Mohon tunggu...
Ariya Hadi Paula
Ariya Hadi Paula Mohon Tunggu... Penulis - Fiksionis, jurnalis independen dan kolomnis sosial humaniora

Ariya hadi paula adalah Alumni IISIP Jakarta. Pernah bekerja sebagai desainer grafis (artistik) di Tabloid Paron, Power, Gossip, majalah sportif dan PT Virgo Putra Film .Jurnalis Harian Dialog, Tabloid Jihad dan majalah Birokrasi. Penikmat berat radio siaran teresterial, menyukai pengamatan atas langit, bintang, tata surya dan astronomi hingga bergabung dengan Himpunan Astronom Amatir Jakarta (HAAJ) dan komunitas BETA UFO sebagai Skylover. Saat ini aktif sebagai pengurus Masyarakat Peduli Peradaban dan dakwah Al Madania Bogor.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mahabbah

31 Desember 2023   15:04 Diperbarui: 3 Oktober 2024   13:52 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

MAHABBAH

Karya Ariya Skylover

Jari jemari kurus namun lentik milik perempuan tua itu terus asyik mencabuti  tumbuhan liar di atas  makam suaminya. Telaten dan tuntas seluruh tanaman jenis parasit familia  dicabut sampai ke akarnya secara perlahan sehingga tidak merusak rerumputan Jepang yang disengaja ditanam melapisi makam. Hasil kerjanya sangat tidak sepadan dengan fisiknya yang kecil dan ringkih.

Setelah dipastikan olehnya tidak ada lagi  tumbuhan liar terselip di antara rumput  atau pembatas makam,  maka perempuan tua itu beranjak ke sisi batu nisan. Dielusnya dengan pelan dan lembut bagian perukaan nisan yang berlapis keramik. Dilakukannya secara berulang-ulang sambil mulutnya bergumam mengirimkan doa.

Tiba-tiba perempuan tua itu mengeluarkan  selembar tissue basah untuk mengelap sesuatu  yang dianggapnya mengotori  pada angka 1946 yang menunjukkan tahun kelahiran mendiang suaminya.  Digosoknya berulang sampai  bagian itu lebih cemerlang dibanding yang lainnya.   Namun  hal itu  terus dilakukan  seakan penasaran dan baru berhenti setelah seorang penjaga makam yang sekaligus petugas kebersihan taman pemakaman menegurnya.

"Kenapa Mak? Sepertinya sudah bersih banget,"tegur lelaki muda berbekal gunting rumput dan sapu lidi kecil sambil berjongkok  di seberang si perempuan tua

Sang nenek tidak segera menjawab, melainkan hanya tertawa lebar sehingga terlihat sebagian giginya yang  telah tanggal dan keropos dimakan usia.

Namun sebentar kemudian sang nenek dengan ramahnya bercerita  jika seharusnya angka yang ditulis pada nisan adalah 1945.   Sesungguhnya mediang suaminya itu lahir persis di hari kemerdekaan bangsa Indonesia, putra dari dari relawan tentara Jepang yang berasal dari Manado, Sulawesi Utara.  Persoalannya ketika suaminya  mengajukan pembuatan Kartu Tanda Penduduk (KTP)  ke pihak kelurahan  yang dicetak adalah tahun yang salah,  suaminya pun meminta perubahan tapi tak digubris dengan alasan tak ada akte kelahiran dan pengajuannya pun jauh terlambat yaitu jelang pernikahan mereka.

"Emang ribet banget ya Nek ngurus KTP zaman dulu.  Padahal setahu Saya tuh warga negara yang lahir pas tahun itu dapet bantuan khusus tuh. Sirik kali ya?" tanggap  sang penata taman makam mulai tertarik.

