Kadang ia ingin bertanya, kenapa bapak tak berangkat kerja siang saja. beberapa buruh pernah dilihatnya bekerja normal sebagaimana pekebun layaknya. Juga kenapa bapak tak memiliki ala-alat kebun di rumah seperti sabit, tanco, atau sejenisnya. Tapi, ah ibunya selalu menjadi benteng pertanyaan. Memaksanya puas dengan uang saku yang telah bertambah dan menu makan yang sedikit berubah.
Menurut, baginya adalah penghormatan khusus pada orang tua, terlebih ibunya. Wanita lembut yang membesarkannya itu tak pernah pantas bagi kata-kata keras, meski bapak berkali melakukannya. Ia tidak ingin seperti bapak. Ketidakinginan yang kadang melahirkan benci, atau sekedar amarah untuk melawan. Apa yang tidak menjijikkan bagi laki-laki kasar dan kaku seperti lelaki itu? Tapi benteng ibu lagi-lagi kuat, ia tetap anak penurut, sekalipun pada bapak.
“Bu, berangkat.”
“kemana, nak?”
“rumah temen. Belajar.”
“kok sore sekali. Nanti pulang jam berapa?”
“mungkin setelah maghrib.”
“Jangan malem-malem, ya. Kebun sawit yang dekat sawah itu rawan.”
“Iya.”
Jarum pendek penunjuk waktu berdiri lunglai di angka lima, saat anak itu lelaki itu pergi meninggalkan rumah.
***