“ Mbah, musibah demi musibah ini menyelimuti kita, kita harus bergerak
Mbah.”
“ Simbah di sini saja Le, mengabdikan diri untuk penduduk Merapi. Kamu yang masih muda yang harus bergerak, sadarkan orang dari tidurnya, sadarkan orang dari sikap fatalis menghadapi musibah. Sudah sana, belajar yang bener, santri kalau kerjaannya main PS terus ya kayak kamu ini jadinya. Ilmune nggedabus, pangertene mbladhus. Belajar sana bagaimana mengatur bantuan yang tepat guna dan tepat sasaran, jangan hanya kitab kuning kau pelajari, kitab putih pun harus kau pelajari, dan jangan lupa sekarang banyak kitab digital yang bisa dipelajari.“
Sambil menggerakkan tangannya menyuruh aku pergi, Mbah Maridjan merogoh sakunya, dikeluarkannya selembar duit 50 ribu. “ Ini hanyalah lembaran 50 ribuan Le, kuserahkan padamu. Duit ini akan benar2
jadi milikmu kalau kamu memberikannya kepada yang membutuhkan, banyak itu sepanjang kaki Merapi.”
Dilemparkannya duit itu kepadaku, aku mengambilnya sambil bingung memikirkan apa maksud kata2 Mbah Maridjan yang terakhir tadi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H