"Ya begitu dah Neng. Dari pertama kali Nyai sama Abah ke Jakarta,  memang niatnya  bikin tempat pengajian buat anak-anak kota. Kebetulan Abah dapet  warisan dari orangtuanya di kampung,  jadi bisa beli ini rumah," cerita Nyai Ipah bersemangat.
Dimulailah perbincangan yang  menyenangkan tentang masa lalu perjuangan Nyai Ipah dan suaminya Abah Azis ketika memulai hidup di pingggiran metropolitan. Nyai Ipah mejadi begitu bersemangat bercerita karena jarang-jarang ada tamu menginap di rumah sekaligus  sanggar mengajinya. Sementara Mirda  antusias  menyimak sambil  tetap bersandar ke dinding.
Nyai Ipah bercerita bagaimana Abah Azis  menjadi pedagang  sandal kulit yang keliling kampung setiap pagi lalu petangnya mengakar ngaji dan menjadi imam di masjid pinggir kali.  Usaha dagang sandal dikala terang dengan berdakwah di malam hari melalui mengajar ngaji sesuai amanat orangtua dan kiai di pondok pesantren tempat Abah Azis menimba ilmu. Kerja keras, pandai menyimpan uang  membuat Abah mampu mengontrak kios di pasar tradisional dekat stasiun untuk memulai usaha dagang beras.  Usaha dagang berkembang menjadi tiga kios besar dengan mempekerjakan orang,  maka Abah dapat lebih banyak menghabiskan waktu di rumah dan masjid.
 Sesekali  Mirda  menanggapi cerita Nyai Ipah dengan komentar  singkat. Selebihnya  orang tua  yang diangkat warga sebagai tokoh agama  itu mendominasi bercerita tentang perjalanan hidupnya di  Jakarta.  Perbincangan itu berakhir setelah  pengantar adzan shalat isya berkumandang dari masjid.
Pada saat bersamaan di masjid sebelah rumah, kaum lelaki tengah bersiap menunaikan shalat isya berjama'ah.  Lelaki dewasa dan orang tua berada di barisan terdepan di belakang imam. Remaja dan anak-anak mengikuti di belakang,  namun hanya terbentuk tiga shaff pada shalat isya berjamaah malam itu.  Sang imam shalat sempat menyebut beberapa nama warga yang biasanya  hadir sebagai makmum di masjid.
Shalat pun dilaksanakan dengan khusyu.  Selesai  menuntaskan empat rakaat wajib,  imam memimpin jama'ah melafadzkan dzikir dan berdoa.  Sementara anak-anak dan remaja sudah berlarian kelar masjid, berlomba pulang atau melanjutkan bermain bersama.  Aran yang berada di shaff kedua memperhatikan tigkah laku  anak-anak dan remaja itu sambil geleng-geleng kepala.
"Yah begitulah barudak  zaman sekarang, teu betah lama-lama di masjid.  Tapi masih baguslah  masih ingat shalat," ujar Abah Azis sambil menepuk pundak Aran.
"Muhun atuh ujar Abah. Masih baguslah ada yang ke masjid,  kebanyakan anak-anak umur sakituh mah malah asyik main PS atau nongkrong di warnet".  "Kacaulah anak kampung sini," celetuk Uda Buyung  yang berada di samping  kanan Aran.
Kini Aran gantian mengangguk-anggukkan kepalanya tanda setuju pada pernyataan Uda Buyung pemilik toko klontong di pinggir jalan raya.  Soal anak-anak tadi menjadi topik perbincangan para jamaah sambil  berjalan ke luar masjid. Perbincangan singkat namun seru itu akhirnya bubar setelah Ustadz Naman  keluar sebagai orang terakhir menutup pintu masjid.
"Bang  katanya pindahan tadi siang? Tanya Ustadz Naman yang juga imam masjid.
"Betul Tadz. Tapi belum  beres juga ternyata.  Sebetulnya kamar untuk istirahat istri Saya sudah selesai,  tapi  di ruang tamu dan dapur masih banyak barangnya Tadz," jawab Aran bernada curhat.