Sang nenek hanya kembali tertawa seakan memaklumkan masa lalu.   Kemudian   dia melanjutkan ceritanya tentang  masa kecil sang suami yang hidup  hanya berdua  maminya di  metropolitan  yang penuh gejolak dan kesusahan  di awal kemerdekaan.  Beruntung  papi yang  termasuk dalam barisan   utama Heiho telah meninggalkan sedikit perhiasan serta  rumah  sederhana di kawasan Jatinegara  Jakarta Timur, sehingga kehidupan mereka bisa terus berlanjut meski  kadang prihatin.  Papi mereka memilih meninggalkan Jakarta sebagai wujud kesetian kepada Dai Nippon dan balas kasih atas dibukanya jalan menuju kemerdekaan bagi  bangsa  yang telah terjajah  lebih dari 3,5 abad oleh Netherland. ( https://www.kompasiana.com/ariyaibnupaula/62fcbfe93555e42ff62bd652/mami-benci-kemerdekaan?utm_source=Whatsapp&utm_medium=Refferal&utm_campaign=Sharing_Desktop )

Terus Mak ketemu Kakek, eh Engkong ya, kapan tuh?" tanya lelaki muda yang mulai tertarik cerita sang nenek.

Pandangan perempuan berusia  74 tahun itu  segera menerawang jauh menelusuri masa lalu.  Kedua bola matanya mulai berkaca-kaca saat syaraf-syaraf memorabilia di kepalanya menemukan kilasan gambar dan suasana  akhir tahun 1960-an.  Masa-masa puncak krisis ekonomi dan pergolakan politik yang dihiasi aksi demonstrasi mahasiswa  di ujung keruntuhan  kekuasaan Sukarno.  Kemiskinan hebat mendera  keluarga besar sang nenek yang  terdiri dari sembilan bersaudara.   Sawiyah muda, demikian sang nenek mengenalkan dirinya, terpaksa bekerja serabutan  sebagai penjaga toko, menerima jahitan sederhana, hingga membersihkan rumah eks patriat di kawasan Menteng Jakarta Pusat.

 

Sebagai anak perempuan tertua di keluarga, dirinya merasa bertanggung jawab mencari  tambahan biaya  hidup dan makan yang selama ini ditanggung Baba (Bapak) yang bermata pencaharian sebagai  buruh bangunan temporer sekaligus pekebun.

 Soal tanah dan rumah tinggal  bukan persoalan bagi Baba dan keluarga, bahkan satu kebun warisan  di pinggiran kota  atau sebuah rumah besar  yang dikontrakan kepada penyanyi top era 60-an Ade Manuhutu menjad sebuah kebanggaan. Namun kebutuhan makan yang besar di kala krisis  membuat  upah buruh dan hasil berkebun selalu tidak mencukupi kebutuhan  mereka.

Pada masa-masa  bekerja serabutan itulah Sawiyah muda  mengaku jumpa pertama suaminya.  Suatu senja di Bunderan Hotel Presiden (sekarang Plaza Indonesia).  Saat itu  dirinya pulang kerja berjalan kaki dari arah Bunderan Hotel Indonesia menuju Taman Suropati, bersama beberapa rekan seperjalanan asyik bercerita ceria. Tapi tiba-tiba ada seseorang  mencolek punggung kirinya  membuatnya reflek menengok ke kiri, tapi dilihatnya  dua teman di sebelah  masih terus bercakap tanda tidak memanggilnya.

"Mau pulang kemana Non?" tanya seorang lelaki muda secara tiba-tiba di sisi kanannya yang membuat kaget seetengah mati.

Sawiyah muda pun segera menyimpulkan kalau lelaki muda inilah yang telah mencolek punggung kirinya.  Spontan ucapan kesal atas kegenitan  lelaki muda itu  keluar dari mulutnya. Namun yang lebih menjengkelkan, orang iseng itu malah meminta berkenalan sambil mengenalkan dirinya sebagai Djoni anak masa kini. Meski dongkol dan disertai  was-was, Sawiyah muda menerima perkenalan dengan berat hati.

"Waduh, Kakek eh Engkong mudanya nakal juga ya Mak? potong penjaga makam  kian serius mendengarkan cerita sang nenek.

Perempuan tua itu mengangguk sambil tersenyum mengiyakan komentar  penjaga makam,  tapi dia mengungkapkan pertemuan seperti itu di lokasi yang sama hanya terjadi beberapa kali setelahnya mereka tak lagi berjumpa. Sampai beberapa tahun kemudian Sawiyah muda bekerja sebagai staf bagian gizi di Rumah Sakit Cpto Mangukusumo (RSCM) Jakarta Pusat.  Suatu ketika dia diperbantukan merawat  seorang ibu yang tengah mengalami depresi berat di unit layanan kejiwaan.  Telaten dan disiplin  memberi asupan gizi membuat ibu itu membaik  kebugarannya seiring  jiwanya pun mulai tentram stabil.

Tiada disangka sanak famili tunggal dari ibu yang depresi tadi ternyata adalah Djoni, lelaki muda yang suka menggodanya sepulang kerja dulu.

Sang nenek  tertawa sebentar  ketika sampai pada bagian itu,  dirinya muda telah keliru menilai Djoni sebagai pemuda  berandal yang suka mengganggu  anak perawan di jalan.  Ternyata  dia memang bernama asli Paula Djoni dengan ejaan lama dan bekerja  pada sebuah perusahaan importir mesin percetakan di Pasar Baru.  Djoni bekerja untuk  bertahan hidup bersama maminya yaitu ibu yang beberapa pekan terakhir dirawatnya di RSCM.   Djoni menjelaskan bahwa penyebab mami mengalami tekanan berat  setelah  menyadari harta bendanya habis untuk modal dagang suami keduanya. Awalnya ada toko, barang dagangan dan sedikit keuntungan diperlihatkan papi baru Djoni, namun beberapa tahun belakangan semuanya raib termasuk si papi sambung.  Belum lagi kebiasaan buruk mami menghamburkan uang juga tak terkendali. Ujungnya tiada tersisa peninggalan dari papi Djoni, sebaliknya mereka harus tinggal  di kontrakan kecil di pemukiman padat nan kumuh dekat Pasar Jatinegara (Mester).

Sejak pertemuan di ruang perawatan mami itulah Sawiyah dan Djoni muda  kian sering berjumpa hingga semakin  melekat perasaan keduanya.  Sejalan itu  kondisi mami membaik  sementara pendapatan dan posisi Djoni di perusahaan membaik sehingga  ibu dan anak semata wayangnya  itu dapat menempati rumah sewa yang lebih baik bangunan maupun lingkungannya.  Semenjak itu pula  hubungan dua sejoli memasuki masa serius dengan  terlaksananya pernikahan  sang perawat dengan putra pasiennya.

Kedua bola mata perempuan tua itu semakin jelas berkaca-kaca,  menerawang  kepada pesta pernikahan di awal tahun 1970-an  yang begitu meriah dan membahagiakan.  Air mata perempuan tua itu tak terbendung lagi untuk mengalir di kedua pipinya manakala tergambar jelas dalam ingatan  

"Mak,  minggir dulu yo. Panasnya mulai nyengat  buanget," ajak si penjaga makam sambil menunjuk sebuah lapak beratap terpal  di seberang jalan.

Keduanya segera bergegas menuju lapak yang menyediakan aneka bunga dan kembang, juga air beraroma mawar  yang biasa digunakan dalam prosesi berdoa para peziarah. Seorang lelaki tua penjual kembang seakan sudah mengetahui maksud keduanya. Dia segera menyodorkan kursi plastik yang diduduki, lalu  ditariknya sebuah kursi kayu yang ukurannya lebih pendek.  Setelah si penjaga makam duduk nyaman, si penjual kembang pamit menitipkan barang dagangannya karena hendak menunaikan hajat.

Selanjutnya sang perempuan tua kembali  menuturkan kisah-kisah penuh kenangannya dengan almarhum suaminya.  Namun sesekali sang nenek tertawa geli sambil menutupi mulutnya dengan jari-jemarinya yang kurus dan berkerut, karena merasa terlalu asyik bercerita kepada anak muda yang belum lama dikenalnya itu.

