Mohon tunggu...
Ariya Hadi Paula
Ariya Hadi Paula Mohon Tunggu... Penulis - Fiksionis, jurnalis independen dan kolomnis sosial humaniora

Ariya hadi paula adalah Alumni IISIP Jakarta. Pernah bekerja sebagai desainer grafis (artistik) di Tabloid Paron, Power, Gossip, majalah sportif dan PT Virgo Putra Film .Jurnalis Harian Dialog, Tabloid Jihad dan majalah Birokrasi. Penikmat berat radio siaran teresterial, menyukai pengamatan atas langit, bintang, tata surya dan astronomi hingga bergabung dengan Himpunan Astronom Amatir Jakarta (HAAJ) dan komunitas BETA UFO sebagai Skylover. Saat ini aktif sebagai pengurus Masyarakat Peduli Peradaban dan dakwah Al Madania Bogor.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Mudik

18 Mei 2022   11:52 Diperbarui: 5 September 2024   09:32 225
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Mudik

By Ariya Skylover

Hujan rintik disertai tiupan angin dingin menerpa kawasan Bogor Raya sejak tadi siang. Langit gelap dan suasana jalan yang lenggang membuat waktu serasa telah larut malam, padahal adzan maghrib baru saja selesai berkumandang dan sisa-sisa bias mentari senja masih terlihat samar.

Sepi mencekam kian terasa setelah derik jangkrik dan denging serangga malam  muncul bergemuruh dari semak dan pohon-pohon besar di sepanjang sisi jalan.  

Begitu juga pijaran nyala aurora borealis di selatan langit membangkitkan rasa ngeri karena sulit dibedakan dengan kilatan petir yang biasanya diiringi gelegar  suara yang memekakan telinga.

Gelap, dingin dan mencekam adalah alasan kuat bagi siapapun  untuk keluar rumah  lalu memilih naik ke atas kasur dan menyelimuti diri rapat-rapat. Namun rasa malas disertai kantuk  tersebut, nyatanya tidak  mampu menyentuh jiwa seorang lelaki tua usia tujuh puluhan  yang  baru saja turun dari sebuah bus antar kota. 

Sepertinya dia turun bukan pada lokasi yang dituju.  Lelaki tua dengan ransel lusuh di pundaknya  malah berjalan melawan arah datangnya bus yang tadi ditumpanginya.

Setelah berjalan hampir seratus meter, lelaki itu masuk ke sebuah gang  yang lebarnya hanya cukup satu unit mobil jenis minibus.

Kondisi jalannya menurun dengan aspal  yang sebagian rusak.  Lubang-lubang kecil maupun sedang  menciptakan genangan di sepanjang jalan sementara gompalan semen dan kerikil menjadi penghambat  perjalanan  pejalan kaki.

"Astagfirullah al adziim," ucap lelaki tua itu manakala berkelebat seekor ular sungai di hadapannnya.

Jalan menurun yang dilaluinya memang berujung pada sebuah sebuah sungai kecil   sehingga sangat mungkin hewan-hewan penghuninya naik ke darat. Semak belukar dan rerimbunan pohon bambu  yang tumbuh liar di kiri kanan jalan adalah rumah bagi reptil dan serangga yang kian sulit ditemui di zaman sekarang.

Kejadian mengagetkan itu tidak menghalangi langkahnya, sebaliknya mengingatkan dia untuk menyalakan  cahaya penerang dari smartphone miliknya. 

Sebentar lagi dia segera melewati jembatan yang di bawahnya mengalir deras air sungai  sumber irigasi pertanian warga desa.

Lelaki tua itu meningkatkan kewaspadaannya saat melintas sedang mulutnya komat-kamit berzikir meminta pertolongan dari Allah Yang Maha Kuasa. Setelah tadi melalui jalan menurun, menyebrangi jembatan,  kini lelaki tua itu berjalan mendaki.  

Maka ransel di punggungnya pun terasa kian berat sebagai dampak gravitasi bumi yang coba ditentangnya. Tubuhnya yang sudah tampak membungkuk karena usia, kini benar-benar bungkuk karena keberatan beban.

"Kok bisa zaman modern begini aspalnya rusak, lampu jalan tak ada mana seperti di hutan lagi," keluhnya dalam hati.

Semakin menanjak, semakin berat  kakinya melangkah. Turunan tajam dan tanjakkan curam yang dilalui membuat keringat mengalir deras membasahi tubuhnya, namun kegelapan malam dan ancaman serangan serangga membuatnya tetap bertahan mengenakan jaket tebalnya.

Beberapa saat kemudian ia sampai di ujung tanjakan.  Ditariknya nafas dalam-dalam ketika berhenti sebentar di  jalan yang melandai.  Tampak olehnya beberapa rumah penduduk yang gelap gulita tanpa penerangan. Sepengetahuannya, Desa Cibolang sudah dialiri listrik oleh Perusahaan Listrik Negara (PLN), apalagi terdapat beberapa pondok pesantren dan sekolah.  

Maka mengherankan baginya  jika ada daerah di kawasan wisata dan pemukiman yang gelap dan temaram seperti ini.

Pertanyaan  soal  penerangan di kampung itu memang selalu muncul setiap  kali mudik jelang Iedul Fitri. tiga tahun yang lalu  situasinya serupa dengan sekarang, gelap, sunyi dan mencekam.  Malah pepohonan dan belukar yang ditemuinya sekarang lebih lebat dari tahun tahun sebelumnya.

"Oh bisa jadi karena ada penangkaran ular dekat jembatan tadi ya?" tanya lelaki tua itu dalam hati.

Setelah beberapa tarikan nafas, dia hendak melanjutkan perjalanan.  Namun di ujung jalan yang akan dilaluinya tampak dua berkas cahaya mengarah pada tubuhnya.  Kedua cahaya yang menerpa ternyata berasal dari dua remaja usia belasan berjaket tebal dan berkopiah hitam.

"Assalamu'alaikum. Permisi, Aki teh mau kemana malam-malam begini?" tanya salah satu remaja sambil menyorotkan senter pada wajah si lelaki tua.

"Aduh! Sakit ah mata Saya.  Turunkan dulu ah,"

Sungut lelaki tua yang dipanggil sebagai aki atau kakek dalam bahasa Sunda.

"Kalian pasti dari pesantren ya?" Tanya sang kakek setelah keduanya meminta maaf.

"Betul Ki, malam ini giliran kami ronda dan  bangunkan warga untuk sahur,"  jelas remaja yang tadi menyorotkan senter pada wajahnya.

"Punten, Aki sendiri mau kamana?" tanya remaja satunya lagi.

"Saya mau ketemu anak sama cucu. Sudah dua tahun Saya tak mudik, susah  gara-gara Covid. Banyak aturannya!" sungutnya lagi.

"Saya pilih pulang hari ini supaya  tak berlama-lama di perjalanan.  Eh tak tahunya  macet di tol. Padahal lebaran masih seminggu lagi," cerocos lelaki tua itu menumpahkan segenap kegundahan hatinya. Sementara kedua remaja yang  merupakan santri  pondok pesantren, hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala mendengarkan keluhan sang kakek.

"Eh, Saya bingung sama kampung ini. Bukannya PLN sudah masuk sini? Tapi kok setiap mudik malam hari ini kampung gelap terus," sungut lelaki tua itu lagi  ketika mengetahui senter salah seorang santri kian meredup lalu mati.

"Ya begitulah Ki, kampung ini teh memang sering kena pemadaman. Sekali lagi punten, Aki  mau ke rumah siapa?" ujar santri  yang senternya padam.

"Anak Saya Erdha dan cucu Saya namanya Erdhin dan umurnya sebaya kalian," jawab lelaki tua itu senang dan bangga.

"Punten, jadi Aki ini  kakeknya Erdhin yang asal Padang itu?" tanya santri yang sama.

Maka yang ditanya  mengangguk sambil tersenyum senang, sebaliknya kedua santri saling berpandang-pandangan seolah mendiskusikan sesuatu.

Lalu tanpa mengucapkan sepatah kata,  santri yang senternya padam segera mengambil alih  ransel di punggung si lelaki  tua.  Kemudian ketiganya segera beranjak dari situ. Santri yang memegang senter berjalan paling depan laksana penunjuk jalan.

"Eh, Kalian kenal cucu Saya?" tanya sang lelaki tua di tengah perjalanan karena merasa aneh atas perlakuan istimewa yang tiba-tiba saja diberikan kepadanya. Kedua santri yang ditanya hanya membisu dan terus menatap ke jalan  yang dilalui.

"Atau kenal anak Saya?" tanya lelaki itu lagi berharap jawaban.

"Sangat kenal Kek. Uni Erdha sangat baik kepada Kami Kek.  Sering sekali teh anak-anak pondok diberikan makanan dan buah-buahan.  Padahal kan, Uni Erdha bekerja sendirian  karena ayahnya Erdhin kan sudah tidak ada ya," jawab santri yang membawa ranselnya sambil terus menatap ke depan.

Setelah berjalan lebih dari 200 meter, menanjak dan berbelok di antara pohon besar dan gelap maka sampailah mereka  di depan gerbang sebuah pondok pesantren.  Dua buah bangunan sederhana beratap genting dari tanah liat tampak mengapit sebuah masjid.  Dua gedung itu adalah tempat para santri belajar sedangkan sebuah rumah besar yang agak jauh di belakang masjid adalah asrama santri pondok pesantren khusus remaja pria.

Hei Nak,  kalian kok ke situ? Rumah anak cucu saya di samping pesantren sana," tegur sang lelaki tua ketika kedua santri memasuki kompleks pondok pesantren.

