Mohon tunggu...
Ariyani Na
Ariyani Na Mohon Tunggu... Wiraswasta - ibu rumah tangga

Hidup tidak selalu harus sesuai dengan yang kita inginkan ... Follow me on twitter : @Ariyani12

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Korban: "Emang Enak Dibully?!"

28 Januari 2016   10:13 Diperbarui: 28 Januari 2016   11:04 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Emang enak dibully?!”

Semoga dengan adanya tanda tanya dan tanda seru, pembaca bisa memiliki persamaan  intonasi dengan saya saat membaca kalimat diatas.

Kalimat tersebut diucapkan teman anak sulung saya saat bercerita mengenai rasanya menjadi korban bully saat duduk di sekolah dasar, dan kini setelah duduk di SMU, salah satu teman yang dianggap dulu mem-bully, justru menjadi salah satu teman baiknya. 

“Memangnya dulu diapain aja?” pertanyaan pancingan dari saya untuk melihat apakah perlakuan yang dianggapnya sebagai bullyan mengarah pada kekerasan fisik seperti yang kita lihat di video-video yang tersebar di media sosial, atau tidak. Dari keseluruhan cerita, tidak ada kekerasan fisik yang dilakukan oleh teman-temannya, namun anak ini merasa tertekan dan terintimidasi atas perlakuan teman-temannya yang selalu mengganggu dan mengejek setiap hal yang ia lakukan.

“Sekarang khan kalian jadi teman baik, pernah tanya gak ke temennya itu, kenapa dulu mem-bully?” tanya saya lagi.

“Pernah, jawabnya cuma ikut-ikutan aja.” Jawab teman anak saya.

Dari cerita diatas kita dapat melihat bahwa seorang anak sudah akan merasa dirinya di-bully meskipun tanpa ada sentuhan kekerasan fisik dari temennya, dan pengalaman tersebut terus membekas hingga anak itu tumbuh menjadi remaja bahkan mungkin dewasa.

Kisah lainnya saya peroleh dari penuturan seorang ibu yang akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan anaknya dari sekolah biasa dan memilih homeschooling, lantaran kecewa dengan pihak sekolah yang memposisikan anaknya selalu diposisi yang salah bila ada kejadian di sekolah. Guru terlanjur memberikan ‘label’ nakal, sehingga akhirnya membuat keputusan bersalah selalu ada di anak ibu tersebut  dan kondisi seperti ini juga mempengaruhi nilai akademisnya.

Meskipun mengetahui bahwa homeschooling akan mengurangi kemampuan anak bersosialisasi dengan lingkungannya, namun si ibu merasa bahwa keputusan yang diambil untuk anaknya sudah pas karena selama homeschooling, anaknya terlihat lebih tenang dan secara akademis  jauh lebih baik.

-

Mendengar kata bully, pasti kita akan berpikir bahwa pelakunya adalah anak yang terkenal nakal dan tidak memiliki prestasi yang baik di sekolah, dan umumnya "stempel"nakal ini sering diberikan kepada anak yang beberapa kali tertangkap atau diketahui bermasalah di sekolah, meskipun sebenarnya belum tentu  si anak tersebut selalu berada di posisi bersalah, termasuk dalam kasus bullyan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun