Mohon tunggu...
Ariya Hadi Paula
Ariya Hadi Paula Mohon Tunggu... Penulis - Fiksionis, jurnalis independen dan kolomnis sosial humaniora

Ariya hadi paula adalah Alumni IISIP Jakarta. Pernah bekerja sebagai desainer grafis (artistik) di Tabloid Paron, Power, Gossip, majalah sportif dan PT Virgo Putra Film .Jurnalis Harian Dialog, Tabloid Jihad dan majalah Birokrasi. Penikmat berat radio siaran teresterial, menyukai pengamatan atas langit, bintang, tata surya dan astronomi hingga bergabung dengan Himpunan Astronom Amatir Jakarta (HAAJ) dan komunitas BETA UFO sebagai Skylover. Saat ini aktif sebagai pengurus Masyarakat Peduli Peradaban dan dakwah Al Madania Bogor.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Teror Pemangsa Janin (Bagian 4)

19 Oktober 2024   10:00 Diperbarui: 26 Desember 2024   10:04 83
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cover: Laviola Designmax

"Kebanyakan pernak-perniknya  itu, he he he...." celetuk Mang Dadang yang sudah seharian membantu Aran.

Ustadz Naman  tersenyum sambil mengangguk-anggukan kepala  memahami  keresahan lelaki muda di hadapannya. Imam masjid pinggir kali itu membesarkan hati Aran untuk bersabar dan bersemangat sebagai  calon bapak di sebuah keluarga yang  berusia masih sangat sebentar yaitu baru berjalan dua tahun.

"Alhamduillah Tadz, malam ini  Saya dan istri  menginah di rumah Abah Azis.  Nyai Ipah memaksa istri Saya untuk bermalam bersama Abah dan Nyai sebelum rumah baru Kami siap ditempati," jelas Aran.

"Ustadz Naman kembali manggut-manggut sambil mengalihkan pandangan ke arah Abah Azis, lelaki tua kelahiran Subang Jawa Barat tapi sudah dianggap tokoh masyarakat di Kampung Pinggir Kali karena termasuk orang yang awal bermukim di situ.

"Nyai itu khawatir Ustadz, kandungan istri Bang Aran ini sudah masuk tujuh bulan.  Kalau rumah barunya belum siap, takutnya istri Bang Aran kelelahan malah berabe atuh, jelas Abah yang direspon Ustadz Naman dengan diam tapi pancaran matanya menyelidik.

Dipandang seperti itu membuat Abah Azis merasa risih. Walapun usia Usadz Naman lebih muda dan mereka sama-sama bergiliran menjadi imam shalat di Masjid Pinggir Kali,  Abah Azis  tak mampu menangkal hujaman pertanyaan via batin sang ustadz.

"Yah seperti sudah Ustadz dengarlah, sebelumnya  banyak kejadian aneh yang mengganggu istrinya Bang Aran. Sudah begitu teh Abah saksikan sendiri  makam  dukun beranak di belakang kontrakan  Bang Aran ini terbelah lagi Tadz, persis tigabelas tahun yang lalu, jelas Abah Azis.

"Mm... Mm... Maksudnya kuburan Dukun Manta?! Tanya Uda Buyung kaget.  Pertanyaan  itu seakan  setrum arus listik yang menyadarkan Abah Azis jika didekatnya bukan cuma ada Ustadz Naman, Aran dan Mang Dadang.

"Wah bahayo itu buat kampuang sini.  Bisa ada korban lagi ni sepeerti waktu itu. Bahaya... bahaya...." sambung Uda Buyung cemas.

"Astaghfirulloh...." ucap Ustadz Naman buka suara. Jari telunjuk tangan kanannya diletakkan di atas  kedua bibirnya meminta Uda Buyung  jangan bicara dengan suara keras.

"Maaf Tadz.  Tapi ini bahaya buat kampuang Kita.  Dulu itu banyak ibu-ibu hamil kehilangan janin dalam perut mereka. Malah ada yang meninggal juga kan Abah? Semuanya karena arwah dukun Manta keluar lagi dari kubur. Iya kan Abah?"  berondong Uda Buyung.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun