IMPIAN LITA
Suara gemuruh kembali terdengar menggelegar. Gempa vulkanik kembli mengguncang bumi, pertanda merapi kembali memuntahkan material-material panas di dalam perutnya. Wedhus gembel dengan ganasnya keluar dari sarangnya, mencari dan mengejar korbannya membabibuta. Merapi kali ini lebih ganas dari sebelum-sebelumnya. Hal ini dirasakan oleh para pengungsi di Posko desa Kepuhrejo. Mereka yang memang sudah trauma berlari kalang kabut mencari perlindungan diri. Bingung hendak ke mana. Tapi ada pula yang berdiam menunggu instruksi. Mereka panik luar biasa. Setiap wajah terlihat sangat pias.
Tapi tidak untuk seseorang yang di pojok sana. Ia dengan inosennya tertawa senang sambil mengunyah nikmat sebuah coklat stik, chocolatos. Dia sama sekali tak menghiraukan kepekikan warga yang khawatir akan keganasan semburan wedhus gembel. Baginya, sebuah coklat adalah segalanya. Bahkan ia pun juga lupa, kini ia tak lagi mempunyai siapa-siapa selain bibi dan pamannya. Ayah dan ibunya serta seorang kakaknya telah menjadi korban keganasan merapi beberapa hari yang lalu. Dia Lita, gadis imut nan lugu yang baru berusia lima tahun. Ia belum terlalu mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Yang ia tahu hanya sedih, takut, dan kenikmatan sebuah coklat. Apalagi tentang wedhus gembel yang telah menewaskan keluarganya. Yang ia tahu wedhus gembel itu ada di merapi dan keluar kalau lapar untuk mencari rumput. Ia tidak tahu wedhus gembel bukan memakan rumput tapi mencari korban hewan dan manusia. Sudah lima buah ia menghabiskan chocolatos dan sampai sekarang ia masih mengunyah terlihat sangat nikmat hingga ia merasakan tubuhnya digendong  oleh sang bibi, dibawa lari. Tapi baru beberapa meter, sang bibi tergelincir dan Lita kecil pun ikut terjatuh.
Wedhus gembel semakin mendekat dan memporakporandakan wilayah Kepuhrejo yang sebelumnya dalam zona aman. Lita kecil hanya bisa meringis kesakitan saat tangannya bergeletuk terinjak oleh orang-orang yang hendak menyelamatkan diri. Tiada yang perduli. Semua sibuk menyelematkan diri masing-masing. Lita kecil pun akhirnya tak sadarkan diri. Yang ia tahu tiba-tiba saja ia merasakan panas luar biasa di kakinya. Kesakitan yang tak terkira malah membuat ia sadar dan memekik meraung kesakitan.
Beruntung datang seorang tim SARS yang menjadi dewa penolong bagi Lita, Lita kecil dibawa oleh sang penolong ketika ia kembali tak sadarkan diri. Sungguh, ia tak mengerti apa-apa. Ia tengah terbuai dalam tidurnya di pundak sang Tim SARS yang semakin lunglai. Lita kecil itu pun dinaikkan di dalam sebuah mobil yang juga mengangkut para korban yang terluka lainnya. Tim SARS tersebut kembali pada pekerjaannya. Menolong mereka para korban yang tengah kebingungan dan terluka. Mobil segera membawa penumpangnya ke RS terdekat yang dalam zona aman.
Lita kecil yang tengah tak berdaya itu pun segera mendapat perawatan medis. Aku yang saat itu menjadi relawan sebagai dokter muda yang membantu penanganan medis untuk para korban merapi menatap prihatin sang Lita kecil. Tulang jari tanggannya retak akibat terinjak oleh orang-ornag yang melarikan diri, sedangkan kakinya melepuh terkena panasnya leleran merapi.
Seminggu lamanya aku menunggu, menjaga, dan merawat Lita. Aku sangat kasihan padanya. Wajah imutnya terlihat sangat pucat walau sekarang ia sudah lumayan baikan. Ia juga belum bertemu dengan keluarganya. Kini ia tengah terlena dalam tidurnya, mungkin terbuai oleh mimpi indahnya. Kuusap pelan dengan penuh kasih sayang dahinya. Tiba-tiba matanya terbuka perlahan.
"Kenapa sayang ?" tanyaku khawatir.
"Ka..ka Deta," ujarnya lemah. Ah, bahkan baru seminggu pun ia sudah hafal namaku walau banyak pula suster-suster lain yang ikut merawatnya. Ya, namaku Devia Tasya. Sebenarnya nama pangilanku adalah Tasya, tapi Lita kecil lebih senang memanggilku kak Deta. Aku senang-senang saja karena ituu bukan masalah bagiku.
"Sakit... Kak." Ujarnya sambil meringis menunjukkan tangannya yang tengah diperban.
"Cuup..cupp. Sini, kakak periksa biar nda sakit lagi. Jangan nangis ya sayang, nanti kakak dongengin untuk kamu," ujarku tersenyum sambil memeriksa tangannya.
Setelah dia kembali baikan, aku memberinya sebuah dongeng karanganku sendiri sambil ia mengunyah sebuah chocolatos, coklat yang paling disukai. Ya, dongengku terinspirasi dari chocolatos yang ia makan.
Sebuah dongeng tentang kehidupan. Tentang perjuangan dan cita-cita. Aku bercerita tentang perjuangan hidup seseorang yang tak lagi mempunyai siapa-siapa karena orangtuanya telah tiada. Ia bangkit dan tumbuh menjadi anak yang mandiri walau tak memiliki fisik yang sempurna. Berharap dapat menggapai masa depan yang baik di tengah keterbatasannya. Ia yakin bahwa di setiap ujian ada sebuah kebahagiaan dan kesuksesan yang tersembunyi. Ia juga selalu ingat petuah ayahnya: "Jadilah Kau Garuda yang mampu mengepakkan sayap nan lebarnya untuk menaungi bangsa, cengkaramannya yang kokoh mampu meluluhkkan setiap penghalang."
Berawal dari petuah sang ayah yang selalu ia camkan baik-baik, dewasa ia menjadi seseorang yang sukses. Ia mampu membangun berpuluh-puluh pabrik makanan dan minuman dengan logo garuda dengan sayap yang membentang. Ia membuat banyak pabrik coklat karena dari kecil ia sangat suka coklat. Dulu waktu kecil ia bercita-cita ingin menjadi seorang pebisnis coklat. Dan ia pun berhasil. Aku mengakhiri dongengku dengan mengusap lembut kepala Lita yang tangah bermanja-ria di pangkuanku.
"Berarti dia kayak Lita ya, Kak suka banget sama coklat. Ah, besok Lita juga mau jadi kayak gitu. Punya pabrik coklat yang banyak. Nanti Lita mau buat kolatos yang banyak," ujarnya lugu.
"Iya, tentu. Lita kan anak yang pintar. Nanti kalau Lita sudah punya pabrik chocolatos yang banyak kakak dikasih ya.."
Lita kecil mengangguk lucu. "Hiduup kolatos!!" teriak Lita senang walau dia salah menyebutkan chocolatos menjadi kolatos. Aku bahagia sekali bisa mengenal dan dekat dengan Lita kecil.
***
Telah tiga mingggu lamanya aku hadir untuk Lita dan kini ku harus pergi meninggalkannya berhubung tugasku telah selesai dan aku harus balik ke California melanjutkan studi kedokteranku. Lita kecil semakin dewasa saja pemikirannya. Ia telah menjadi gadis kecil yang mandiri dan ia juga telah bertemu dengan bibinya yang syukurnya masih selamat.
Ini adalah hari-hari terakhirku menemani Lita. Aku tidak ingin Lita menjadi sedih karena kepergianku. Oleh kaerna itu aku berusaha memberikan yang terbaik buat Lita, memberinya banyak pelajaran karena aku yakin Lita dapat tumbuh menjadi gadis kecil yang cerdas.
"Kakak..kakak, Lita pengen jadi garuda, seperti Nino di dongeng kakak. Biar bisa mengabdi pada negri. Punya sayap yang super gede dan bisa boncengin kakak kemana-mana dengan tubuh garuda yang gede."
"Iya, Lita pasti bisa. Kakk tunggu juga coklatnya." aku meemperagakan tanganku menjadi seperti burung yang terbang hendak mengejar tangan Lita.
"Hahahaha...iya."Lita dengan gesit merubah tangannya menjadi burung-burungan terbang seperti yang kulakukan dan dengan gesit menghindar dari kejaran tanganku.
Kami tetawa-tawa bersama. Tak ada kesedihan sedikitpun yang terpancar dari wajah innosen serta lugunya Lita kecil. Walau aku tahu pasti dia sedih jika dia ingat bahwa besok aku harus pergi meninggalkan dia.
"Kakak, kakak! Ada iklan garudapud di tipi. Ada kolatos! Hore, ada kolatos!" teriak Lita kegirangan melihat iklan garudafood di tivi yang ada di depannya. Aku memng sengaja meletakkannya di ruangan VIP yang ada tivinya dengan biaya aku yang menanggungnya sebagai tanda sayangku padanya dan agar Lita segera sembuh dari trauma dan sakitnya.
"Mana, mana?? Iya, pasti besok Lita bisa jadi garuda itu, mencengkeram kacang dengan cakarnya yang kuat dan yang pasti Lita bisa punya pabrik coklat. Apa namanya??"
"Kolaaatooosss..!! Aku suka kolatoss!! Aku cinta garudaapudd!!hahaha" teriaknya semangat sekali sambil mengajak tos tanganku yang langsung ku balas dengan tos-an pula.
***
Setelah merapikan semua pakaianku ke dalam koper dan sudah siap dengan barang bawaanku semua, aku beranjak menemui Lita di ruang inapnya untuk terakhir kalinya. Ya, hari ini aku harus balik ke rumahku di Jakarta untuk selanjutnya terbang ke California.
Jujur aku sedih banget harus berpisah dengan Lita yang sudah kuanggap sebagai adik kandungku sendiri. Semalam, Lita menangis merengek memintaku jangan pergi. Dia ribut mengancam tidak akan minum obat jikalau aku pergi. Aku benar-benar tak kuasa menahan tangisku. Aku memberinya sekotak chocolatos dan beberapa makanan garudafood, makanan kecil yang sangat disukainya untuk menenangkannya.
"Ini untuk Lita, tapi jangan dimakan terus tiap hari kolatosnya, nanti gigi Lita bolong. Lita ndak mau kan giginya bolong??"
Lita menggeleng cepat-cepat dan menerima pemberianku dengan hati bungah. Secepat itu juga ia berhenti dari tangisannya. Aku turut senang Lita sudah tidak nangis lagi. Hanya dengan sebatang chocolatos saja ia bisa diam dari tangisnya. Makanya setiap aku mau nyuntik dia, kuberikan dulu ia sebatang chocolatos untuk penenang.
Sekarang sekaranglah waktuku untuk berangkat. Ia kini sedang tertidur dengan lelapnya. Aku mengecup lembut dahinya.
Selamat tinggal sayang. Maaf, kakak harus pergi sekarang. Lita, jangan sedih ya, kalau Lita sedih nanti kak Deta ikut sedih. Kakak janji kakak akan nemuin Lita lagi. Kakak sangat berharap Lita benar-benar bisa menjadi garuda yang bisa menaungi bangsa dengan kepakan sayap lebarnya dan mempunyai pabrik coklat yang gede dan banyak seperti yang Lita inginkan. Engkau anak hebat sayang, Kakak yakin kamu mampu meraihnya.
Pelan, bulir air mata ini berjatuhan di pipi. Seperti punya kekuatan insting yang kuat , Lita menggerakkan matanya serasa ingin terbuka. Kuusap lembut kepalanya. Aku tak ingin dia bangun dulu, aku tak ingin Lita menangisi kepergianku.
"Budhe, Tasya berangkat dulu. Oh ya, ini untuk Budhe dan Lita ya. Titip Lita ya, Budhe." Aku mencium takdzim tangan Budhe Warni, bibinya Lita yang selama ini membantuku mengurus Lita, sekaligus memberikan beberapa makanan dan barang-barang serta pakaian untuk mereka. Tak lupa pula kuberikan sejumlah makanan garuda dan berkotak-kotak chocolatos untuk kebutuhan makanan Lita. Makanan yang disukainya.
"Hati-hati Nak, maaf Budhe tidak bisa memberi apa-apa untuk Nak Tasya. Terimakasih banyak ya Nak sudah menjaga Lita selama ini." Budhe Warni memeluku sambil berurai mairmata.
"Ndak papa Budhe, Tasya juga seneng kok bisa kenal dan diberi kesempatan ngerawat Lita. Dia memang anak yang cerdas dan mempunyai cita-cita yang tinggi."
Beberapa penduduk dan kelurga Lita mengantarkan kepergianku. Aku sangat senang dengan keramahan mereka.
Lita, selamat tinggal, doakan kakak juga ya biar kakak bisa meraih impian kakak untuk menjadi dokter biar bisa membantu banyak orang. Hidup garuda Lita!! Hidup kolatos!! Aku cinta garudafood, yeah!! teriakku kencang-kencang di dalam hati. Semoga kau mendengrnya, Lita sayang.
Yogyakarta, 2011
*) Juara Harapan II Lomba Menulis Cerpen GarudaFood
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H