Tiga ikat daun bambu terlihat di keranjang belanja mama, artinya sebentar lagi Mey akan makan bacang buatan mama. Kegiatan membuat bacang ini selalu dilakukan mama satu hari sebelum perayaan Peh Cun yang jatuh setiap tanggal 5 bulan 5 penanggalan Imlek.
Bacang buatan mama berbeda dengan bacang  yang dijual di toko kue ataupun penjual keliling, ada potongan telur asin di dalam isinya selain campuran daging ayam cincang dan jamur. Bukan hanya isi yang spesial, nasi pembungkus isi yang terdiri dari campuran beras dan ketan pun terasa lembut dan gurih.
Sudah menjadi tugas Mey untuk merebus, membersihkan hingga mengeringkan kembali daun-daun bambu itu, sementara mama sibuk menyiapkan bahan-bahan isinya.
Tahun lalu, setelah meninggalnya papa, Mey pernah menyarankan agar mama tidak perlu lagi repot membuat bacang, cukup membeli yang sudah jadi saja, tetapi mama bersikukuh untuk mempertahankan tradisi ini dengan memberikan alasan yang sangat masuk akal.
Tahun ini, Peh Cun akan jatuh di bulan Ramadhan, mama ingin bacang bisa matang tidak terlalu malam, hingga bisa langsung diantar  dan bisa untuk makan sahur bagi yang berpuasa.
--
"Kamu gak capek mengantar bacang setelah pulang kerja, Mey?"
"Gak Ma, tapi Mey boleh makan 1 bacang dulu khan? Hmmmm wanginya itu loh, gak nahan." jawab Mey sambil menggandeng mama menuju dapur.
Bacang yang baru saja diangkat dari panci rebusan diambil mama dan disiapkan di atas piring. Tali pengikat bacang digunting untuk melepas bungkusnya, dan harum aroma isi bacang semakin membuat cacing di perut Mey berebut minta diisi.
"Pelan-pelan Mey makannya, panas." dengan tersenyum mama mengingatkan anak gadisnya yang sedang melahap sendok demi sendok bacang yang masih mengeluarkan asap.
"Enak banget Ma, top deh bacang mama." seru Mey masih dengan mulut penuh sisa suapan terakhir.