Mohon tunggu...
Ari Widya Nugraheni
Ari Widya Nugraheni Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

Seorang mahasiswi yang yang tengah mengasah ilmu di fak Psikologi utk berdedikasi mengimplementasikan ilmu yg dimiliki\r\n

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Impian Lita

6 Juli 2014   20:55 Diperbarui: 18 Juni 2015   07:15 65
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash


IMPIAN LITA

Suara gemuruh kembali terdengar menggelegar. Gempa vulkanik kembli mengguncang bumi, pertanda merapi kembali memuntahkan material-material panas di dalam perutnya. Wedhus gembel dengan ganasnya keluar dari sarangnya, mencari dan mengejar korbannya membabibuta. Merapi kali ini lebih ganas dari sebelum-sebelumnya. Hal ini dirasakan oleh para pengungsi di Posko desa Kepuhrejo. Mereka yang memang sudah trauma berlari kalang kabut mencari perlindungan diri. Bingung hendak ke mana. Tapi ada pula yang berdiam menunggu instruksi. Mereka panik luar biasa. Setiap wajah terlihat sangat pias.

Tapi tidak untuk seseorang yang di pojok sana. Ia dengan inosennya tertawa senang sambil mengunyah nikmat sebuah coklat stik, chocolatos. Dia sama sekali tak menghiraukan kepekikan warga yang khawatir akan keganasan semburan wedhus gembel. Baginya, sebuah coklat adalah segalanya. Bahkan ia pun juga lupa, kini ia tak lagi mempunyai siapa-siapa selain bibi dan pamannya. Ayah dan ibunya serta seorang kakaknya telah menjadi korban keganasan merapi beberapa hari yang lalu. Dia Lita, gadis imut nan lugu yang baru berusia lima tahun. Ia belum terlalu mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Yang ia tahu hanya sedih, takut, dan kenikmatan sebuah coklat. Apalagi tentang wedhus gembel yang telah menewaskan keluarganya. Yang ia tahu wedhus gembel itu ada di merapi dan keluar kalau lapar untuk mencari rumput. Ia tidak tahu wedhus gembel bukan memakan rumput tapi mencari korban hewan dan manusia. Sudah lima buah ia menghabiskan chocolatos dan sampai sekarang ia masih mengunyah terlihat sangat nikmat hingga ia merasakan tubuhnya digendong  oleh sang bibi, dibawa lari. Tapi baru beberapa meter, sang bibi tergelincir dan Lita kecil pun ikut terjatuh.

Wedhus gembel semakin mendekat dan memporakporandakan wilayah Kepuhrejo yang sebelumnya dalam zona aman. Lita kecil hanya bisa meringis kesakitan saat tangannya bergeletuk terinjak oleh orang-orang yang hendak menyelamatkan diri. Tiada yang perduli. Semua sibuk menyelematkan diri masing-masing. Lita kecil pun akhirnya tak sadarkan diri. Yang ia tahu tiba-tiba saja ia merasakan panas luar biasa di kakinya. Kesakitan yang tak terkira malah membuat ia sadar dan memekik meraung kesakitan.

Beruntung datang seorang tim SARS yang menjadi dewa penolong bagi Lita, Lita kecil dibawa oleh sang penolong ketika ia kembali tak sadarkan diri. Sungguh, ia tak mengerti apa-apa. Ia tengah terbuai dalam tidurnya di pundak sang Tim SARS yang semakin lunglai. Lita kecil itu pun dinaikkan di dalam sebuah mobil yang juga mengangkut para korban yang terluka lainnya. Tim SARS tersebut kembali pada pekerjaannya. Menolong mereka para korban yang tengah kebingungan dan terluka. Mobil segera membawa penumpangnya ke RS terdekat yang dalam zona aman.

Lita kecil yang tengah tak berdaya itu pun segera mendapat perawatan medis. Aku yang saat itu menjadi relawan sebagai dokter muda yang membantu penanganan medis untuk para korban merapi menatap prihatin sang Lita kecil. Tulang jari tanggannya retak akibat terinjak oleh orang-ornag yang melarikan diri, sedangkan kakinya melepuh terkena panasnya leleran merapi.

Seminggu lamanya aku menunggu, menjaga, dan merawat Lita. Aku sangat kasihan padanya. Wajah imutnya terlihat sangat pucat walau sekarang ia sudah lumayan baikan. Ia juga belum bertemu dengan keluarganya. Kini ia tengah terlena dalam tidurnya, mungkin terbuai oleh mimpi indahnya. Kuusap pelan dengan penuh kasih sayang dahinya. Tiba-tiba matanya terbuka perlahan.

"Kenapa sayang ?" tanyaku khawatir.

"Ka..ka Deta," ujarnya lemah. Ah, bahkan baru seminggu pun ia sudah hafal namaku walau banyak pula suster-suster lain yang ikut merawatnya. Ya, namaku Devia Tasya. Sebenarnya nama pangilanku adalah Tasya, tapi Lita kecil lebih senang memanggilku kak Deta. Aku senang-senang saja karena ituu bukan masalah bagiku.

"Sakit... Kak." Ujarnya sambil meringis menunjukkan tangannya yang tengah diperban.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun