Teror Pemangsa Janin (Bagian 4): Histori Histeria Kampung Pinggir Kali
By Ariya Wirasastra
MATAHARI senja telah berlalu  meninggalkan suasana temaram.  Lampu-lampu penerangan jalan pun menyala redup menerangi anak-anak yang pulang dari masjid di pinggiran kali Kota Jakata dengan Kampung Depok. Lantunan shalawat dan ayat suci dari speaker masjid dan mushola sepanjang sungai kecil seakan menyambut  gelap yang merambat menyelimuti permukaan bumi.
Sebuah rumah sederhana dengan bangunan model lama tampak berdiri kokoh di samping masjid. Kusen jendela dan pintu dari kayu nangka tanpa ukiran serta dinding dari bata merah, beberapa bagian  mulai terkelupas lapisan cat  dan  plaster-nya. Terdengar suara seorang perempuan tua  membawakan murotal dari dalam rumah.  Suaranya berat dan parau, namun artikulasinya jelas membuat siapa pun yang mendengar akan tertegun sejenak menyimak.
Nyai Ipah duduk bersila di atas sajadah membaca  kitab suci Al Qur'an dan tarjimnya.  Masih mengenakan mukena hijau muda favoritnya, perempuan  tua itu melanjutkan shalat maghribnya  dengan murotal.  Sementara dibelakangnya tampak Mirda bersandar ke dinding juga masih mengenakan mukena.
Nyai Ipah memperlahan menurunkan tempo bacaannya lalu menutup kitab suci yang dibacanya. Diletakkan kitab itu pada sebuah rak buku kecil di sudut ruangan.  Beberapa buku bacaan fiqih shalat, Juz Amma  serta setumpuk  buku saku metode Iqro berada pada rak lantai bawah.  Kemudian dilepasnya mukena, dilipat dan diletakkan di atas sajadah.
"Maaf ya Neng, jadi duduk di  ubin dah.  Mau ke kamar Nyai?" tanya perempuan yang sebagian besar rambutnya telah berwarna putih.
"Terima kasih Nyai," jawab Mirda sambil mengangguk pelan dan tersenyum.
"Maklum ya Neng. Rumah Nyai teh ente aya (tidak ada) perabotannya. Cuma karpet tebal ini saja tempat  Nyai sama Abah terima tamu, ujar Nyai Ipah.
"Alhamdulilah, Nyai punya rumah kok luas, nyaman, cocok lah buat anak-anak mengaji," puji Mirda.