Mohon tunggu...
Ariyanisa AZ
Ariyanisa AZ Mohon Tunggu... -

Ordinary young woman

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fik-Jam GEN Three] Not About Texas

18 Mei 2016   21:45 Diperbarui: 18 Mei 2016   22:24 284
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Senyap, amat senyap. Anak lelaki itu lupa bahwa ini malam jum’at. Ia pulang terlalu malam, walaupun masih jam sembilan. Ada ragu untuk sesuatu yang marak ditakutkan. Tentang kabar kabar yang beredar bahwa tempat ini tak aman. Tentang banyak korban berjatuhan dari parang badik dan bahkan sabit pengunduh sawit. Juga tentu, nyawa melayang tak lagi berbilang dari pelintas jalan bernasib malang. Tapi ia harus tetap pulang, ibunya pasti cemas menunggu di rumah, mungkin sendirian.

Sepeda motor baru melaju agak tergesa. Jaketnya rapat melindungi hawa dan masker melekat kuat menutup hidung dari debu tanah merah. Tak ada cahaya di tengah kebun sawit kecuali terang bulan yang remang. Pun tak tampak ada orang lewat meski satu saja, padahal siang hari jalan ini termasuk ramai dan terang. Sudah, ia tak ingin berfikiran macam-macam, walau ketakutan tak elak mengejar bahkan untuk laju sepeda motor delapan puluh kilometer per jam. Yang ia tahu ia harus segera sampai di rumah, selamat.

Kebun sawit gelap membentang empat kilometer terasa berlipat kali lebih panjang. Motor baru berjalan bagai kutu, sesenggukan sendirian. Ia merapal berbagai-bagai do’a yang terlintas di fikiran. Tuhan mohon selamatkan, Tuhan mohon penjagaan. Dan sesuatu datang. Roda dua yang melaju begitu cepat. Sesaat ia merinding, itukah pertolongan, atau pertanda kesialan? Lampu utama ditembakkan padanya dari belakang. Ia gegas, namun motor belakang tak kalah cepat. Ia panik tak perduli lagi lubang kecil dan  batu tergeletak usil di jalanan. Tubuhnya berpentalan, mengikut ritme sepeda motor menggagahi tanah merah gelap.

Wwuussss... sepeda motor perkasa melewatinya begitu saja, tanpa tegur sapa barang tanya mau kemana. Tak ada yang tertinggal kecuali sign kiri yang tampak menyala. Oya, ia lupa. Orang bilang sign kiri harus tetap menyala jika terpaksa melintas di kawasan angker tersebut, sebagai pertanda bahwa ia penduduk pribumi asli. Semoga ini menyelamatkan. Lalu menyusul lebih sigap si perkasa yang hanya tinggal titik di kejauhan.

Ia lega. Lampu rumah penduduk tampak terang limaratus meter di depan. Sedikit  bernafas puas sebab selamat dari undian maut kebun sawit pemakan korban. Dikendurkan cengkeraman gasnya. Ia meraba peluh yang menghujani pelipis. Juga angin yang sedari tadi lebih dingin sebab kaus dan jaket sudah lagi kuyup oleh keringat.

Dalam santai yang lega, dua sosok hitam menyambut di ujung kanan jalan. Siapa minta pertolongan atau tebengan begini malam? Jangan-jangan korban pembegalan? Tapi tak ada tanda-tanda. Dua bayangan hitam kian tegap melangkah ke tengah. Semakin dekat, wajahnya kian tak terlihat. Sesuatu panjang berkilat ditimpa sinar bulan, mantap di genggaman. Oh tidak. Ia nampaknya mesti lebih gegas dari sebelumnya.

Gas dipacu sambil melaju sekuat mampu. Arrggh.. sialan! Besi panjang menghadang lehernya hingga ia jengkang, sepeda motor lepas dari badan. Sign kiri samasekali tak menyelamatkan. Kemudian tangan kekar menariknya dari belakang, bocah muda dicangking seperti anak kucing. Ia memberontak hebat. Tapi dua orang cukup membungkam mulutnya dengan kain, sekedar meredam suaranya agar tak terdengar siapapun nun di depan sana. Ia meronta, kencang. Kedua tangannya masih berfungsi saat tubuhnya melompat dan berusaha merebut sepeda motor lalu pulang ngebut dengan selamat. Tapi siapa mampu melawan dua orang hitam berbadan besar?

Pukulan bertubi mendera wajah dan tangannya yang mencoba bebas. Sakit, tapi ia merasa harus menang. Membalik badan lalu bersiap menerjang, tapi tak berhasil. Kepalnya meleset dan hanya ditangkap si badan besar denan enteng. Tak ada akal, ia hanya berusaha sigap meraih topeng kain pembungkus wajah, berhadiah bogem mendarat pulas di hidungnya. Tersungkur jatuh untuk kemudian sontak kaget bukan kepalang.

“Arg, bocah sialan!! Bangsat!!” begal menyumpah serapah, topeng kainnya terlepas.

Ingin si anak lelaki membalas rasa perih juga nyeri di hidungnya. Tapi terlambat. Tubuhnya lebih dulu dibanting paksa. Ia rebah, sekejap kemudian sesuatu dingin menerobos masuk ke dalam perutnya dengan amat tidak sopan. Ada rasa sakit tak tertahan kala belati bergerigi itu ditusukkan kedua kali di perut sebelah kiri, dan ditarik ke kanan sekian senti.

Anak lelaki itu tak tau apa yang terjadi. Robek di perutnya merebut kesadaran. Ia hanya ingin mengucap satu kata kala topeng terlepas dan wajah yang tampak di terang bulan, “Bapak..ini Dimas.” Ia hanya ingin pulang, bukan bermalam di bawah pohon sawit pinggir jalan. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun