"Assalamu'alaikum. Permisi, Aki teh mau kemana malam-malam begini?" tanya salah satu remaja sambil menyorotkan senter pada wajah si lelaki tua.
"Aduh! Sakit ah mata Saya. Â Turunkan dulu ah,"
Sungut lelaki tua yang dipanggil sebagai aki atau kakek dalam bahasa Sunda.
"Kalian pasti dari pesantren ya?" Tanya sang kakek setelah keduanya meminta maaf.
"Betul Ki, malam ini giliran kami ronda dan  bangunkan warga untuk sahur,"  jelas remaja yang tadi menyorotkan senter pada wajahnya.
"Punten, Aki sendiri mau kamana?" tanya remaja satunya lagi.
"Saya mau ketemu anak sama cucu. Sudah dua tahun Saya tak mudik, susah  gara-gara Covid. Banyak aturannya!" sungutnya lagi.
"Saya pilih pulang hari ini supaya  tak berlama-lama di perjalanan.  Eh tak tahunya  macet di tol. Padahal lebaran masih seminggu lagi," cerocos lelaki tua itu menumpahkan segenap kegundahan hatinya. Sementara kedua remaja yang  merupakan santri  pondok pesantren, hanya dapat mengangguk-anggukkan kepala mendengarkan keluhan sang kakek.
"Eh, Saya bingung sama kampung ini. Bukannya PLN sudah masuk sini? Tapi kok setiap mudik malam hari ini kampung gelap terus," sungut lelaki tua itu lagi  ketika mengetahui senter salah seorang santri kian meredup lalu mati.
"Ya begitulah Ki, kampung ini teh memang sering kena pemadaman. Sekali lagi punten, Aki  mau ke rumah siapa?" ujar santri  yang senternya padam.
"Anak Saya Erdha dan cucu Saya namanya Erdhin dan umurnya sebaya kalian," jawab lelaki tua itu senang dan bangga.