“Emang enak dibully?!”
Semoga dengan adanya tanda tanya dan tanda seru, pembaca bisa memiliki persamaan intonasi dengan saya saat membaca kalimat diatas.
Kalimat tersebut diucapkan teman anak sulung saya saat bercerita mengenai rasanya menjadi korban bully saat duduk di sekolah dasar, dan kini setelah duduk di SMU, salah satu teman yang dianggap dulu mem-bully, justru menjadi salah satu teman baiknya.
“Memangnya dulu diapain aja?” pertanyaan pancingan dari saya untuk melihat apakah perlakuan yang dianggapnya sebagai bullyan mengarah pada kekerasan fisik seperti yang kita lihat di video-video yang tersebar di media sosial, atau tidak. Dari keseluruhan cerita, tidak ada kekerasan fisik yang dilakukan oleh teman-temannya, namun anak ini merasa tertekan dan terintimidasi atas perlakuan teman-temannya yang selalu mengganggu dan mengejek setiap hal yang ia lakukan.
“Sekarang khan kalian jadi teman baik, pernah tanya gak ke temennya itu, kenapa dulu mem-bully?” tanya saya lagi.
“Pernah, jawabnya cuma ikut-ikutan aja.” Jawab teman anak saya.
Dari cerita diatas kita dapat melihat bahwa seorang anak sudah akan merasa dirinya di-bully meskipun tanpa ada sentuhan kekerasan fisik dari temennya, dan pengalaman tersebut terus membekas hingga anak itu tumbuh menjadi remaja bahkan mungkin dewasa.
Kisah lainnya saya peroleh dari penuturan seorang ibu yang akhirnya memutuskan untuk mengeluarkan anaknya dari sekolah biasa dan memilih homeschooling, lantaran kecewa dengan pihak sekolah yang memposisikan anaknya selalu diposisi yang salah bila ada kejadian di sekolah. Guru terlanjur memberikan ‘label’ nakal, sehingga akhirnya membuat keputusan bersalah selalu ada di anak ibu tersebut dan kondisi seperti ini juga mempengaruhi nilai akademisnya.
Meskipun mengetahui bahwa homeschooling akan mengurangi kemampuan anak bersosialisasi dengan lingkungannya, namun si ibu merasa bahwa keputusan yang diambil untuk anaknya sudah pas karena selama homeschooling, anaknya terlihat lebih tenang dan secara akademis jauh lebih baik.
-
Mendengar kata bully, pasti kita akan berpikir bahwa pelakunya adalah anak yang terkenal nakal dan tidak memiliki prestasi yang baik di sekolah, dan umumnya "stempel"nakal ini sering diberikan kepada anak yang beberapa kali tertangkap atau diketahui bermasalah di sekolah, meskipun sebenarnya belum tentu si anak tersebut selalu berada di posisi bersalah, termasuk dalam kasus bullyan.
Sesuai penuturan anak teman saya, yang melakukan bully terhadap dirinya bukan anak yang terkenal nakal, tetapi sekelompok anak yang tergolong pintar dan terlihat baik saat di dalam kelas, dan ini yang menyebabkan tingkah laku mereka luput dari perhatian para guru di sekolah bila si anak tidak berani mengadukannya.
Buang “stempel” nakal pada siswa
Saya cukup terkesan dengan sebuah cerita bertemakan sekolah pada drama korea, dimana seorang guru tidak memberikan ‘stempel’ nakal pada kelompok siswa meskipun diawal-awal proses mengajar guru ini cukup dibuat kewalahan dengan tingkah mereka. Sang guru pun berusaha mencari tahu bagaimana kehidupan si anak di luar sekolah, dan mengetahui bahwa ternyata anak yang selalu membuat masalah di sekolah mengalami kekerasan fisik di rumah. Lebih menarik lagi, karena guru tersebut membuang “stempel” nakal pada murud-muridnya, maka setiap ada kasus yang terjadi di kelas, guru ini tidak lantas menuduh atau menjatuhkan hukuman kepada si anak, meskipun murid-murid di kelas selalu mengarahkan kesalahan pada anak tersebut, dan guru tersebut selalu berhasil mengetahui siapa pelaku yang sebenarnya.
Sama halnya dalam kasus bullyan, pelaku tidak selalu anak yang terlihat nakal di sekolah, bisa juga anak yang terlihat baik dan manis di depan guru dan kepala sekolah, sehingga yang perlu menjadi perhatian adalah korban bully yang cenderung jadi pendiam dan memisahkan diri dari teman-temannya atau hanya dekat dengan satu atau dua orang teman saja.
Peran Orang Tua, Pendidik dan Media
Dalam kicauannya di twitter Presiden @jokowi menyebutkan bahwa Perudungan, kekerasan pada anak tidak bisa ditolerir. Orang tua, pendidik dan media ujung tombak perlindungan.
Kata perudungan dari asal kata rudung yang berarti mengganggu, mengusik terus-menerus, menyusahkan sepertinya dipakai untuk mengganti kata bullying yang selama ini lebih dikenal masyarakat.
Orang tua, Pendidik dan Media yang disebutkan dalam isi kicauan memang memegang peran penting dalam perlindungan anak, karena seperti yang saya sebutkan diatas bahwa prilaku yang diterima anak dirumah akan mempengaruhi prilaku anak di luar rumah.
Orang tua yang seharusnya berperan menjadi pelindung, justru kerap kali menjadi penyebab anak berlaku kasar kepada teman-temannya, bisa karena melihat contoh prilaku kasar, bisa karena ingin menutupi kehidupannya di rumah, dan bisa juga karena pelampiasan amarah akibat perlakukan yang tidak baik yang diterimanya dirumah.
Seperti yang sudah saya jelaskan diatas, pendidik atau guru tidak cukup sekedar hanya mengajar dan memberi nilai tetapi harus peka dengan apa yang terjadi dengan siswa yang dididiknya.
Saat ini media dan media sosial memegang peranan penting dalam kasus perudungan pada anak terutama siswa. Cerita-cerita pada sinetron terkadang menggambarkan seolah bullying menjadi hal yang biasa dan boleh dilakukan di sekolah, dan pada cerita kerap menggambarkan bahwa yang menjadi pelaku akan dianggap hebat oleh kelompoknya. Lebih miris lagi, bila kasus bullying tersebut direkam, diunggah dan disebarkan di media sosial dengan tujuan mereka akan terkenal.
Video kekerasan biasanya disebarkan dengan disertai kalimat kecaman atas tindakan bullying yang dilakukan pelajar, namun secara tidak sadar tidakan kita tersebut ikut menyebarkan dan mereka justru merasa tujuannya berhasil sehingga sebaiknya tidak perlu menyebarkan tetapi wajib dilaporkan kepada pihak terkait, baik ke Menkominfo maupun Mendiknas agar segera ditindaklanjuti.
--
sumber gambar edupost.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H