Penjara Rindu Maratua
By AriyaSkylover
Langit di atas Maratua tampak cerah dihiasi awan-awan tipis yang bergerak pelan.  Angin pagi bertiup lembut meneduhkan setiap mahluk yang bertebaran di sepanjang pesisir pulau kecil di seberang Borneo.  Riak ombak terdengar pelan karena matahari pagi baru saja beranjak menuju puncaknya,  membuat  laut dalam membiru tenang.
Berpijak di ujung dermaga yang dibangun dari kayu besi, tampak seorang remaja perempuan berkerudung  menantang lautan luas dimana nun di seberangnya terlihat seonggok lempengan hitam tipis mengapung di atas permukaan. Gadis berparas jelita itu nanar menatap onggokan nan jauh yang tiada lain adalah pulau Borneo atau kadang disebut juga sebagai Kalimantan oleh para pendatang dari Tanah Jawa.
Pemandangan alam  mempesona, langit cerah ditingkahi hembusan lembut angin laut, nyatanya  belum mampu menghadirkan suasana ceria di relung hati dara gadis jelita. Sebaliknya air mata kesedihan malah meleleh melintasi kedua pipinya yang  putih bening. Tatapan matanya sendu menerawang.
"Beranikanlah diri Kau Noor.  Semua orang sudah carikan tempat yang baik dan aman buat Kau,"  tergiang ucapan ayahanda dari dara jelita itu ketika  melepas keberangkatannya menuju Pulau Maratua.
Masih tergambar jelas dalam pandangannya, ayah bersama beberapa  pendekar istana  mengantarnya  melalui jalur darat dari Kerajaan Sarawak menuju dermaga Berau.  Mereka hanya mengantar sampai situ karena harus segera kembali ke Tanah Melayu  yang  meghadapi penjajahan bangsa Inggris.  Selanjutnya perjalanan laut menyeberang ke Pulau Maratua ditemani oleh sang pakcik (paman) yang juga petarung silat handal di Sarawak.
Penyerbuan tentara kerajaan Inggris dan sekutu telah membuat ayahanda raja khawatir atas keselamatan  anak perempuan satu-satunya.  Ayahanda telah mendengar kabar bila didapati raja atau sultan yang menolak bergabung sebagai jajahan koloni Britania Raya, maka negeri dan penduduknya akan diluluh-lantakan. Sementara ayahanda bersama para datuk telah sepakat  untuk mempertahankan tanah Melayu sebagai negeri mahardhika. Kegentingan di istana telah mengirim dara jelita itu ke Maratua.
"Kau dah lebih aman di sini.  Ayahanda dan ibunda Kau pun akan merasa tentram juga di sana, ujar Pakcik  ketika  perahu dayung  yang membawa mereka dari Berau merapat di ujung dermaga Maratua.
Saat itu Pakcik menasihati dirinya supaya menguatkan hati dan belajar menjadi pemberani di tempat tinggal yang baru. Karena meski Pakcik akan sering mengunjungi dan dirinya ditemani seorang Mamak Inang,  pada kesehariaannya  akan lebih banyak mengurus dirinya sendiri.  Pakcik hanya akan membawakan bahan pangan dan sandang beberapa  pekan rutin, sementara Mamak Inang hanya memasak seadanya sambil sesekali benahi rumah tinggal. Sementara sisanya seperti mencuci pakaian, mencari ranting sampai menyalakan pelita (lampu minyak kecil) harus dilakukan sendiri olehnya.
Sayup-sayup gemuruh  yang berasal dari sekumpulan awan gelap tipis telah membuyarkan lamunannya.  Beberapa awan mendung di kejauhan seakan berlomba melayang ke arah pulau tempat sang dara berdiri.  Suasana pagi jelang siang yang tadi cerah dan panas terik, kini perlahan redup dan hangat. Begitu pun riak ombak yang menuju pantai mulai menunjukkan gelombang meninggi, kacau dan cepat.
Terumbu karang nan indah dan berbagai hewan bawah air yang tadinya nampak jelas dan ramai, mendadak sukar dipandang karena laut mulai keruh.  Laut dangkal yang mengelilingi Maratua terus bergejolak sedikit demi sedikit. Namun cuaca hangat dan  langit mendung malah membawa remaja perempuan itu kembali pada lamunan.
