungannya dengan kejadiaan lima belas tahun yang lalu, ucap Ki buyut menimpali. Mereka bertiga lantas terdiam sambil membayangkan kembali peristiwa berdarah lima belas tahun silam. Dimana kejadian tragis itu sangat menyita perhatian seluruh penduduk negeri Seribu Pulau dan dunia Internasional.
Tiba-tiba terdengar jerit kesakitan dari dalam kamar kepala keamanan istana, mereka lantas bergegas memburu kearah suara tadi berasal. Ketika mereka sampai di kamar kepala keamanan istana apa yang terjadi sungguh sangat menggidikan dan menyayat hati. Ternyata Jendral.M.Tobing sudah tidak bernyawa lagi dengan luka yang sama seperti mayat jurnalis istana. Lidah dan kesepuluh jarinya lenyap tanpa meninggalkan sedikitpun bercak darah.
Sementara itu nun jauh diatas bukit sana, didalam sebuah gubuk yang sudah tua Kiay Nur Iskandar nampak menghembuskan nafas panjang panjang sambil menatap sasando rote yang tergantung disudut kamar. Matanya kembali dipejamkan sembari membayangkan kejadian lima belas tahun yang lalu, dimana anak lelaki satu-satunya tewas dengan cara mengenaskan. Saat matanya kembali di buka, nampak kalau mata itu melukiskan kesedihan yang menyayat hati. “Nampaknya aku saja yang terlalu menguatirkan akan akibat dari kejadian berdarah itu… setelah lima belas tahun kejadian yang sangat menyayat hati itu, rasa-rasanya aku kini sudah bisa mulai menikmati ketenangan hidup yang selama ini terganggu oleh urusan duniawi ” Ujar sang kakek sembari mengelus perlahan jenggotnya.
Udara yang sejuk penuh dengan kedamaian dan ketenangan tanpa ada perasaan iri dan dendam, rasanya sangat tepat sekali untuk mendekatkan diri kepada Sang Pencipta. Bersama desiran angin lapat lapat terdengar merdu suara seseorang melantukan kidung
Malam datang meramu
Jiwa jiwa terbelenggu
Panas membakar prasangka
Pada siapa dia bertanya?
Opini hadirkan sengketa
Dilembah bercucuran air mata
Kala lisan tiada terjaga
Di ujung kata saling memangsa
Sahabat … jadilah sang penguat
Bila mendatangkan manfaat
Bukan kata asal sepakat
Walau terjebak dalam pekat
Indragiri,09-09,2015
sumber gambar : https://gjb3112bogie.wordpress.com/musik-tradisional/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H