Tidak ada yang menjawab teguran tersebut, keduanya terus melangkah masuk area pondok sehingga si kakek terpaksa mengikuti.  Tepat di depan masjid, kedua santri meletakan ransel dan barang bawaan lainnya di dekat pintu masuk. Seorang diantaranya bergegas ke tempat wudhu, mencuci kaki lalu masuk ke dalam masjid. Sementara si kakek hanya tertegun menyaksikan nya.

"Alhamdulillah," ujar beberapa orang dari dalam masjid ketika lampu-lampu ruangan dan teras masjid menyala.  Listrik kembali mengalir persis sewaktu  santri yang sudah mencuci kaki masuk masjid.  Dengan terangnya ruangan maka si kakek dapat mengetahui bahwa di dalam masjid terdapat banyak santri lainnya. Dia menyimpulkan pastilah mereka tengah melaksanakan i'tikaf atau bermalam untuk beribadah di masjid.

Selanjutnya  keluar seorang remaja yang dirasa pernah dikenalnya.  Remaja itu menuju padanya sambil terus tersenyum, sementara kedua santri  sebelumnya mengikuti di belakang. Setelah semakin dekat, remaja itu mengucapkan salam sambil meraih tangan kanan sang lelaki tua untuk diciumnya dengan penuh penghormatan.

"Kakek, katanya lirih sambil memeluk si lelaki tua yang masih bingung atas apa yang sedang terjadi.

"Ah, Kamu Erdhin?" tanya si kakek menerka.

Remaja itu melepas pelukannya lalu mengangguk pelan mengiyakan. Giliran kakek itu yang memeluk remaja yang ternyata cucunya.  Diungkapkannya rasa syukur dan bangga karena cucunya semata wayang telah juga menjadi santri di pondok pesantren.

"Bagaimana kabar Mamakmu Nak?" tanya Kakek.

Erdhin tidak menjawab malah menuju kedua santri tadi untuk megucapkan terima kasih lalu mengambil alih ransel kakeknya. Setelah menyampaikan pesan sesuatu, Erdhin segera mengajak sang kakek meninggalkan pondok dan menuju rumah tinggal dia dan ibunya di samping kompleks pesantren.

Dalam perjalanan yang sebentar  itu, tidak ada sepatah kata pun keluar dari keduanya.   Erdhin membuka pintu rumah yang tak terkunci.  Kemudian menggelar sebuah karpet yang sebelumnya tergulung di pojok ruangan.  Tidak ada bangku dan meja di dalam rumah kecil  ukuran tiga kali delapan meter tersebut, begitu juga tak ada radio, pesawat televisi maupun barang elektronik lainnya.  Tanpa dipersilahkan, Kakek segera merebahkan tubuhnya di atas karpet karena merasa lelah dan kantuk yang mulai menyerang.

Erdhin segera memasak air panas dengan kompor gas satu tungku yang tampaknya harta satu-satunya yang terdapat di rumah itu.  Lalu dibuatlah segelas teh tanpa gula untuk disuguhkan kepada sang kakek.  Namun belum sampai gelas disuguhkan, tiba-tiba sang kakek bangun dari rebahnya  penuh semangat.

"Erdhin! Mamakmu mana?" tanya kakek

Yang ditanya segera duduk bersila di hadapan sang kakek. Erdhin tak langsung menjawab pertanyaan itu tapi malah memandang tajam lelaki tua itu dengan mata berkaca-kaca.  Menerima tatapan  bersirat kepedihan membuat keheranan mulai menyelimuti perasaan kakek.

"Mamak meninggal Kek, sehabis lebaran tahun lalu Kek," ujar Erdhin pelan memberanikan diri menjawab.

Kakek tertegun tanpa ekspresi menunjukkan dia tak dapat menerima dan memahami pernyataan cucuya.  Namun sebentar kemudian air mata meleleh di atas kedua pipinya.

Mamak sakit mendadak. Kami tak punya uang untuk berobat karena payah berjualan sewaktu corona. Barang di rumah sudah habis terjual, termasuk handphone sehingga Erdhin tak dapat hubungi Kakek sampai mamak meninggal," jelas remaja itu sambil meneguhkan hati.

Kakek tertunduk lesu dan mulai menangis terisak-isak menyesali  kealpaannya mudik lebaran tahun lalu.  Dia berpikir seandainya waktu itu dipaksakan pulang kampung dan menghiraukan  peraturan  pelarangan mudik,  barangkali dia bisa menjumpai anak perempuan semata wayangnya. Tapi kemudian pikiran itu leas ditariknya kembali, tak pantas menyalahkan siapapun atas takdir dari Allah SWT.

Udara diluar semakin dingin dan hujan rintik mulai berubah jadi deras. Lampu kembali padam dan kegelapan pun menyelimuti kedua orang dalam rumah kecil yang telah kehilangan cahaya induknya. Sedih dan sabar meneguhkan hati keduanya untuk melanjutkan sisa masa.

Cibolang, 3 Syawal 1443H/4 Mei 2022M

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun