Mohon tunggu...
Ariya Hadi Paula
Ariya Hadi Paula Mohon Tunggu... Penulis - Fiksionis, jurnalis independen dan kolomnis sosial humaniora

Ariya hadi paula adalah Alumni IISIP Jakarta. Pernah bekerja sebagai desainer grafis (artistik) di Tabloid Paron, Power, Gossip, majalah sportif dan PT Virgo Putra Film .Jurnalis Harian Dialog, Tabloid Jihad dan majalah Birokrasi. Penikmat berat radio siaran teresterial, menyukai pengamatan atas langit, bintang, tata surya dan astronomi hingga bergabung dengan Himpunan Astronom Amatir Jakarta (HAAJ) dan komunitas BETA UFO sebagai Skylover. Saat ini aktif sebagai pengurus Masyarakat Peduli Peradaban dan dakwah Al Madania Bogor.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Penjara Rindu Maratua

26 November 2023   23:08 Diperbarui: 5 September 2024   08:56 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terumbu karang nan indah dan berbagai hewan bawah air yang tadinya nampak jelas dan ramai, mendadak sukar dipandang karena laut mulai keruh.  Laut dangkal yang mengelilingi Maratua terus bergejolak sedikit demi sedikit. Namun cuaca hangat dan  langit mendung malah membawa remaja perempuan itu kembali pada lamunan.

"Kami nak sayang sekali pada Kau anakku.  Tapi diri dan masa depan Kau jauh lebih penting  bagi kerajaan ini,"  begitu jawab sang Ibunda sambil  menyisir rambut panjang Noor sesaat sebelum berangkat dari tanah Sarawak.

Melalui cermin besar dihadapan kedua  perempuan itu,  sang dara dapat melihat pandangan sayu berkaca-kaca sosok  perempuan yang telah melahirkannya. Remaja bernama lengkap Siti Noorhafizah itu dapat merasakan kekhawatiran ibunda  melepas dirinya dihijrahkan ke Maratua, sebuah pulau  kecil  di ujung Pulau Borneo.  Namun dirinya juga merasakan ketakutan yang lebih besar  telah memaksa sang ibunda meneguhkan hati  mengirimkan putri semata wayangnya dari jamahan tentara kolonial  yang keji serta sembarang menumpahkan birahi.

Ketika ditanya akankah mereka bersua kembali, sang ibunda hanya melepas nafas panjang yang di susul rapalan doa pada Illahi.  Kemudian kedua  insan saling berpelukan erat menanamkan rindu supaya selalu merasa dekat di hari kemudian.

Rintik gerimis  nan halus perlahan membasahi  kening dan pipi sang dara.  Dia pun terjaga dari lamunannya,  awan mendung terus bergerak ke arahnya.  Riak gelombang semakin kacau, antara yang bergerak menuju pantai dengan yang hendak kembali ke tengah laut saling bertubrukan.

Dilihatnya  air laut di bawah dermaga kayu tempatnya berdiri. Tampak dasarnya semakin keruh  dan tiada lagi hewan air terlihat.  Namun suasana peralihan cuaca itu bukannya menakutkan bagi Noor, malah kembali membawanya kembali pada lamunan.

"Kau tak perlu risau Dinda, apalagi sampai merasa kehilangan cinta.  Bukan kah Kita berjuang ini untuk mengamankan masa depan cinta Kau dan Aku jua Dinda?" tanya seorang perjaka tampan kepadanya sesaat sebelum berangkat bersama rombongan ayahanda. Diingatnya pertemuan terakhir dengan calon suaminya itu terjadi di bawah mendung dan gerimis menerpa.

Perjaka gagah usia duapuluhan itu adalah  salah satu  pemimpin hulubalang astana.  Perilakunya berbudi dan amat menghargai perempuan, ucapannya selalu santun serta kerap  memuji  menaikkan rasa lawan bicaranya ke awang-awang.  Sosoknya begitu menarik simpati siapapun yang mengenalnya, maka  pantas apabila ibunda merekomendasikan perjaka itu supaya diangkat sebagai anak menantu.

Mulanya Noor engggan dijodohkan  dengan seorang hulubalang yang menurutnya kasar,  sok kuasa serta senang bertarung.  Namun setelah dipertemukan dan kerap bercakap  di kala ada perayaan atau syukuran di astana, maka pandangan Noor pada hulubalang bernama Abdul Malik berubah seketika. "Bila Aku dapat mempersunting  dirimu Dinda,  akan Aku buatkan sebuah perahu layar besar lalu Kita tinggal bersama di dalamnya untuk mengarungi samudera," ujar Malik besemangat sambil menggerak-gerakan kedua tangannya mengilustrasikan sebuah kapal layar besar di udara.  Impian sang hulubalang itu membuat senang perasaan Noor, apalagi  ketika Malik bilang  nantinya kapal layar itu hanya dihuni mereka berdua serta tujuh orang anak yang akan meramaikan pelayaran mereka mengelilingi samudera.

Seketika rasa rindu menyengat,  menghadirkan hasrat untuk menjumpai orang-orang terkasih.  Terutama sekali  ucapan ucapan Malik yang kadang terdengar  lugas dan kadang seperti tak berpijak di bumi.  Sungguh pun begitu sang jejaka tampil berlebihan, namun kenyataannya  seorang putri  pembesar astana sarawak  telah jatuh cinta kepada seorang hulubalang. Tak terasa sepasang bola mata bening yang tadi cuma berkaca-kaca, kini menumpahkan butiran air kerinduan.

Awan mendung pun sudah berada tepat di atas Pulau Maratua,  ujung-ujung gelombang  laut pun sudah menjangkau lantai dermaga.  Air hujan pun tumpah dengan deras membasahi seluruh permukaan bumi,  begitu juga dengan air mata  Siti Noorhafizah mengalir deras bercampur air dari langit.  Arah gelombang yang kian kacau, dasar laut yang kian menghitam karena hamburan pasir, serta tiupan angin yang makin dahsyat  jadi pertanda badai menjelang. Badai rindu  melanda Maratua, membuat karam impian seorang insan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun