Teror Pemangsa Janin (Bagian 5):
Semalam Bersama Nyai dan Abah
By Ariya Wiraswasta
MENDENGAR penjelasan Ustadz Naman  tentang  kebenaran adanya alam ghaib,  kehadiran mahluk halus seperti jin dan syaiton yang bersekutu dengan manusia musrik.  Serta kesaksian Mang Dadang  soal makam terbelah sebagai pertanda bangkitnya angkara murka di Kampung Pinggir Kali, membuat rasa cemas dan takut menyelimut Aran. Bayangan wajah istrinya yang tengah hamil tua segera muncul di pandangan matanya.
Abah Azis memahami keresahan Aran. Tokoh yang dituakan di kampung itu meminta maaf untuk segera mengakhiri perbincangan. Diskusi dadakan depan gerbang masjid itu pun bubar.
Sementara sang pemilik rumah yang tadi berjalan mengikuti Aran di belakang, kini sudah berada persis di sampingnya.
Pintu tidak segera dibuka, Nyai Ipah menyahut dari dalam  supaya para tamu menunggu sebentar.  Selang lima menit kemudian pintu dibuka oleh perempuan tua  berkerudung, tapi beberapa helai rambutnya yang memutih menyembul keluar. Pertanda Nyai memakainya tergesa-gesa.
Aran merasa lega setelah melihat istrinya dalam keadaan baik-baik saja.  Keduanya menerima  tawaran Nyai bermalam di rumah sederhana dengan sedikit perabotan. Nyai Ipah memutuskan Mirda tidur di kamar bersamanya, sementara Abah Azis dan Aran tidur di ruang utama yang biasa digunakan untuk pengajian.
"Nah ini teh ada roti bakar dari orangtua santri. Dihabiskan saja yah, ulah tinggaleun. Sayang rezeki," ujar Nyai Ipah sambil menyodorkan piring dengan tiga potong roti bakar di atasnya. Suguhan itu pun segera disambut hangat kedua lelaki dewasa yang baru pulang dari masjid dengan perut kosong.
"Bang, Mirda pamit tidur duluan ya, ucap Mirda lembut kepada suaminya yang sedang mengunyah roti.
Aran pun segera berhenti mengunyah karena merasa tak enak hati. Aran tersadar akan keegoisan dirinya makan sendiri tanpa menawarkan pada sang istri tercinta.  Roti bakar yang sudah agak dingin itu sangat menggoda selera dan perutnya, apalagi  sejak  magrib belum ada sesuatu yang dimakan selain minum sebotol air mineral.
""Makanlah Bang. Tadi Mirda sudah makan bersama Nyai. Â Lagipula Abang pasti belum makan sehabis rapikan rumah baru kita kan?" lanjut Mirda memahami perasaaan suaminya.
"Betul tuh Neng.  Habis beres-beres rumah sana, si abang ke sini kan sebentar ketemu Neng Mirda. Terus si Abang ke masjid sama Abah. Nah, bubaran Isya diajak ngobrol dah bareng jama'ah. Pasti lapar nih Bang Aran," sela  Abah Azis sambil memegang sepotong roti bakar lainnya.
Kini giliran Mirda yang merasa tak enak hati karena belum mampu mengurus suaminya dengan baik.  Spontan Nyai Ipah  menawarkan untuk memasak ikan kembung yang disimpannya di kulkas.  Namun Aran menolak niat baik  guru mengaji  yang selalu tampak bersemangat walau usianya nyaris dua per tiga abad seperti suaminya.
"Tapi kalau kopi sih, mau kan ya Bang Aran" celetuk Abah Azis.
"Aduh, itu sih si Abah yang mau. Tidak boleh atuh. Abah kan sudah tua nanti susah tidur terus sakit dah, jawab Nyai Ipah dengan ketus.
Keempat orang itu pun tertawa geli beberapa saat.  Kemudian Nyai Ipah diikuti Mirda pindah ke kamar tidur meninggalkan  ke dua lelaki itu di ruang tamu sekaligus ruang pengajian anak-anak.  Karpet berbulu setebal 10 milimeter sudah cukup empuk sebagai alas tidur, karenanya Abah Azis dan Aran tak lagi perlu hambalan atau sarung.
Malam pun kian larut.  Suara hembusan angin terdengar semakin keras disertai gemerisik  botol plastik, ranting dan benda-benda lain yang dihempaskan angin ke dinding rumah penduduk. Sayup-sayup terdengar gemuruh  guntur dan kilatan cahaya di kejauhan sana.Â
Udara terasa semakin dingin ketika gerimis menyelimuti permukaan bumi. Â Dingin semakin menghujam ketika gerimis beralih menjadi hujan deras disertai tiupan angin kencang.
Aran terjaga dari tidurnya yang baru beberapa menit saja. Badai pikirnya  setelah bangkit duduk bersila.  Dilihatnya Abah Azis masih tidur pulas meski sambil meringkuk kedinginan.
Aran memandangi seluruh penjuru ruangan. Tidak dijumpainya kursi atau lemari mewah, melainkan hanya  lima meja lipat kecil tersandar ke dinding serta sebuah rak buku dari rotan tempat meletakkan kitab suci al Qur'an, iqra dan perlengkapan shalat. Pada bagian atas dinding ruangan terdapat tulisan kaligrafi yang langsung ditorehkan menggunakan kuas dan cat akrilik.  Meski cuma menggunakan dua warna dasar biru dan kuning, namun gradasi dan permainan warnanya membuat  rangkaian ayat kursi itu indah dipandang mata sekaligus mudah dibaca.
Hujan  makin deras disertai  kilatan cahaya yang disertai gemuruh memekakan telinga. Aran masih terus memandangi seisi rumah pasangan tetua Kampung Piggir Kali itu.  Dirinya masih bertanya-tanya dalam hati, bagaimana Abah Azis yang dikenal sebagai juragan beras, pemilik sejumlah kios di pasar, serta pengurus masid tidak memiliki perabotan rumah tangga lengkap apalagi bekas. Hanya sebuah kulkas dua pintu di lorong menuju dapur, itu pun  menurut Nyai Ipah  diperuntukan menyimpan dagangannya yaitu  sosis, bakso dan otak-otak yang dijual dari mulut ke mulut
Hujan pun makin deras membuat dingin semakin menusuk tubuh.  Sayup-sayup terdengar suara jam bandul berdentang dari masjid sebelah rumah.  Dua belas kali jam bandul  itu berdentang pertanda dini hari.
Seusai dentang jam tiba-tiba suasana mencekam dirasakan Aran.  Dilihatnya Abah Azis masih terlelap sambil meringkuk kedinginan.  Ditengoknya pintu kamar Nyai Ipah masih tertutup rapat dan  tidak ada tanda-tanda aktivitas di sana. Aran berharap  istrinya merasa nyaman tidur bersama perempuan yang pandai mengajar ngaji itu.
"Tak... tak tak... tak... trak...." suara kaca jendela diketuk berulang dari luar.
Aran hanya menoleh lalu menajamkan pandangannya ke arah jendela dan pintu. Â Kain tirai bergerak gerak pelan karena hembusan angin dari bagian atas kusen jendela yang dilapis kawat anti nyamuk. Â Â Karena tak ada yang aneh, Aran pun mengalihkan perhatiannya ke arah lain.
Bersambung....
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H