"Kami nak sayang sekali pada Kau anakku.  Tapi diri dan masa depan Kau jauh lebih penting  bagi kerajaan ini,"  begitu jawab sang Ibunda sambil  menyisir rambut panjang Noor sesaat sebelum berangkat dari tanah Sarawak.
Melalui cermin besar dihadapan kedua  perempuan itu,  sang dara dapat melihat pandangan sayu berkaca-kaca sosok  perempuan yang telah melahirkannya. Remaja bernama lengkap Siti Noorhafizah itu dapat merasakan kekhawatiran ibunda  melepas dirinya dihijrahkan ke Maratua, sebuah pulau  kecil  di ujung Pulau Borneo.  Namun dirinya juga merasakan ketakutan yang lebih besar  telah memaksa sang ibunda meneguhkan hati  mengirimkan putri semata wayangnya dari jamahan tentara kolonial  yang keji serta sembarang menumpahkan birahi.
Ketika ditanya akankah mereka bersua kembali, sang ibunda hanya melepas nafas panjang yang di susul rapalan doa pada Illahi.  Kemudian kedua  insan saling berpelukan erat menanamkan rindu supaya selalu merasa dekat di hari kemudian.
Rintik gerimis  nan halus perlahan membasahi  kening dan pipi sang dara.  Dia pun terjaga dari lamunannya,  awan mendung terus bergerak ke arahnya.  Riak gelombang semakin kacau, antara yang bergerak menuju pantai dengan yang hendak kembali ke tengah laut saling bertubrukan.
Dilihatnya  air laut di bawah dermaga kayu tempatnya berdiri. Tampak dasarnya semakin keruh  dan tiada lagi hewan air terlihat.  Namun suasana peralihan cuaca itu bukannya menakutkan bagi Noor, malah kembali membawanya kembali pada lamunan.
"Kau tak perlu risau Dinda, apalagi sampai merasa kehilangan cinta. Â Bukan kah Kita berjuang ini untuk mengamankan masa depan cinta Kau dan Aku jua Dinda?" tanya seorang perjaka tampan kepadanya sesaat sebelum berangkat bersama rombongan ayahanda. Diingatnya pertemuan terakhir dengan calon suaminya itu terjadi di bawah mendung dan gerimis menerpa.
Perjaka gagah usia duapuluhan itu adalah  salah satu  pemimpin hulubalang astana.  Perilakunya berbudi dan amat menghargai perempuan, ucapannya selalu santun serta kerap  memuji  menaikkan rasa lawan bicaranya ke awang-awang.  Sosoknya begitu menarik simpati siapapun yang mengenalnya, maka  pantas apabila ibunda merekomendasikan perjaka itu supaya diangkat sebagai anak menantu.
Mulanya Noor engggan dijodohkan  dengan seorang hulubalang yang menurutnya kasar,  sok kuasa serta senang bertarung.  Namun setelah dipertemukan dan kerap bercakap  di kala ada perayaan atau syukuran di astana, maka pandangan Noor pada hulubalang bernama Abdul Malik berubah seketika. "Bila Aku dapat mempersunting  dirimu Dinda,  akan Aku buatkan sebuah perahu layar besar lalu Kita tinggal bersama di dalamnya untuk mengarungi samudera," ujar Malik besemangat sambil menggerak-gerakan kedua tangannya mengilustrasikan sebuah kapal layar besar di udara.  Impian sang hulubalang itu membuat senang perasaan Noor, apalagi  ketika Malik bilang  nantinya kapal layar itu hanya dihuni mereka berdua serta tujuh orang anak yang akan meramaikan pelayaran mereka mengelilingi samudera.
Seketika rasa rindu menyengat,  menghadirkan hasrat untuk menjumpai orang-orang terkasih.  Terutama sekali  ucapan ucapan Malik yang kadang terdengar  lugas dan kadang seperti tak berpijak di bumi.  Sungguh pun begitu sang jejaka tampil berlebihan, namun kenyataannya  seorang putri  pembesar astana sarawak  telah jatuh cinta kepada seorang hulubalang. Tak terasa sepasang bola mata bening yang tadi cuma berkaca-kaca, kini menumpahkan butiran air kerinduan.
Awan mendung pun sudah berada tepat di atas Pulau Maratua,  ujung-ujung gelombang  laut pun sudah menjangkau lantai dermaga.  Air hujan pun tumpah dengan deras membasahi seluruh permukaan bumi,  begitu juga dengan air mata  Siti Noorhafizah mengalir deras bercampur air dari langit.  Arah gelombang yang kian kacau, dasar laut yang kian menghitam karena hamburan pasir, serta tiupan angin yang makin dahsyat  jadi pertanda badai menjelang. Badai rindu  melanda Maratua, membuat karam impian seorang insan.
Puan! Puan! Puan Noor, ayo lekas pulang. Badai dah datang! Teriak seorang perempuan tua sambil berlari-lari kecil  menuju ke arahnya.
Sesampainya dekat sang dara yang sudah basah kuyup, perempuan tua itu segera  mengampit lengan Siti Noorhafiza dan meletakan sebuah tampah lebar di atas kepala keduanya. Tampah dari anyaman bambu biasanya untuk menampih padi, memisahkan gabah dari beras. Namun  hari ini perangkat kerja sang Mamak Inang di dapur difungsikan  menaungi majikannya dari terpaan hujan. Di bawah amukan badai dan langit gelap meski di siang hari, kedua perempuan itu berjalan pelan tertatih menuju tempat tinggal mereka yang agak jauh dari pantai. Pakaian kedua perempuan itu sudah  basah semua,  tampah di atas kepala mereka tak banyak membantu lantaran angin  mengacaukan terpaan air hujan ke segala arah.  Keduanya berupaya mempercepat langkah manakala jarak pandang semakin memendek oleh  awan gelap.
Beruntung! Sebelum cuaca makin memburuk,  mereka sudah  tiba di sebuah rumah panggung yang kokoh. Mamak Inang segera menyalakan pelita kecil yang biasa diletakkan di sudut ruang, sementara Siti Noorhafiza lekas berganti pakaian.
"Puan Noor, tadi pagi Mamak jumpa  kawan Pakcik di pasar, ucap Mamak Inang sambil menyuguhkan  sepiring nasi dan tiga potong ikan bakar.
Sesungguhnya Noor telah merasa lapar setelah berberapa lama melamun di dermaga  serta  serangan hawa dingin. Namun dirinya urung menyentuh  makananan  di atas meja jati.  Sebaliknya Noor  malah menyodorkan jatah makan siangnya kepada Mamak, lalu meminta perempuan tua itu melanjutkan ucapannya.
"Begini Puanku Katanya, Pakcik bersama para pendekar silat  dari Kampung Berau sudah berangkat menuju Kerajaan Sarawak.," lanjutnya sambil balik menyodorkan piring kepada majikannya. Mamak memberi isyarat jikalau dirinya sudah makan sebelumnya serta merasa tak layat menyantap sesuatu di depan sang dipertuan.
Kabarnya para datuk dan ulama dari Negeri Santubong juga kerajaan Sarawak, telah memberi maklumat supaya menghentikan perlawanan dengan tetara Inggris. Â Mereka nak coba damai dan sepakat ibu kota dipindah ke Kuching. Tapi tak semua orang mau ikut maklumat tersebut, cerita Mamak.
"Jadi Puanku, karenanya  suasana kian kacau maka semua anak negeri yang merantau  diminta kembali untuk memutuskan serah kekuasaan. Karenanya Pakcik  tidak akan Kita jumpai lagi esok. Cuma anak asuhnya yang antar bekal ke sini,"  tuturnya mengakhiri.
Bola mata Noor kembali berkaca-kaca  membayangkan apa yang akan terjadi kemudian. Sementara badai di luar belum juga reda, malah makin  marah seiring perasaan Noor yang kian gundah. Telah tergambar di pikirannya, dirinya harus lebih lama lagi tinggal di penjara rindu maratua.
Menara Mualifa Jakarta, 13 Jumadil Awal 1445H / 26 November 2023M
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H