"Wah, almarhum Engkong itu bukan cuma gigih buat Mak, tapi juga ulet cari nafkah buat keluarga ya," komentar penjaga makam menanggapi  kerja keras  suami sang nenek sebagai pekerja kantoran di siang hari dan sebagai pengojek di malam hari.

Sang nenek kian antusias bercerita lantaran respon yang menggembirakan dari lawan bicaranya. Begitu juga pada diri penjaga makam muncul kekaguman demi kekaguman atas perjuangan hidup dari penghuni kubur yang kerap dibersihkan makamnya.

"Waduh Mak. Kalau kata belum masuk waktu dzuhur, Kita lanjutin terus nih Mak," ujar penjaga makam manakala sayup-sayup terlantun ayat-ayat suci al Qur'an terdengar dari kejauhan.

Maka berkali-kali sang nenek meminta maaf sekaligus berterima kasih kepada anak muda yang sudah mau mendengarkan ceritanya. Setelah pamit pulang, sang nenek meninggalkan lokasi pemakaman dengan gembira.

Pertemuan tersebut.  Hari demi hari, pekan demi pekan hingga bulan demi bulan, si penjaga makam belum lagi menjumpai perempuan tua yang dipanggilnya Mak. Dirinya bukan risau atas uang jasa membersihkan makam yang biasa diberikan sang nenek walau tak rutin. Namun dirinya  sangat senang serta penasaran dengan cerita-cerita sang nenek yang penuh nilai kehidupan.

Hingga suatu hari di akhir Desember 2022,  dijumpainya batu nisan atas nama Paula Djoni yang dikenalnya sebagai almarhum engkong sudah tercabut dari tempatnya.  Gundukan tanah merah basah  pertanda sebuah makam baru sudah dibuat  menimbun makam lama. Dirinya jadi bertanya-tanya mengapa makam itu yang harus dibongkar tumpuk, karena seingatnya sang nenek tidak pernah terlambat bayar  sewa tanah makam, lagipula harus ada izin dari ahli waris jika terjadi pembongkaran makam.

Maka disapanya sepasang suami istri yang tengah berdoa di sisi pusara.  Keduanya menjelaskan kepada si penjaga makam bahwa jenazah yang dikuburkan kemarin petang adalah istri dari penghuni kubur sebelumnya.  Atas izin pengelola makam dan keinginan semua ahli waris maka dilakukanlah pemakaman tumpuk atau tindih.

"Masya  Allah! Mak sama Engkong betul-betul cinta sejati ya. Mahabbah, mahabbah, maha suci cinta. Inalillahi wa ina Illaihi rodjiun," ucap si petugas kebersihan makam sambil menengadahkan kedua tangannya ke langit.

Sepasang suami istri yang merupakan anak menantu dari sang nenek  mengucapkan terima kasih atas segala perhatian dan bantuan penjaga makam kepada kedua orangtua yang telah menyatu pada satu liang kubur.

"Kalau boleh nambahin Bang.  Beberapa bulan sebelumnya, persis  di hari kelahiran Mak, saya dihadirkan mimpi  persiapan pesta ulang tahun yang dirancang engkong. Saat itu engkong mengajak  saya, istri dan anak-anak masuk ruangan gelap secara diam-diam.  Tapi di ruang gelap itu sudah banyak  teman dan kerabat Papah Mamah, yang sebagian juga sudah wafat. Sepertinya Engkong mau buat surprise buat Mak," ujar anak sang nenek.

Lelaki muda penjaga makam itu mengangguk-angguk pelan mencoba memahami  dan memaknai cerita tersebut.

"Masya Allah.  Nah ini takwil mimpi Ente tadi.  Artinya Ibu Bapak situ memang benar-benar saling cinte sehidup semati. Mahabbah, mahabbah, maha suci cinta. Alhamdulillah!" ***

Cimahi, 18 Jummadil Akhir 1445H / 31 Desember 2023M

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun