Mohon tunggu...
Ariya Hadi Paula
Ariya Hadi Paula Mohon Tunggu... Penulis - Penulis adalah Fiksionis, jurnalis independen dan kolomnis sosial humaniora.

Alumni IISIP Jakarta, pernah bekerja di Tabloid Paron, Power, Gossip majalah sportif dan PT Virgo Putra Film sebagai desainer grafis dan artistik serta menjadi jurnalis untuk Harian Dialog, Tabloid Jihad dan majalah Birokrasi. Saat ini aktif sebagai Koordinator masyarakat peduli dakwah & peradaban (MPDP) Al Madania dan pengurus Yayasan Cahaya Kuntum Bangsa (YCKB).

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mahabbah

31 Desember 2023   15:04 Diperbarui: 31 Desember 2023   15:09 134
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sejak pertemuan di ruang perawatan mami itulah Sawiyah dan Djoni muda  kian sering berjumpa hingga semakin  melekat perasaan keduanya.  Sejalan itu  kondisi mami membaik  sementara pendapatan dan posisi Djoni di perusahaan membaik sehingga  ibu dan anak semata wayangnya  itu dapat menempati rumah sewa yang lebih baik bangunan maupun lingkungannya.  Semenjak itu pula  hubungan dua sejoli memasuki masa serius dengan  terlaksananya pernikahan  sang perawat dengan putra pasiennya.

Kedua bola mata perempuan tua itu semakin jelas berkaca-kaca,  menerawang  kepada pesta pernikahan di awal tahun 1970-an  yang begitu meriah dan membahagiakan.  Air mata perempuan tua itu tak terbendung lagi untuk mengalir di kedua pipinya manakala tergambar jelas dalam ingatan  

"Mak,  minggir dulu yo. Panasnya mulai nyengat  buanget," ajak si penjaga makam sambil menunjuk sebuah lapak beratap terpal  di seberang jalan.

 

 

Keduanya segera bergegas menuju lapak yang menyediakan aneka bunga dan kembang, juga air beraroma mawar  yang biasa digunakan dalam prosesi berdoa para peziarah. Seorang lelaki tua penjual kembang seakan sudah mengetahui maksud keduanya. Dia segera menyodorkan kursi plastik yang diduduki, lalu  ditariknya sebuah kursi kayu yang ukurannya lebih pendek.  Setelah si penjaga makam duduk nyaman, si penjual kembang pamit menitipkan barang dagangannya karena hendak menunaikan hajat.

Selanjutnya sang perempuan tua kembali  menuturkan kisah-kisah penuh kenangannya dengan almarhum suaminya.  Namun sesekali sang nenek tertawa geli sambil menutupi mulutnya dengan jari-jemarinya yang kurus dan berkerut, karena merasa terlalu asyik bercerita kepada anak muda yang belum lama dikenalnya itu.

"Wah, almarhum Engkong itu bukan cuma gigih buat Mak, tapi juga ulet cari nafkah buat keluarga ya," komentar penjaga makam menanggapi  kerja keras  suami sang nenek sebagai pekerja kantoran di siang hari dan sebagai pengojek di malam hari.

Sang nenek kian antusias bercerita lantaran respon yang menggembirakan dari lawan bicaranya. Begitu juga pada diri penjaga makam muncul kekaguman demi kekaguman atas perjuangan hidup dari penghuni kubur yang kerap dibersihkan makamnya.

"Waduh Mak. Kalau kata belum masuk waktu dzuhur, Kita lanjutin terus nih Mak," ujar penjaga makam manakala sayup-sayup terlantun ayat-ayat suci al Qur'an terdengar dari kejauhan.

Maka berkali-kali sang nenek meminta maaf sekaligus berterima kasih kepada anak muda yang sudah mau mendengarkan ceritanya. Setelah pamit pulang, sang nenek meninggalkan lokasi pemakaman dengan gembira.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun